Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Kamis, 23 September 2010

Misi dan Kearifan Lokal


Misi dan Kearifan Lokal
(Oleh: Cosmas Ambo Patan)

I. Pendahuluan

Misi Gereja adalah partisipasi aktif dalam misi Allah. Misi Allah di tengah dunia menjadi nyata sebagai misi Gereja. Gereja dikatakan sebagai “misi ”, sejauh ia melaksanakan rencana keselamatan Allah dan menghantar manusia kepada Allah. Dengan demikian Gereja pada hakekatnya adalah Gereja bersifat misioner . Gereja yang misioner tidak terlaksana dalam satu atau dua dimensi kehidupan manusia, tetapi terlaksana dalam keseluruhan dimensi yang terkait dengan manusia di dunia ini. Misi perlu semangat ’kerekanan’. Misi Gereja yang demikian adalah misi yang bersifat holistik. Misi Gereja yang bersifat holistik adalah juga misi yang bersangkut paut dengan kehidupan sosial. Namun ketika berbicara soal kehidupan sosial maksudnya adalah bagaimana menghubungkan misi Gereja dengan konteks sosial budaya setempat. Gereja yang bermisi bersentuhan dengan realitas misi yang tak lain adalah misi dalam perspektif Gereja lokal . Gereja bermisi di area lokalnya dan sedapat mungkin menggunakan cara-cara lokal. Gereja yang bermisi dalam budaya setempat tidak bermaksud mengadakan serangkaian gerakan untuk menarik orang-orang dari keterasingan budayanya, tetapi menariknya untuk menyadari arti pentingnya budaya dan dari sana Gereja hadir untuk mengajak masyarakat hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil.
Karya misi Gereja bertemu dan bergaul dengan unsur-unsur yang berada di luar Gereja seperti agama-agama, kebudayaan-kebudayaan setempat, situasi sosial kemasyarakatan dan mengajak mereka itu berziarah menuju kepada Allah . Maka dalam hal ini yang mau diajak untuk berziarah bersama menuju Allah ialah masyarakat lokal sebagai umat Allah yang memiliki budayanya sendiri. Mengapa? Karena setiap masyarakat memiliki budayanya. Dan budaya itu membingkai kehidupan masyarakat yang memilikinya. Dari budaya itu sendiri lahir tata nilai, ukuran-ukuran dan kekayaan luhur hidup religius. Setiap kelompok masyarakat memiliki ide-ide kearifan lokal budayannya. Kearifan lokal biasanya lahir dari konteks budayanya, lahir dari cara pandang manusianya terhadap alam sekitar, terhadap sesama ciptaan, ataupun lahir dari ide-ide religius yang dihayati dalam hidupnya.
Kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang mau dicapai antara lain nilai luhur kehidupan. Nilai yang hendak dicapai tentu juga akhirnya bermuara pada keutuhan sebagai ciptaan. Keutuhan ciptaan itu diperjuangkan dan itu identik dengan keselamatan dalam perspektif masyarakat lokal. Ide kearifan lokal inilah yang merupakan suatu visi dan misi sekaligus yang dijalankan oleh masyarakat lokal. Lantas bagaimana korelasi ide kearifan lokal ini dengan misi keselamatan Allah dalam Gereja?. Apakah ada kemungkinan bagi Gereja bermisi dari konteks kearifan lokal masyarakat? Dan apakah kearifan lokal dapat menjadi peluang sebagai rekan Gereja dalam bermisi?. Bagaimana praktek misi berangkat dari kearifan lokal masyarakat setempat?.
Tulisan ini pertama-tama bukanlah suatu usulan tetapi suatu upaya pencarian bagaimana merancang bangun misi secara kontekstual berangkat dari upaya pencarian cara baru menggereja dan memasyarakat. Misi yang hendak dicapai ialah misi yang integral yakni terarah kepada Allah sang pencipta yang merupakan tujuan seluruh ciptaan.

II. Konsili Vatikan II dan Anjuran Misi Melalui Budaya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjumpaan antara ide kearifan lokal dengan Gereja yang bermisi, penulis akan mengulas terlebih dahulu kesadaran-kesadaran Konsili mengenai perjumpaan Injil dan kebudayaan sebagai suatu gerek misi yang diperbaharui. Kesadaran-kesadaran akan budaya bangsa-bangsa inilah yang menjadi latarbelakang kemungkinan adanya titik temu kearifan budaya sebagai arena ataupun rekan sekaligus bagi Gereja dalam melakukan karya misi yakni sesuai dengan cara-cara setempat.

2. 1. Gereja dan Pewartaannya Melihat Budaya Sebagai Medan Misi
Kesadaran mendalam Gereja mengenai pentingnya peran budaya bukan sesuatu yang sangat baru sama sekali. Gereja melihat pertama-tama bahwa Injil harus diwartakan ke seluruh bangsa kepada umat yang berkebudayaan lain . Keselamatan Allah menurut iman kristiani merupakan tugas perutusan Gereja, tujuannya ialah agar semua bangsa mengenal Yesus Kristus, Tampak bahwa misi memiliki identitas kerygmatis . Meski demikian pewartaan tidak berhenti pada bangsa-bangsa sebagai sasaran pewartaannya, tetapi perutusannya mencakup keseluruhan dimensi yang terdapat dalam bangsa-bangsa itu termasuk kebudayaannya termasuk apa yang mengalir dari budayanya itu. Dengan kata lain perutusan Gereja untuk mewartakan injil tidak mengenal batas-batas apapun dalam penyampaian keselamatannya menurut kepenuhan hidup yang dibawa oleh Kristus (RM. 31).

2. 2. Gereja Melihat Budaya Sebagai Rekan Misi
Anjuran Konsili Vatikan II yang sangat menonjol ialah bahwa Gereja mesti Menghargai, Membuka Diri, dan Bekerjasama dengan Budaya. Gereja dianjurkan untuk membuka diri terhadap budaya bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang paling menonjol ialah soal bahasa, misalnya peranan bahasa tampak dalam konteks liturgi. Demikian juga bahwa bahasa sebagai unsur budaya yang berfungsi sebagai alat komunikasi sangat penting dalam karya misi . Budaya sebagai unsur yang melahirkan sarana bermisi. Bahasa sebagai sarana komunikasi dalam evangelisasi yang di dalamnya termasuk cara pendekatan yang mengajak misionaris atau pewarta firman harus memperhatikan dan berusaha memahami kata-kata dari bermacam-macam bangsa dan kebudayaan. Tujuannya ialah agar tidak hanya belajar dari masyarakat, tetapi juga membantunya untuk mengetahui dan menerima pewartaan. Gereja mendukung masyarakat lewat budayanya mencari tujuan hidupnya, lagipula bahwa Gereja harus mewartakan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan setiap zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa dan masyarakat secara istimewa melalui cara-cara lokal .
Dalam Liturgi, bahasa menempati peran yang sangat vital, seperti SC. 37 memberi penegasan prinsip Gereja berhadapan dengan pluralitas. Dengan kata lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural dari segenap masyarakat. Maka inkulturasi menjadi suatu kata yang cukup sering didengar dalam pembahasan mengenai teologi misi tarutama, misiologi, dan studi mengenai liturgis.
Dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, kata yang sering digunakan merujuk pada inkulturasi adalah kata adaptasi. SC sendiri tidak menggunakan kata inkulturasi secara langsung. Di beberapa bagian, terdapat kata dalam bahasa Latin, adaptatio dan accomodatio, yang merujuk pada inkulturasi. Kata adaptatio sebagaimana digunakan dalam SC berarti penyesuaian. Sementara dengan kata accomodatio, ingin ditunjukkan usaha mengakomodasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Keduanya merupakan kata yang dipakai saling melengkapi sehingga tidak dimaksudkan satu sama lain saling mengeksklusifkan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kata accomodatio, diskursus inkulturasi sampai pada simpulan sifat kompromi Gereja atas unsur-unsur kultural masyarakat setempat. Jika demikian, apakah ada kemungkinan bahwa perjumpaan Gereja dengan kearifan lokal bersifat akomodatif?. Pemahaman Konsili Vatikan II dapat diterima dalam arti bahwa dalam kata accomodatio ditunjukkan dinamika interaksi kultural yang lebih bersifat ’dibawa serta’, artinya perjumpaan unsur-unsur kebudayaan masyarakat seperti ide kearifan lokal dapat saja terjadi dengan misi Gereja dan saling membawa serta.

III. Konteks Misi Gereja Asia
Asia merupakan benua yang memiliki aneka suku bangsa dan budaya. Melalui budaya setiap gerakan kehidupan dan bagi permasalahan sosial terus diupayakan . Keputusan sidang FABC sebagai magisterium lokal di Asia mencapai kesepakatan bahwa misi di Asia menawarkan suatu cara bermisi khas Asia dalam mewartakan Injil. Cara itu berlangsung dalam dialog terus menerus, rendah hati, dan mencintai dengan masyarakat miskin di Asia, dengan kebudayaan setempat, dengan tradisi agama lain, mengakui keseimbangan yang saling melengkapi, yang terjadi di dalam masyarakat, kebudayaan, tradisi agama dan pandangan dunia . Lebih kompleks lagi potret misi dalam konteks situasi hidup masyarakat Asia merefleksikan ketertindasan ciptaan baik manusia maupun alam dan lingkungan hidup.
Misi merupakan kesaksian Gereja dalam konteks lokal. Setiap anggota Gereja melalui caranya menghayati iman Kristiani harus menjadi saksi bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Georg Kirchberger bahwa Gereja Asia harus menjadi bagian dan kenyataan aktual konkret bagi masyarakat . Begitu juga Gereja mesti masuk ke dalam inti sari atau jantung kehidupan sosial kemasyarakatan suatu umat yang dilayani.

3. 1. Misi Gereja Melalui Budaya Setempat
Masyarakat yang beragam di Asia masing-masing memiliki tradisi atau budaya harmoni sesuai dengan nilai luhur budaya yang dijunjung tinggi yang sebetulnya dapat disebut sebagai kearifan lokal. Setiap budaya memiliki nilai luhur yang dapat membantu umat yang dilayani sadar akan arti pentingnya nilai kehidupan itu. Tugas perutusan Gereja di sini adalah bagaimana melayani Allah melalui nilai luhur budaya setempat. Allah mesti dikenal melalui kebijakan lokal dan kejeniusan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat itu. Gereja menggunakan apa yang telah terkandung dalam budaya tertentu, yang dapat membantu manusia hidup lebih manusiawi sesuai dengan nilai luhur budayanya. Itulah tugas perutusan Gereja dalam budaya setempat.

3. 2. Misi yang dibangun atas Ide Kearifan Lokal
Masyarakat memiliki berjuta nilai luhur budaya berupa kearifan lokal yang daripadanya kehidupan dapat dihayati . Masyarakat Asia memiliki ciri khas hidup yang dibangun dari kearifan lokal. Dalam pelbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, ciri-ciri itu tampak misalnya berupa ungkapan-ungkapan kearifan lokal sesuai dengan dimensi hidup yang ingin dihayati. Misi yang kontekstual adalah juga suatu model menggereja yang dibangun dari ide kearifan lokal masyarakat yang cinta akan budayanya. Melalui upaya membangun iman, Gereja harus hormat terhadap kearifan lokal budaya setempat. Zaman sekarang adalah zaman setiap gerakan untuk kembali menelusuri jejak-jejak kesuksesan masa lalu nenek moyang bangsa dalam menata peradaban hidupnya.
Para misionaris berpikir bahwa model misi yang dibangun dari kearifan lokal, akan membantu cara berteologi dan berpastoral yang dapat memberi isi dan kekayaan iman yang diwartakan. Karena kearifan lokal itu mengandung rasa percaya awal umat yang hidup dari budaya itu. Kearifan lokal menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya iman yang diwartakan.

IV. Masyarakat dan Kearifan Lokal Budaya di Indonesia
Masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di Indonesia, kearifan lokal dikenal sangat beragam sesuai dengan keragaman suku-suku, adat dan kebudayaan serta religiusitasnya. Demikian juga terdapat aneka gerakan berdasarkan kearifan lokal tersebut sesuai dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Misalnya perjuangan suatu organisasi seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat. Kearifan lokal yang pro terhadap budaya atau adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan hidup masyarakat yang lebih baik .
Terdapat slogan kearifan lokal sebagai gambaran eksistensi hidup masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya ditampilkan dengan ungkapan-ungkapan, slogan-slogan dan lebih banyak digunakan sebagai visi-misi suatu dari masyarakat dalam memperjuangkan pelbagai dimensi hidupnya Misalnya ungkapan masyarakat adat Dayak: ‘Adil Ka Talino, Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka Jubata’, mengandung nilai-nilai budaya leluhur. Jika diuraikan, kalimat ‘Adil Ka Talino’ mengandung makna terwujudlah keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan kalimat ‘Bacuramin Ka saruga’ mengandung makna semoga kiranya apa yang terjadi di Surga demikianlah juga di bumi, dimana tidak ada lagi orang yang bodoh dan dibodohkan, tidak ada lagi orang miskin dan dimiskinkan, tidak ada lagi orang sakit dan disakitkan, tidak ada segala kekurangan karena tolok ukur adalah kehidupan di surga. Kemudian kalimat ‘Basengat Ka Jubata’ mengandung makna sesungguhnya manusia hanya bergantung kepada Jubata atau Allah Yang Maha Esa.
Ada rupa-rupa ide kearifan lokal yang melahirkan suatu gerakan masyarakat di bidang pemberdayaan masyarakatnya seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat. Gerakan ekonomi rakyat juga mengalir ide kearifan budaya sesuai dengan konteks situasi sosial ekonomi masyarakat lokal. Gerakan ini harus dipahami sebagai suatu proses misi di mana lembaga masyarakat adat dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya dan membentuk suatu pola kemitraan. Kebijakan Masyarakatdi bidang ekonomi seperti ini bercita-cita mewujudkan suatu kesejahteraan, jaminan sosial, dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Contoh yang sangat aktual ialah seperti gerakan Credit Union (CU), CU membantu masyarakat untuk maju dalam tiga hal yakni Pendidikan, swadaya, dan solidaritas .

4. 1. Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang Bagi Misi
Pembicaraan mengenai konteks masyarakat dan budaya di sini bukan terarah pada suatu penelusuran sejarah. Namun terarah pada potret keprihatinan yang belum diraba oleh Gereja yang missioner itu secara serius. Problem keprihatinan itu diangkat dalam pembahasan karena dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang untuk menjalankan sebuah misi. Indonesia adalah bangsa yang kaya budaya masyarakatnya. Dari kekayaan budaya itu lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup. Demikian juga Gereja di Indonesia bersentuhan dengan kekayaan budaya masyarakat di wilayah misi. Aneka peristiwa sosial budaya merebak di Indonesia melatarbelakangi pemikiran cara baru menggereja sesuai dengan konteks kesepakatan lokal. Maka Gereja di Indonesia sepakat menbangun suatu Habitus Baru. Habitus Baru bertujuan mewujudkan cara-cara yang khas Indonesia, tentu semangat baru yang sesuai dengan nilai-nilai Injil dengan membentuk cara merasa, cara berpikir, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi.

4. 1. 1. Tantangan
Masyarakat Indonesia zaman sekarang ini sulit melestarikan budayanya. Suatu budaya kerap dilihat sebagai satu dari sekian banyak nilai-nilai. Generasi muda tidak lagi cinta terhadap budayanya sendiri. Kebudayaan massa lebih menarik dan akibatnya ia tidak memiliki identitas budayanya lagi. Karakter hidupnya sebagai manusia yang berbudaya menjadi lenyap, dengan demikian karakter hidupnya pun hilang. Karena tidak adanya perhatian yang mendalam terhadap keunikan yang lahir dari budayanya sendiri. Semangat kagum terhadap kekayaan budaya lokal menjadi tiada. Inilah problem tenggelamnya identitas yang mau ditonjolkan sebagai manusia yang memiliki identitas budaya . Situasi hilangnya minat dan kecintaan manusia dam masyarakat dengan semakin tenggelamnya karakter unsur budaya dan minat terhadap keunikan unsur budaya menjadi tantangan misi yang hendak dijalankan.

4. 1. 2. Peluang
Akan tetapi kalau diperhatikan dan disadari sungguh-sungguh, masyarakat atau dunia sekarang sedang berupaya untuk kembali berpegang pada kearifan lokal termasuk untuk mengatasi situasi yang dilihat sebagai tantangan. Banyak problem di dunia saat ini yang melatarbelakangi gerakan bangsa-bangsa kembali kepada kearifan lokal. Misalnya misi peyelamatan bumi dari efek pemanasan global, melihat kerusakan alam dan lingkungan setiap kelompok masyarakat kembali menghidupkan semangat harmoni dengan alam dan lingkungan, dan lain-lain. Dengan fenomena demikian, Gereja mesti memanfaatkan peluang ini. Gereja sebagai perwujudan misi Allah pertama-tama membawa kembali umat kepada kesadaran merangkul nilai budaya itu dan mengembangkannya sebagai identitas. Gereja tidak bisa menutup mata dengan nilai-nilai positif budaya seperti kearifan lokal yang dapat menjadi patnernya mewujudkan karya keselamatan Allah di dunia ini. Maka Gereja harus merangkul nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap kerarifan lokal masyarakat itu. Setiap budaya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat memiliki nilai luhur untuk membawa hidup masyarakatnya ke arah yang lebih baik pula.

4. 2. Kearifan Lokal Budaya Masyarakat Sebagai Rekan Misi
Setiap manusia dan budayanya itu memiliki kebijakan-kebijakan atau kejeniusannya (local wisdom atau local genius). Dari kebijakan lokal atau kearifan lokal lahir suatu kekuatan, suatu identitas, suatu cara untuk menghayati hidup. Sudah banyak para misionaris yang melakukan misi atas dasar kerjasama dengan masyarakat setempat yakni dengan kearifan-kearifan budaya lokal. Perlu disadari bahwa Injil dan pemginjilan tidak sama dengan kebudayaan dan bersifat independen terhadap demua kebudayaan, meskipun begitu kerajaan Allah yang diwartakan lewat penginjilan dihayati oleh manusia yang secara sangat mendalam terikat pada suatu kebudayaan. Maka perwujudan Kerajaan Allah tak dapat tidak, harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan masyarakat (bdk. EN. 20). Dengan demikian boleh dikatakan bahwa kearifan lokal sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam kebudayaan itu.
Praktis misi yang berkolaborasi dengan kearifan lokal dapat berupa kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup. Dari sana tercermin pembangunan bagi mental kemanusiaan yang diharapkan bermuara pada semangat yang sesuai dengan Injil. Dalam hal ini ditampilkan sorang misionaris lokal yang peduli terhadap nilai-nilai kearifan budaya dan mempraktekkannya dalam pelayanan. Seorang tokoh yang menjadikan kearifan lokal sebagai arena misinya adalah Romo Vincentius Kirdjito. Sejak 2004, ia merintis program live in “Edukasi Berbasis Alam dan Budaya Merapi” . Berkat usahanya yang dibangun di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang sudah 7000 orang yang datang belajar menghargai alam. Romo Vincentius Kirjito, PR berangkat dari ide mengenai kearifan lokal. Muatan kearifan itu bicara soal air, seni, dan budaya tani masyarakat lereng Merapi. Bersama masyarakat setempat, Romo Kirdjito membentuk Gerakan Masyarakat Cinta Air. Gerakan ini timbul dari kesadaran masyarakat sekitar Merapi akan pentingnya air sebagai sumber penghidupan . Rm Kirdjito berpendapat bahwa Sumber Air di pegunungan tidak boleh dieksploitasi. Dengan melestarikan kawasan sumber air dan sekitarnya, kita dapat menghirup udara bersih, tanah subur, dan lahan pertanian gembur. Keselarasan dengan alam itu perlu dibagikan seluas-luasnya pada masyarakat supaya kearifan lokal yang sudah ada seyogyanya dihidupi dan dihayati sebagai iman yang direfleksikan dalam budaya yaitu budaya seni, tani, dan religiusitas.
Misi juga mengalir dari budaya setempat yakni inkulturasi yang menyapa umat dengan kekayaan khasanah Jawa. Romo Kirdjito tidak hanya berhenti dengan memakai pakaian adat setempat, pun pula sarana prasarana lain; gamelan, wayang orang. Ia justru beranjak dari kekayaan khasanah Jawa tersebut untuk membantu umat menyadari bahwa kekayaan khasanah Jawa tersebut seharusnya mendorong umat untuk makin mencintai lingkungan, tempat mereka tinggal. Dengan demikian, liturgi yang dirayakan menyapa umat setempat dan mendorong perwujudan iman. Misi berkaitan dengan kontekstualisasi. Bahwa teologi lahir sebagai refleksi iman dari dinamika kehidupan. Dimensi pertama ialah adanya korelasi khasanah budaya Jawa, kearifan lokal, dan iman Katolik, yakni mengangkat pengalaman hidup masyarakat sehari-hari dalam terang Injil.
Melalui ide kearifan lokal yang sejalan dengan iman kristiani, umat diajak untuk memerangi fenomena penindasan yang dilakukan manusia terhadap alam yang merusak lingkungan hidup sekitar. Misi dilihat sebagai arena promosi keadilan lewat perayaan kehidupan menurut cara dan kolaborasi dengan ide kearifan lokal. Dalam cara ini masyarakat dimotivasi untuk mengenali nilai kehidupan yang lebih tinggi dari perjuangan melalui kearifan lokal, agar kehidupan yang diperjuangkan itu diresapi Injil dan Injil sendiri semakin subur dalam kehidupan umat. Kearifan lokal tidak hanya sebagai arena misi tetapi juga akhirnya sebagai ‘sahabat’ misi, karena di sini nilai-nilai hidup itu diperjuangkan dan iman diwartakan, dihayati, dan dihidupi.

V. Penutup
Gereja harus terus menerus melaksanakan perutusannya dengan semangat baru yang dituntun oleh Roh Kudus. Perjumpaan misi dan kearifan lokal sebagai suatu unsur budaya bukan tidak mungkin sebagai suatu ‘rekan seperjalanan’ dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Tetapi soalnya adalah kesadaran bermisi bagi Gereja bersama dengan kearifan lokal belumlah mencapai kesempurnaannya. Tidak dapat dihindari bahwa nilai-nilai budaya yang hendak diwujudkan melaui kearifan lokal itu masyarakat itu kaya akan spiritualitas yang sejalan dengan Injil.
Pertautan misi dengan kearifan lokal budaya masyarakat ini dalam misi itu sendiri dapat diartikan sebagai; Pertama, Gereja bertugas merangkul nilai dari suatu unsure budaya dalam rangka misi itu. Gereja menjadi aktor yang melakonkan suatu gerakan yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan jati diri kebudayaan. Kedua, Gereja menjadi pengejahwantahan berbagai wawasan dan nilai kehidupan yang diperjuangkan masyarakat melalui kearifan lokalnya. Ketiga, Gereja harus menjadi agen perubahan bagi kehidupan masyarakat bersama masyarakat untuk masyarakat sesuai dengan Injil mengarahkan hidup kepada keselamatan Allah.
Dari pihak masyarakat dituntut adanya keterbukaan akan nilai Injil yang membawa terang bagi kearifan budaya lokalnya terutama dalam memperjuangkan hidupnya. Dengan hanya demikianlah misi dapat menemukan rekan seperjalanan, sebaliknya kearifan lokal masyarakat diresapi oleh semangat Injil. Jika hal itu diperhatikan, jelas bahwa misi Gereja dan kearifan lokal itu dapat saling ‘membawa serta’, dengan demikian dapat menjadi rekan satu sama lain.


KEPUSTAKAAN
Dokumen:

Ad Gentes (AG), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Kegiatan Misioner Gereja

Evangelii Nuntiandi (EN), Imbauan Apostolik Paus Paulus VI Tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern

Sacrosanctum Concilium (SC), Konstitusi Kosili Vatikan II Tentang Liturgi Suci

Inter Mirifica (IM), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial

Redemptoris Missio (RM), Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja

Eclessiae in Asia (EA), Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pasca Sinodal

Buku:
Campbell, E. Robert, The Church in Mission, New York: Orbis Books, 1965.

Eilers, Franz Josef, Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Hardawiryana, R, dan Siswoyo, Sumartara, (Ed), Dokumen Sidang FABC 1995-1998, Jakarta: DokPen KWI-Obor, 1998

Isharianto, Rafael CM (Ed), Pergumulan Iman Kristiani di Tengah Pasar Budaya, Malang: Widya Sasana Publication, 2010

Kirchberger, Georg, Gereja Berwajah Asia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1995

Kroeger, James H, Living Mission; Challenges in Evangelization Today, New York: Orbis Books (Publications by Claretian Publications Quezon City Philippines), 1994

Sa’u, Andreas Tefa, Etnologi dan Tugas Perutusan, Ende Flores: Nusa Indah, 2006.

Prior, John M, dan Pa, Patris, (Ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI, 2007

Woga, Edmund, Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Rabu, 08 September 2010

Spiritualitas Harmoni Asia ( Allah Yang Berbelarasa )

Oleh: Cosmas Ambo Patan

1. Pengantar

Benua Asia merupakan benua yang melahirkan tiga agama besar di dunia. Selain tiga agama semit itu, ada banyak agama atau aliran kepercayaan yang lahir di benua Asia. Peradaban-peradaban spritualitas, religiusitas menjadi khasanah kekayaan dan keanekaragaman suku, bahasa, adat sitiadat dan. Orang-orang Asia memiliki sejarah peradaban yang unik di dunia ini. Melalui keanekaragaman, setiap agama maupun suku bangsa dapat hidup selaras, namun melalui keanekaragaman itu pula setiap agama, maupun suku bangsa di Asia menjadi terpecah dan saling mempertajam perbedaan, bahkan harus konflik dan perang. Inilah realitas Agama, dan bangsa di Asia hingga kini. Perang melanda negara-negara Israel-Palestina, perang India-Pakistan, Konflik politik di Myanmar, Perang suku di Indonesia, dan di negara-negara lain di Asia. Negara-negara di Asia sadar akan hal ini. Konflik dan perang suatu hal yang merugikan kehidupan. Asia merupakan benua yang memiliki aneka suku bangsa dan budaya. Melalui aneka produk budaya suku bangsa juga setiap gerakan kehidupan dan permasalahan sosial terus diupayakan .
Telah banyak upaya kerja sama antar negara di Asia untuk mewujudkan perdamaian bahkan dilakukan oleh komunitas-komunitas pencinta damai. Banyak cara yang dilakukan untuk meyerukan suatu perdamaian. Bangsa Asia adalah bagsa yang haromonis, tetapi tercabik-cabik oleh perang dan kebencian satu sama lain. Paling menggetirkan lagi ketika bangsa Asia ini menjadi tempat lahirnya Terorisme di dunia. Sungguh suatu hal yang ironis, namun itu nyata. Inilah persoalan konflik, perang, ketidakharmonisan masyarakat di Asia juga menjadi keprihatinan masyarakat dunia pada umumnya. Seiring dengan terjadinya problem yang menimpa masyarakat Asia setiap perkumpulan baik bersifat regional maupun bilateral mengupayakan suatu cara. Berdialog terus menerus, rendah hati, saling mencintai dan mengupayakan toleransi mengakui keseimbangan untuk saling melengkapi. Dan menghormati masing-masing kebudayaan suku bangsa serta tradisi agamanya.

Dalam tulisan ini, kami mengedepankan bagaimana manusia dirangsang untuk membangun dan menghidupkan semangat persekutuan yang berbelarasa (Communion of Compassion) , agar terwujud suatu kehidupan yang harmonis. Maka berturut-turut dalam tulisan ini, pertama kami mau menampilkan potret Asia yang tercabik-cabik yang menuntut suatu cara memupuk semangat belarasa. Selanjutnya akan ditampilkan cara-cara menurut refleksi para seniman lewat puisi mengingatkan akan spiritualitas harmoni kehidupan yang tak boleh diabaikan dan yang terus dipupuk dalam situasi apapun. Setelah itu kami mencoba menampilkan refleksi teologis atas kehidupan masyarakat Asia yang mendambakan keharmonisan.

2. Persoalan Masyarakat Asia; Terorisme dan Arus Globalisasi
Setiap negara dan masyarakat yang berdiam di dalamnya, selalu berusaha untuk hidup dalam kemerdekaan, kebebasan, dan kedamaian hidup. Banyak pemimpin negara berbagi pelbagai persoalan sosial dan kultural negaranya. Pemimpin negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan, membagikannya kepada negara yang lebih kuat untuk minta dukungan dan sokongan moril-spirituil terutama terutama bagi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, merasakan ketegangan hidup, rasa getir dalam situasi konflik. Dari upaya itu terbangun kehidupan bersama masyarakat dan negara lain. Upaya agama pun dilakukan untuk berdialog dengan keadaan yang melanda masyarakat seperti dialog kehidupan, dialog karya, dan dialog iman. Dialog karya misalnya tampak dalam perhatian kepada para pengungsi akibat perang dan konflik. Dari pengalaman penderitaan, kemiskinan, jeritan, penindasan terhadap kaum lemah serta tangisan manusia yang terinjak akibat perang dan konflik dapat menjadi perekat dan indikasi membangun komunitas bersama melalui pendekatan kemanusiaan.
2. 1. Tantangan Hidup Harmonis di Asia
Persoalannya bahwa dunia dewasa ini seakan tanpa batas karena manusia dan barang dapat bergerak dengan mudahnya dari negara yang satu ke negara yang lain. Informasi maupun keadaan yang tengah terjadi di suatu negara pun dapat diakses dengan gampang oleh masyarakat yang hidup di negara yang berbeda. Masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari komunitas suatu negara melainkan juga telah menjadi warga negara internasional yang hidup di perkampungan global. Kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai globalisasi.

Globalisasi menjadi tantangan kehidupan bagi masyarakat dan bangsa-bangsa di Asia. Seiring berkembang pesatnya teknologi informasi, globalisasi menyediakan berbagai kemudahan bagi manusia. Misalnya saja, manusia tidak perlu menyeberangi lautan untuk bertemu dan berbicara dengan seseorang. Orang- orang di Indonesia, contohnya, dapat mengakses informasi tentang perang di Afganistan maupun di Iraq kapan saja. Seseorang di Afghanistan dapat mentransfer sejumlah uang kepada orang di Malaysia dengan gampang, aman dan dalam waktu singkat. Globalisasi juga menawarkan peluang baru untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan demokrasi bagi bangsa-bangsa. Namun seperti sebuah koin, globalisasi tidak hanya memiliki wajah menawan tetapi juga sekaligus mempunyai wajah mengerikan. Sebab kemudahan yang ditawarkan globalisasi justru semakin memfasilitasi kegiatan ilegal yang terjadi dengan melintasi batas-batas yuridiksi negara. Fakta bahwa globalisasi mengaburkan tujuan hidup yang sejati. Manusia globalisasi menemukan kebahagiaannya pada kekuasaan dan penaklukkan . Akibatnya kegiatan apapun selalu disinyalir sebagai kegiatan yang mengancam keamanan suatu negara. Manusia hidup dalam kekuatiran dan ketidaktenangan hari-demi hari.
Ancaman transnasional yang dialami masyarakat di Asia akibat globalisasi antara lain proliferasi persenjataan, kekerasan etnis, pencucian uang, perdagangan dan penyelundupan obat terlarang, degradasi lingkungan dan penyebaran infeksi penyakit. Globalisasi telah melahirkan banyak hal, dan secara langsung atau tidak globalisasi turut membidani lahirnya terorisme. Karena terorisme merupakan produk dari marjinalisasi dan kemiskinan, sedangkan marjinalisasi dan kemiskinan adalah produk dari globalisasi.

Disadari atau tidak globalisasi telah memunculkan persaingan global di berbagai bidang. Pihak yang menang persaingan tentu akan menikmati keuntungan. Negara maju yang memiliki teknologi tinggi berada dalam kelompok penikmat keuntungan globalisasi. Namun negara-negara miskin dengan segala keterbatasannya akan semakin jauh tertinggal sehingga kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Kemiskinan dan ketidakadilan akan terus menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus. Karena itulah muncul perlawanan dari kelompok-kelompok tertindas baik dalam negara maupun antar negara yang tentunya mengancam stabilitas keamanan kawasan regional dan bahkan internasional. Demikian pula kejahatan yang mengancam dan bahkan terjadi di suatu negara sangat mungkin menjadi ancaman negara lainnya.
Mengglobalnya tatanan dunia diikuti mengglobalnya ancaman keamanan. Isu keamanan yang belakangan ini paling banyak menyita perhatian publik adalah terorisme. Peristiwa-peristiwa serangan teroris dan ancaman-ancaman bom di sejumlah negara di Asia membuktikan bahwa terorisme itu bersarang di Asia. Asia dicap sebagai benua yang tidak harmonis, tidak lagi sesuai dengan fakta dan falsafah hidup serta spiritualitas-tradisi harmonis yang telah lahir di benua Asia. Berimbas pada kebijaksanaan yang mengalir dari agama, seakan agama terasa menghakimi dan menjadi dasar perbedaan yang sangat kuat daripada upaya saling mengerti satu sama lain .
2. 2. Terorisme di Asia
Tragedi serangan terosrisme 9/11 pada 2001 lalu di AS, menjadi agenda utama dalam sejumlah pertemuan organisasi kawasan maupun organisasi berskala internasional. AS menjadi target serangan lantaran dinilai sebagai negara yang aktivitasnya mengkerdilkan sekelompok orang tertentu. Namun tidak disangka teroris melancarkan aksi jauh di luar AS, meskipun targetnya adalah simbol-simbol eksistensi AS beserta negara-negara sahabatnya. Bom Bali 2002 lalu membuka mata masyarakat internasional, bahwa kegiatan terorisme bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Tanpa terkecuali Asia tenggara.
Terorisme di Asia Tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang terjadi misalnya saja di Indonesia, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah.

2. 3. Tercabiknya “Harmoni”
Bangsa Asia yang terkenal dengan spirituallitas harmoni telah tertimbun oleh pelbagai peristiwa perang, konflik, terorisme, dan ancaman kemanusiaan lain. Akibatnya menjadi bangsa yang intoleran. Asia duhuni oleh bangsa yang terkesan ‘munafik’ di mata internasional. Karena banyak lahir agama dan spiritualitas kehidupan, namun lahir pula kekerasan berkedok agama atau spiritualitas suatu aliran tertentu. Ada banyak faktor menyergapnya kekerasan seperti telah diuraikan. Ada kekerasan karena persaingan, ambisi, dan reaksi terhadap penjajahan global dan lain sebagainya. Kodrat kelunakan manusia diganti dengan kekerasan . Situasi demi situasi terjadi menjadikan semangat untuk hidup selaras itu raib.
Harmoni kehidupan tidak lagi berkumandang seperti sediakala sejak dipelukan bumi Asia. Bangsa yang dulunya merasa bahwa dalam ajaran agama, harmoni itu suatu kehadiran Allah, kini sirna. Tampak bahwa kehidupan yang dahulu harmoni diyakini sebagai representase kehidupan yang ilahi. Bahkan muncul suatu kebijaksanaan hidup harmoni dengan ungkapan-ungkapan yang selalu dipegang turun temurun seperti misalnya; mencintai alam dan peduli terhadap makhluk-nya, menjadikan manusia dapat mengenal pencipta. Dengan adanya fakta kekerasan dan penderitaan yang disebabkannya, dunia Asia tampak tak seirama, tak seindah harmoni Asia sesungguhnya.

3. Seruan Harmoni
Dalam situasi kacau, derita, dan jeritan manusia, suara kemanusiaan, sesuai dengan namanya, merupakan media untuk menyuarakan pesan-pesan keselamatan, perdamaian dan pembangunan peradaban manusia yang merata dan sejajar bagi semua bangsa di dunia ini. Oleh karena namanya "suara", maka yang ada adalah kegiatan "bersuara", tidak melakukan kegiatan fisik (sikap frontal), kecuali ada permohonan menurut persetujuan dan kesepakatan bersama. Suara dalam konteks ini adalah seruan tentang suatu visi kehidupan yang selaras, tanpa kekacauan; suatu visi dunia yang damai penuh keselamatan dan menyenangkan bagi semua umat manusia, tanpa membedakan ras, suku, bangsa, negara dan agama.

Seruan untuk hidup secara harmonis dengan cara-cara harmonis merupakan ciri khas Asia melalui kebudayaan: seni sastra. Cara itu sebenarnya tidak perlu dilakukan di jalan-jalan sebagaimana selama nini dilakukan yakni aksi protes dan demonstrasi sampai mengakibatkan kerusuhan. Namun seni seruan harmoni lewat tradisi seni sastra puisi memberi pernyataan menentang semua tindakan penistaan, penghinaan dan pemusnahan satu atau sebagian dari umat manusia di dunia internasional. Memberi dukungan penuh bagi terwujudnya keselamatan dan perdamaian di seluruh penjuru dunia. Ikut berperan aktif menyuarakan upaya-upaya menghentikan kelompok atau negara yang mendukung pendudukan dan penjajahan terhadap negara lain, oleh sebuah negara atau kelompok tertentu.

Isu kepeduliaan terhadap kemanusiaan melalui karya-karya seni sastra ikut menciptakan keselamatan dunia tanpa menggunakan kekuatan militer. Banyak para seniman berkolaborasi peduli terhadap situasi yang terjadi, menanggapi pelbagai peristiwa lewat refleksi dan permenungan untuk mengantar hati manusia melihat ke dalam, arti dan makna kehidupan bersama. Seperti dalam puisi “Negeriku” (sebuah satir dan harapan untuk masa depan) :
Kasihku, aku masih di sini, di negeri berjuta impian, negeri selembut awan,
Negeri yang manis, luhur, tulus dan penuh suka cita.
Negeri dimana aku leluasa merindukanmu,
di setiap nafas, setiap detik, setiap waktu.
Kasihku, negeri ini begitu indah, makmur dan subur seperti lading permata,
Penduduknya ramah…sopan dan suka tolong menolong
Mereka begitu terbuka, semua membuatku senang dan bahagia.
Kasihku, negeri ini aman sentosa, siapapun pasti akan merasa nyaman di sini,
Seperti duduk di sofa.
Kasihku..di negeriku.. Rumah-rumahnya rapi tersusun,
Anak-anak berangkat ke sekolah,
Orangtua pergi bekerja mencari nafkah yang halal,
Semua hidup sehat..
semua hidup rukun dan harmonis.
Kasihku..aku baru saja terbangun, Rupanya aku bermimpi…
Aku takut, ternyata di sini masih gelap…
Kasihku.., mungkin selama ini aku masih terlalu jauh darimu.
Melupakan pesa-pesan dalam suratmu terdahulu.
Kasihku, aku tahu jalan ini panjang dan melelahkan, Tapi, pasti ini jalan kemenangan,
Di ujung jalan ini, kuyakin pasti ada cahaya yang terang benderang.

Puisi tentang harapan harmoni kehidupan begitu indah. Harmoni kehidupan selalu kita tawarkan, namun dalam praktik kehidupan, hal itu tidaklah seindah teori, karena semua yang kita sampaikan kadang hanyalah sebuah harmoni kaku. Manusia yang satu menggurui manusia yang lain untuk menjadi pemenang dengan kekuatan. Manusia yang lain menjadi lemah (Powerless). Puisi ini adalah suatu mimpi. Mimpi tentang semangat menghargai perdamaian karena panggilan kita untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian lemah. Alhasil harmoni adalah disharmoni, drama hidup bersama menjelma menjadi sebuah lakon yang keras dan kejam .
Kebersamaan hidup hendaknya dilalui dengan tidak menginjak hak sesama, menghapus ketidakadilan yang merajalela. Kelembutan karakter hidup selalu didamba, semua hanya ingin agar hidupnya selalu dalam kertas empati, bukan sekedar meneriakkan kata simpati. Agar terwujud suatu harmoni kehidupan. Jalan yang dilalui merupakan situasi yang mungkin tak pernah ditemukan kecuali orang yang tulus menyayangi dan mencintai sesamanya.

Kupasan puisi tersebut terutama berkaitan dengan kerinduan batin manusia. Tentu saja kupasan itu bukan seperti bayangan atau cita-cita belaka, tetapi sebuah semangat. Penuturan kerinduan dan semangat untuk kembali kepada rahim harmonis kehidupan salah satunya adalah puisi. Berkaitan dengan kerinduan batin manusia dalam puisi ini, ada beberapa di antaranya yang berkaitan dengan optimisme menatap masa depan. Sebuah sikap berempati terhadap permasalahan-permasalahan bangsa-bangsa secara umum atau permasalahan manusia dalam lingkup yang lebih kecil lagi. Seni pengungkapkan seruan damai atau spiritualitas harmonis lewat puisi ini, diharapkan dapat dijadikan sarana bagi masyarakat Asia sebagai tempat bercermin dan untuk lebih mengenal kearifan hidupnya sendiri.

Puisi tentang harapan harmoni ini ini bukan dimaksudkan sebagai hiburan belaka, tetapi juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk mendekatkan kembali masyarakat Asia pada akar kebudayaan tradisi harmoni bangsa-bangsa. Lewat puisi “Negeriku” kita diingatkan bahwa kehidupan sehari-hari kita terkadang diisi dengan rutinitas yang sangat sederhana dan sempit. Kita sibuk dengan ‘kegaduhan’, kita bagai terseret secara perlahan ke dalam malapetaka dan akhirnya jatuh binasa.
Kehidupan untuk saling memiliki rasa hormat (sense of respect) kapan dan di manapun selalu diupayakan. Sangat indah seperti juga dicita-citakan oleh seorang pemimpin negara Dr. APJ. Abdul Kalam (Presiden India), ia bercita-cita agar negaranya hidup harmonis, berdampingan satu sama lain dan memupuk sikap toleransi dan menghargai satu sama lain, dengan puisi harmoninya:
Crane dan camar yang mengembara langit,
Gelombang laut tertawa dan menggoda pantai.
Renungan sekolah saya hari pikiran saya melompat lima dekade,
Sebuah sekolah kecil di kota Rameshwaram ...
Hindu atau Muslim, masjid atau candi,
Tak satu pun memikirkan divisi omelan;
Ramanathan dan aku, tenun kata-kata bersama-sama,
Harmonis menyenangkan anak-anak Pencipta.
Tiba-tiba badai tiba tanpa pemberitahuan.
Berserban dan Tweedy, yang dikenal sebagai guru baru,
Meminta kami untuk duduk menjauh canggung satu sama lain,
Air mataku menetes; Ramanathan menangis,
Kami juga tidak mengerti artinya pemisahan itu.
Sunbeams melihat melalui suasana sedih,
Diam-diam pencahayaan air mata kita menjadi permata.
Pencipta semua, bukan Kau di sana?
Siapa yang satu ini memisahkan kita di sini?
Tahun berlalu ...namun kita tetap berteman,
Berbagi penderitaan dan sukacita dahulu kala.
Yang berpendidikan socalled jiwa kita terpisah,
Menabur benih perselisihan dan racun.
Mereka tidak memberikan pengetahuan tetapi membenci dan kekalahan;
Beritahu orang lain tidak mengindahkan nasihat yang tidak diinginkan mereka,
Seperti Yang Mahakuasa menciptakan semua sama dan bebas .

Salah satu upaya pemimpin memberikan motivasi dan dorongan bagi warganya agar peduli terhadap kehidupan yang serba damai, selaras, tanpa perang dan kebencian. melalui karya ini masyarakat diajak untuk mulai melihat sikap peduli damai dan menghilangkan sikap acuh. Putusnya tali persaudaraan sebagai satu rahim, Ini adalah imbas dari egoisme kehidupan manusia. Egoisme sebagi racun dan penabur racun, membuat manusia menjadi saling mengambil kebebasan antara satu dengan yang lainnya. Puisi ini menyiratkan suatu nasehat bahwa seharusnya dalam dunia manapun kita hidup, kita haruslah tetap mampu membentengi diri dari kekacauan yang terjadi, dengan menjaga stabilitas kebersamaan dan memupuk semangat berbela rasa.
Dapat dikatakan bahwa upaya seruan melalui sastra puisi agar kehidupan menjadi selaras ini merefleksikan berbagai aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat di wilayah Asia yang tengah berada di dalam gejolak arus perubahan yang sedemikian pesat. Suatu dambaan akan kehidupan harmonis. Suatu cita-cita berdiam di negeri yang penuh dengan belarasa. Suatu komunitas manusia yang melihat orang lain sebagai ‘kekasih’. Dalam seruan ini, tersirat secara kuat bahwa setiap manusia yang peduli terhadap kebahagiaan hidup bersama merefleksikan kondisi di sekitar mereka dengan menguak berbagai lapisan sejarah dan narasi lokal yang merekam realitas sosial serta berbagai ketegangan politik yang disampaikan melalui “seruan”.

4. Allah yang Berbelarasa: Refleksi Teologis atas Realitas Asia
Setiap anggota Gereja melalui caranya menghayati iman Kristiani harus menjadi saksi bagi masyarakat di sekitarnya. Setiap manusia yang dibaptis dalam nama Yesus Kristus terpanggil menjadi agen perdamaian dalam kehidupan bersama. Sebagai pribadi yang terpanggil ia adalah perwujudan Gereja kristus yang selalu menghadirkan keselarasan. Sebagaimana diungkapkan oleh Georg Kirchberger bahwa Gereja Asia harus menjadi bagian dan kenyataan aktual konkret bagi masyarakat . Begitu juga Gereja mesti masuk ke dalam inti sari atau jantung kehidupan sosial kemasyarakatan suatu umat. Hidup kita merupakan kelanjutan dari visi keselamatan Yesus yang bertindak untuk berpihak pada yang lemah (Option for the Poor), sebagaimana Yesus membela manusia yang terancam dan bahkan tak ada pembelaan, menjadi korban kekerasan dan serangan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan dan bahkan membunuh . Karena itu hidup perlu pemberdayaan dan pembelaan, meskipun menuai derita. Berjuang dalam komitmen menjunjung tinggi perdamaian dan kehidupan yang indah bersama, semangat solidaritas yang tinggi kepada yang menderita karena pelbagai krisis kemanusiaan.
Allah adalah pribadi yang berbelaskasih, mau membantu orang yang lemah dan menderita. Pribadi Alah yang itu tampak dalam pribadi putra-Nya Yesus Kristus yang rela memikul kelemahan dan menanggung penyakit masyarakat manusia (lih. Mat 8: 17) karena tergerak oleh belaskasih (lih. Mat 9: 36). Gerakan berbelarasa bagaimanapun juga tetap terarah kepada terwujudnya kemanusiaan yang bermartabat dan adil bagi siapa saja yang berdiam di muka bumi ini. Perang, konflik dan kekacauan akibat krisis penghargaan terhadap martabat manusia menjadi tantangan hebat panggilan kemartiran dalam memperjuangkannya. Menghadapi berbagai macam resiko kemartiran sebagaimana juga pernah dialami para nabi, Yesus, dan pengikut-Nya (lih. Luk 21:10-19).

Berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang merampas hidup dan kekebasan, kita diajak secara elegan memperjuangkan dan menyuarakan damai di tengah situasi yang mengancam kehidupan itu. Lewat cara yang damai kita dapat memberikan diri sebagai kurban untuk membela dan mengangkat hidup sesama. Itulah spiritualitas berbelarasa. Bekerjasama dengan orang yang berniat baik bagi kehidupan bersama. Itulah kemuridan yang dituntut Allah kepada manusia sebagaimana Allah sendiri mau menjadi kurban dan pribadi yang berbelarasa terhadap kaum yang menderita dan tak bersalah.
Gereja pun dituntut untuk mengisi diri dengan semangat berbela rasa itu. Menjalin persekutuan belarasa dengan sesama demi terwujudnya kehidupan harmoni dengan saling menghibur diantara umat yang mengalami kesusahan dan penderitaan. Memperjuangkan persekutuan demi terpeliharanya nilai-nilai hidup yang layak dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dalam situasi hidup bangsa Asia yang carut marut seperti ini, kedamaian diserukan, budaya hidup diangkat kepermukaan. Komunitas persaudaraan mesti tampil dengan caranya masing-masing menuju pengejaran akan nilai-nilai dengan merangkul sesama. Mengerjakan gerakan pengentasan penderitaan, sembari memberi kesaksian tentang hidup yang adil, harmonis, makin manusiawi dan lestari .
Ketika kita sedang merangkul sesama, pada saat yang sama kita menatap Allah. Wajah Allah tersamar dalam sesama yang menderita, yang sedang mengalami ketakutan dan kegetiran dalan suasana perang dan berkonflik. Kita hadir sebagai daun kasih untuk merangkul sesama, yakni menjadi ”syalom” yang merupakan kepenuhan persekutuan dan persaudaraan antara manusia dan Allah serta ciptaan. Inilah yang kita dambakan yakni mewujudkan cita-cita kemanusiaan sebagaimana terungkap dalam Sabda Bahagia (lih. Mat. 5: 3-12). Hanya dengan melihat sesama sebagai ’aku’ yang lain, kita dapat mengalami Allah yang berbelarasa. Allah itu berbelarasa kepada kelemahan manusia, Ia berempati kepada yang menjadi korban penganiayaan, sebagaimana Ia mengasihi Putra-Nya yang diutus-Nya (bdk. Mat 5:11-12; Mat 10:18-19.22).

5. Penutup
Setiap bangsa yang mengalami perang, konflik, teror, pasti mengalami penderitaan. Penderitaan menuntut sikap dan tanggungjawab belarasa. Belarasa itu cerminan kasih Allah yang peduli dan toleran terhadap makhluk ciptaan-Nya. Semangat belarasa itu menjadi semangat dan kekayaan nilai hidup. Kekayaan nilai hidup yang terukir dalam setiap perjuangan kemanusiaan, tidak pernah memiliki spirit tanpa optimisme dan itu berasal dari Allah. Saat manusia memelihara peradaban hidup tanpa jeritan, ia menampilkan pesona Allah. Allah yang harmoni bersama ciptaan. Saat manusia hidup tenteram ia akan diperkaya dalam hidupnya, bukan saja secara lahir tetapi spiritual yang membantunya selaras dengan hidup yang berasal dari Sang Pencipta. Bersama kalangan umat lain dirangsang bersatu padu memupuk budaya belarasa. Maka penting sikap membangun relasi antar iman . Kita harus berani bermimpi menatap hari esok dengan optimisme sekaligus berani menerpa arus jeram penindasan terhadap sesama. Keterlibatan dalam dunia lewat cara harmoni yang secara khusus disoroti dalam berbagai macam problema kehidupan mesti muncul kepermukaan. Gereja terlibat dan mengarahkan diri pada soal kehidupan sosial kemasyarakatan menuju kehidupan yang lebih solider .
Dalam keadaan masyarakat yang mengalami gejolak karena menuju pembentukan tatanan hidup baru, Gereja di Asia perlu selalu berusaha sadar akan perjalanan yang sulit dan melelahkan menyerukan ‘budaya hidup’, antara lain budaya kondusif tanpa teror (ketakutan), budaya adil tanpa kelaliman, dan budaya harmoni tanpa perselisihan. Gereja diharapkan mampu dengan tulus berpartisipasi menjadi ‘suara’ dalam situasi-situasi penuh kegetiran. Karena itu, Gereja diharapkan mampu membangun diri terlebih dahulu agar nantinya mampu menyampaikan sabda yang membebaskan dan warta pendorong dari injil kepada mereka (sesama) yang mengalami penderitaan, ketakutan, kehilangan dan lain sebagainya.

Kepustakaan

Buku:
Chodron, Thubten, Tradisi dan Harmoni, Bandung: Karaniya, 1995

Darminta, J, SJ, Gereja, Dialog, dan Kemartiran, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Hardawiryana, R, dan Siswoyo, Sumartara, (Ed) Dokumen Sidang FABC 1995-1998, Jakarta: DokPen KWI-Obor, 1998

Kirchberger, Georg, Gereja Berwajah Asia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1995

Mahathera Narada, dan Nayakathera, Dahamananda S, Fakta dan Tujuan Hidup, Malang: Club Penyebar Dhamma, 2004

Mulkan, Abdul Munir, dkk (ed), Membongkar Praktik Kekerasan; Menggagas Kultur Nir- kekerasan, Yogyakarta: Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM bekerjasama dengan Sinergi Press, 2002

Prior, John M, dan Pa, Patris, (Ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI, 2007

Prior, John M, Berdiri di Ambang Batas, Maumere: Ledalero, 2008

Pieris, Aloys, Berteologi dalam Konteks Asia, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Sobrino, J dan Hernandez Pico, J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Song, C. S, Theology from the Womb of Asia, New York: Orbis Books, 1986

Kleden Tony (ed), Keadilan dan Perdamaian (seri VOX), Ende: Arnoldus, 1993


Internet:
http://www.youtube.com/watch?v=EFrQR8n8r3I, (diakses tgl 18 Juni 2010).
http://id.shvoong.com/tags/kumpulan-puisi-dr-apj-abdul-kalam-presiden-india, (diakses tgl 19 Juni 2010).

Selasa, 15 Juni 2010

IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja


IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja
Kosmas Ambo Patan

Pengantar

Ikon seringkali disebut sebagai seni teologis, oleh karena ikon tidak terlepas dari nuansa ajaran iman. Seiring dengan perkembangan peradaban seni sendiri, ikon menempati tempatnya sendiri. Ikon berbeda dengan aliran seni lukis lainnya. Alasannya karena ikon sarat dengan nuansa religius. Nuansa ini terkait erat dan karena itu menjadikan ikon berbeda dari lukisan yang bernuansa religius lainnya. Ciri ikon adalah keabadian yang membedakannya dari karya seni lain, sebab ikon memiliki tendensi pada pertanyaan pokok iman Kristiani; Siapa Yesus Kristus? Yesus Kristus yang adalah Allah manusia. Allah dalam wujud kemanusiaan . Ikon adalah seni menghayati iman. Ikon menampakkan dimensi kemanusiaan dan kailahian, menjadi corong dalam pengungkapan iman akan Yang Ilahi, maka ikon selalu terkait erat dengan Kitab Suci dan Liturgi.
Sedangkan Ikonoklasme adalah sebuah gerakan penghancur gambar-gambar atau ikon. Gerakan ini menentang penggunaan gambar yang dipakai sebagai sarana ibadat dalam Gereja Timur. Ikonoklasme berpendapat bahwa ikon lebih cocok sebagai sarana pengajaran iman dari pada sebagai sarana peribadatan. Pembelaan terhadap penggunaan ikon dalam peribadatan diperjuangkan oleh Yohanes Damaskus, bahwa penggunaan gambar-gambar itu dimungkinkan untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang kudus sebagai konsekuensi logis dari inkarnasi. Problem inilah yang mendatangkan krisis dalam Kristianitas zaman Gereja Bizantium.
Dalam tulisan ini penulis mencoba (secara singkat-padat) menelusuri kembali pokok permasalahan yang ada sebagai pemicu pertentangan ini. Pada poin pertama penulis ingin menampilkan latar belakang sejarahnya, melihat terminologi dan unsur teologis serta dimensi liturgisnya. Poin kedua menampilkan akar pemicu pertentangan. Poin penutup penulis ingin menampilkan upaya rekonsiliasi dengan redefinisi atau pengaturan secara wajar ikon dalam dunia penghayatan iman Gereja.

A. Ikon
1. Latar Belakang Sejarah
Pada abad ke-7, muncullah agama Islam di Timur tengah. Kota Konstantinopel diserbu pada tahun 678 dan 718. Kebanyakan dari propinsi Gereja timur termasuk patriakh Aleksadria, Yerusalem, dan Antiokhia, jatuh ke tangan Islam. Sebab mulai abad ke-6 bangsa Slavia yang belum Kristen memasuki daerah Balkan, maka seakan didirikan semacam tembok antara Roma dan Konstantinopel, yang menimbulkan persaingan antara Timur dan Barat. Di Konstantinopel bahasa latin diganti dengan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi. Komunikasi dengan Barat berkurang. Maka mulai masa itu pula Bizantium menjadi kekaisaran Yunani.
Latar belakang budaya Yunani seperti penghormatan kepada patung dewa-dewi menginspirasikan suatu bentuk pengahayatan iman di kalangan Gereja Timur. Gagasan ini berkembang dan di adopsi oleh Gereja Timur karena dilihat sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual untuk menggambarkan Allah dalam wujud kemanusiaan. Patung atau gambar itu dibuat untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang Kudus. Maka penghormatan ini diterima dan menjadi devosi umum dalam Gereja Timur. Pembuatan ikon ini dilakukan oleh Ikonografer , dengan pantang dan puasa khusus. Ditinjau dari pespektif kesusastraan, sumber literer Ikonografer adalah Kitab Suci, tulusan-tulisan Apokrif , teks-teks liturgis, hagiografi , dan manuskrif dari bapa-bapa Gereja. Dalam perkembangan selanjutnya ada banyak literer yang mempengaruhi pembuatan ikon.

2. Terminologi
Ikon berasal dari bahasa Yunaniyang berarti gambar. Kata ikon dalam pengertian umum biasa digunakan untuk menerangakan gambar yang dibuat diatas kayu. Gambar tersebut hendak mempresentasekan gambar Tuhan, Bunda Maria, dan santo-santa atau orang Kudus lainnya. Gambar yang disajikan bukanlah pertama-tama gambar nyata yang mendetail dan indah menurut kriteria seni murni, namun lebih mengungkapkan makna simbolik. Oleh karena itu, ikon dalam kerangka ini memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengamini ajaran iman. Dalam Gereja Timur ikon dipakai sebagai sarana peribadatan, baik pribadi maupun publik.

3. Unsur Teologis
Ikon adalah gambar yang merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi. Ikon merupakan sarana manusia beriman untuk mengenal dan merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi ke dalam lingkungan inderawi manusia. Ikon dilihat sebagai sarana yang mudah dan mengena dalam menghayati Kristus sebagai Allah dalam dalam rupa manusia. St. Theodorus mengatakan bahwa Sabda Allah yang tidak tampak berasal dari Bapa yang juga tidak tampak, sabda itu muncul dan menjadi jelas kala Yesus hadir ke dunia.
Unsur teologis ini ditentang oleh Ikonoklasme yang beranggapan bahwa mustahil merepresentasekan Kristus sebagai Allah dalam sosok manusia, Allah lebih besar dari gambaran yang bisa diberikan oleh manusia. Mustahil mereduksi Allah yang maha segala. Dasar biblis yang dipakai untuk menyerang adalah dari Kitab Suci, “Tidak pernah ada orang yang melihat Allah” (1 Yoh. 4:12).

4. Dimensi Liturgis
Liturgi adalah sarana manusia hadir dihadirat Allah. Dalam liturgi umat beriman merlakukan penyembahan, penyembahan itu sendiri mendapat tekanan pada Konsili Necea tahun 787. Penyembahan itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Penyembahan kepada ikon hanya menjadi sarana manusia untuk masuk dalam suasana religius. “Penghormatan terhadap ikon tidak ditujukan pada gambar melainkan kepada tokoh yang digambarkan” atau kepada sosok yang direpresentasekan dalam ikon itu. Ikon dalam liturgi digunakan sebagai sarana manusia mengasah kepekaan inderawi akan kehadiran Allah.

B. Ikon versus Ikonoklasme
1. Ikonoklasme
Ikonoklasme berasal dari bahas Yunaniberarti menghancurkan gambar. Penghancuran gambar-gambar kudus /ikon. Kudus. Ikonoklasme melakukan gerakannya antara tahun 726-843. Latar belakang munculnya gerakan ini dipicu oleh semakin marak dan meluasnya penghormatan terhadap ikon, sehingga terkesan berlebihan. Sehingga muncullah pertentangan antara kaum Ikonoklasta dan kaum Ikonodoula. Ikonoklasta: golongan penentang ikon yang terdiri dari kaisar dan para pejabat tinggi, sebagian dari kalangan rohaniwan sekuler serta penduduk daerah Asia minor. Ikonodoula: golongan yang mempertahankan ikon, yakni para pemuja gambar-gambar ikon yang berlebih-lebihan, terutama para rahib, penduduk dan beberapa teolog.

2. Akar Konflik
Penghormatan terhadap patung, gambar telah menjadi devosi umum dalam Gereja Bizantium, tetapi seringkali dalam praktek, para penghormat ini kurang membedakan antara gambar dengan apa yang digambarkan sehingga sampai pada “pemujaan berhala” atau terjerumus ke idolatry . Hal itu menimbulkan kecurigaan kepada pimpinan Gereja. Tambahan lagi suatu argumentasi Kristologis dari kaisar konstantinus V (741-775), yang berpendapat bahwa sifat gambar sama dengan dengan apa yang digambarkan, dan bahwa membuat suatu gambar Kristus adalah bidaah, karena kedua kodrat Kristus tidak dapat dipisahkan.
Para penghormat patung berpendapat, bahwa suatu gambar pada hakekatnya berbeda dari apa yang digambarkan. Penghormatan patung itu bukan penyembahan atau pemujaan berhala; dapat dibandingkan dengan hormat yang diberikan kepada patung kaisar. Sumber kekuatan ikonoklas untuk menentang adalah dari teks Kitab Suci PL: “Janganlah engkau membuat patung pahatan atau gambaran apapun dari yang ada di langit di atas atau di bumi di bawah atau di dalam air di bawah bumi. Janganlah engkau bersembah sujud kepadanya atau berbakti kepadanya, sebab Aku yahwe Allahmu adalah Allah yang cemburu” . Yohanes Damascenus menitikberatkan hubungan antara arti patung-patung dan teologi inkarnasi; patung adalah tanda nyata bahwa yang jasmaniah disucikan karena Putera Allah yang menjadi manusia. Lagi pula ia menegaskan distingsi mutlak antara istilah “penyembahan” (Allah), dan penghormatan” (patung Kristus dan orang Kudus).

3. Masa Penghancuran
Pada masa kaisar Leo III (717-741), terutama tahun 726 dikeluarkan maklumat pelarangan penghormatan patung sehingga ikon Kristus yang sangat dihormati, dihancurkan. Tindakan ini menimbulkan kerusuhan di Konstantinopel dan terjadi pemberontakan di propinsi Yunani. Tahun 730 Leo III mengeluarkan perintah mengharuskan penghancuran patung-patung. Pada saat itu ikonoklasme dilegalkan. Patung-patung dikeluarkan dari Gereja. Banyak penghormat dihambat, dibuang dan dibunuh.
Tahun 754 atas prakarsa kaisar Konstantinopel V diadakan sinode Konstantinopel. Penghormatan patung dinyatakan sebagai bentuk pemujaan berhala sampai menghormati orang Kudus dan menghormati bunda Allah dilarang saat itu. Masa ini merupakan puncak penghambatan penghormatan ikon sekaligus merupakan puncak kejayaan bidaah ikonoklasme.

C. Upaya Rekonsiliasi
Pada tahun 787 diadakanlah Konsili Nicea II atas prakarsa Irene, janda kaisar Leo IV (775-780), yang menjadi wali putranya. Penghormatan patung dipulihkan kembali. Walaupun antara tahun 813 dan 843 pada masa kaisar Leo V (813-820) dan kaisar Teofilus (829-843), ikonoklasme sempat muncul kembali, namun gelombang kedua ini tidak sehebat yang pertama. Pada Tahun 842 gerakan ikonoklasme lumpuh. Pada tahun 843 diadakan sinode di Konstantinopel untuk memulihkan penghormatan terhadap ikon secara definitif.

Penutup

Setiap agama memiliki cara perspektif dalam mengaktualisasikan kegiatan berimannya. Kegiatan beriman lewat sistem peribadatan menentukan eksistensi agama atau sistem kepercayaannya. Apakah itu melalui simbol yang berupa karya seni, sejauh dilihat tak bertentangan dengan paham dan realitas yang disimbolkan dalam cara pengungkapannya itu. Maka sebagai sebagai penutup dari uraian ini harus dikatakan bahwa setiap manusia beriman telah dinyatakan dewasa menghayati kehidupan rohaninya. Salah satu cara orang masuk ke kedalaman imannya dalam liturgi adalah lewat seni dan mendalami makna simbolis yang sarat dengan makna dan simbol teologis. Ikon sebabagi suatu sarana peribadatan mau memberi tempat untuk itu.

Kepustakaan

ALKITAB
Haight, R., Christian Community in History 1; Historical Ecclesiology, London: Continuum, 2004

Gallatin, Harlie Kay., A Lion Handbook, The History of Christianity, England: Lion Publishing plc, 1977

Shadily, Hasan (ed)., Ensiklopedi Indonesia; edisi khusus, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, (t.th.t)

Heuken, A., Ensiklopedi Gereja; Jilid III H-J, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004

AGAMA SAMAWI dan BUDAYA


AGAMA SAMAWI dan BUDAYA
Kosmas Ambo Patan


Pengantar

Agama lahir dari kerinduan manusia untuk mengenal dan mengetahui sesuatu yang lebih dulu menyatakan diri kepada manusia. Oleh karena adanya kepercayaan akan hal yang menyatakan diri itu, maka munculah suatu tanggapan dari manusia. Agama dalam hal ini meliputi seluruh fenomena yang berkaitan erat dengan suatu relasi khusus antara manusia dengan yang mengatasi manusia atau dengan yang transenden. Agama sebagai suatu system kepercayaan memiliki karakter sebagai suatu cara pengungkapan religiusitas manusia. Karakter pertama ketergantungan manusia terhadap kekuatan yang melampui dirinya, karakter yang kedua pencarian akan kekuatan itu melalui pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Samawi diyakni ada relaitas transenden. Realitas tertinggi yang menyingkapkan diri melalui pengalaman manusia. Dari sinilah manusia sadar bahwa terdapat suatu kekuatan yang mengatasi dirinya yang patut diberi penghormatan secara istimewa. Kekuatan itu tunggal dan melampui kekuatan-kekuatan lainnya. Manusia merasa memiliki keterikatan dan relasi dengan kekuatan di luar dirinya itu. Kekuatan itu diyakini sebagai Allah Yang Esa atau Alah Yang Mahakuasa.

1. Agama Samawi dan pengertiannya

Karakter agama dengan demikian pertama-tama, dilihat sebagai sesuatu yang mencakup segala perwujudan dan bentuk hubungan manusia dengan yang Adikodrati. Kedua, Terhadap yang Adikodrati itu, manusia merasa diri kecil, dan menggantungkan diri kepada yang adikodrati tersebut. Yang Adikodrati membuat manusia takut atau takwa karena sifatNya yang dahsyat; tetapi sekaligus juga membuat manusia tertarik kepadaNya (tremendum et fascinoscum). Istilah Adikodrat dari suatu pengalaman para pendiri agama-agama, yang lazimnya dinamai wahyu. Wayhu ini mencakup pandangan tentang Yang Ilahi itu sendiri, asal-usulnya, tentang akhirat, tentang tuntunan akhlak/moral serta cara-cara beribadat. Biasanya apa yang diterima sebagai wahyu dicantumkan dalam Kitab yang dinamakan Kitab Suci. Dalam hubungan dengan hal tersebut kita dapat mengatakan bahwa agama samawi adalah agama yang benar-benar berasal dari Yang Ilahi tersebut, datang dari yang Adikodrati. Singkatnya datang dari Tuhan sendiri. Oleh karena agama Samawi itu berasal dari Tuhan, atau yang tansenden, atau yang Adikodrati maka sebagai pegangan iman, agama tersebut memiliki Kitab Sucinya.
Menurut pandangan Islam, agama Samawi adalah agama yang bertalian dengan langit atau agama langit. Agama juga adalah soal keyakinan. Agama Samawi berarti agama monoteisme yang menaruh keyakinan dan kepercayaan hanya kepada satu Allah. Y.W.M Bakker berpendapat bahwa dasar gerakan agama ialah suatu kepercayaan kepada yang datang dari yang Adikodrati. Agama tersebut berasal dari Tuhan. Agama samawi adalah agamanya murni dari Tuhan, benar-benar berasal dari Tuhan Oleh karena datang dari yang Adikodrati, maka agama tersebut bersifat Adikodrati.

2. Agama dan Budaya: Persoalan Sakral dan Profan

Letak persoalan antara agama ini dan budaya, adalah bahwa agama dengan demikian tidak bisa dicampuradukkan dengan budaya. Alasannya ialah agama dipandang sebagai yang tidak termasuk atau sesuatu yang diluar kebudayaan yang memfondasikan diri pada daya dan kekuatan manusia meskipun semua bentuk lahiriah dari suatu agama masuk dalam kriteria kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
Dalam hal ini budaya di dalamnya terkandung kepercayaan. Kepercayaan merupakan bagia dari budaya manusia. Namun yang menjadi dasar perbedaannya dinyatakan dalam istilah sakral dan profan. Arti dari profan adalah benda dihasilkan oleh manusia untuk kepentingan manusia sehari-hari misalnya pakaian makanan, minuman pendeknya segala sandang, pangan, papan yang berasal dari alam nyata disekitar manusia. Sedangkan hal yang sakral benda yang asalnya dari kekuatan adikodrati, dan diperuntukan bagi kegiatan adikodrati, yang berasal dari yang Ilahi adikodrati. Pertanyaan selanjutnya kapan dapat dikatakan profanasi dan kapan dikatakan sakralisasi? Terjadi Profanasi kalau apa yang masuk kedaulatan Allah, dijadikan sesuatu untuk kepentingan otonomi manusia. Bagaimana hal ini bisa dipahami? Profanasi dalah sikap konkret. Ialah semua benda yang dianggap sakral dijadikan sebagai yang penting dalam hidup manusia. Kemudian terjadi sakralisasi kalau sesuatu yang profan diperlakukan sebagai adikodrati, misalnya kalau pakaian sehari-hari yang kita kenakan ditingkatkan nilainya, maka yang terjadi saat itu adalah apa yang disebut sebagai sakralisasi. Terjadi desakralisai bila semua nilai profan dipropagandakan dalam keagamaan semu.
Sekularime, arti dan mengapa terjadi sekularisme. Sekularisme adalah paham yang sama sekali tidak mementingkan nilai-nilai agama Sekularisme terjadi bila hidup di dunia ini tidak mengalami relasi yang intim lagi dengan keagamaan. Hidup manusia yang tergerak oleh semangat sekularisme tentu tidak akan mempedulikan apa dan bagaimana agama berperan dalam kehidupannya, artinya arah hidupnya tidak difondasikan pada ajaran agama atau kepada yang Adikodrati. Dengan demikian hidupnya terlepas dari kekangan norma agama.

3. Dampak yang Ditimbulkan Agama Samawi Terhadap Kebudayaan

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem dunia ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian penghuni dunia ini. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Selanjutnya, di dalam hubungan antara agama dan budaya secara kurang lebih dijelaskan bahwa peranan inspirasi religius yang bersendi adikodrati dapat menggerakkan imajinasi kreati manusia yang luar biasa dan menghasilkan karya seni, misalnya Kaligrafi dalam agama Islam. Di pihak lain, banyak budayawan menilai bahwa adanya unsur kebudayaan yang muncul dari inspirasi yang disebut religius memasukkan religi pula dalam lingkup kebudayaan. Dalam hal ini, pemahaman mereka tentang agama tidak lagi terbatas pada pengertian agama wahyu tetapi memasukkan semua kepercayaan terhadap semua kekuatan yang dianggap melebihi kemampuan manusia dan berasal dari sesuatu yang sacral sebagai agama, termasuk dalam budaya. Dari pernyataan tersebut, dapat dibedakan antara agama wahyu atau samawi dengan agama-agama tradisional atau agama suku-suku.
Dalam agama ataupun religiositas tradisional atau agama-agama suku, manusia diarahkan pada ungkapan kepercayaan yang bisa lebih dari satu. Misalnya dewa-dewi, sedangkan agama samawi ini membawa manusia pada yang Adikodrati. Segi lahiriahnya terpancar dalam berbagai cara-cara adat atau kebiasaan hidup mereka. Sedangkan agama samawi adalah agama wahyu, ada nabi atau pemimpinnya, dan tentu ada Kitab Sucinya.

4. Sikap Agama Samawi Terhadap Dunia yang Bukan Agama
Agama samawi memang diakui sebagai agamanya murni dari Tuhan, akan tetapi pada kenyataan, orang-orangnya sudah datang dan dan hidup dalam suatu budaya tertentu Lalu agama samawi tentu harus berhadapan dengan perkembangan keyakinan agama-agama suku. Walau demikian, persoalan budaya pun akhirnya menjadi persoalan agama. Namun adalah sangat berbahaya jika unsur religiositas asli masuk dan menghilangkan keotentikan agama Samawi. Orang-orang menganut sistem agama samawi perlu bermawas diri. Agama Samawi memang harus mengakui bahwa dalam hidupnya sehari-hari ia berelasi dengan unsur yang bukan unsur agama, ia berhadapan dengan unsur-unsur yang bukan berasal dari Tuhan, misalnya dalam praktek magis. Praktek magis memang tidak diminati oleh agama Samawi, bila ada unsur magis ini masuk ke dalam Agama Samawi berarti agama Samawi tersebut sudah menyimpang dari kepercayaannya yakni percaya pada satu Allah. Akhirnya sikap kita ialah bahwa kita perlu mawas diri. Bersikap hati-hati, dan senantiasa kritis. Kita juga bersikap intropeksi ke dalam diri dengan bertanya; religiositas kita mau mengarah ke mana? Apakah tertuju kepada Tuhan Yang Esa?.

5. Relasi Antara Iman dan Rasio dalam Agama Samawi.

Banyak pemikir yang menyatakan bahwa kebenaran atau ajaran religius mengatasi akal budi dan hanya bisa dicapai dalam penyerahan iman. Tertullianus mengatakan saya percaya karena tak masuk akal (Credo quia absurdum). Dengan kata lain akal budi tak cukup mengantar orang pada pengenalan dan pemahaman akan yang adikodrati jika tidak diikutsertakan dengan iman. Iman memiliki peranan yang sangat sentral dalam cara penghayatan umat yang memiliki Agama.
Akal budi tidak mungkin menjelaskan secara tuntas isi ajaran wahyu ilahi. Dipihak lain banyak pemikir menyatakan bahwa Kebenaran suatu ajaran atau kepercayaan seperti dalam agama Samawi ini yang notabene dari yang Adikodrati, memang sesuatu yang mengatasi akal budi dan hanya bisa digapai dalam penyerahan iman yang total kepada Allah. Dari perspekti Katolik Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Fides et Ratio sangat menekankan pentingnya hubungan antara iman dan akal budi, karena yang satu tanpa yang lain menjadi miskin dan lemah. Bila dijauhkan dari apa yang diberikan oleh Wahyu, akal budi menjadi menyimpang dan akibatnya, menghadapi bahaya tidak dapat melihat lagi tujuan akhirnya. Agama katolik yang merupakan salah satu dari Agama Samawi yakin bahwa beriman itu tidak membabi buta.

Penutup.

Sebagai sebuah kesimpulan dari uraian kami mengenai Agama Samawi, bahwa Agama Samawi adalah agama yang yang berasal dari yang Adikodrati. Meskipun Agama Samawi telah diyakini banyak bangsa di dunia ini, hal ini bukan tanpa persoalan apalagi berhadapan budaya asli dan dengan dunia magis diluar. Namun yang dituntut adalah suatu sikap mawas diri. Agama Samawi juga dalam penghayatannya perlu suatu pertautan antara iman dan akal budi untuk mengerti dengan lebih baik Allah yang mendekatkan diri kepada manusia.

Kepustakaan

Reksosusilo, Stanislaus, CM, Filsafat Kebudayaan, Malang:STFT Wydia Sasana, 2006
Endang Saifuddin Anshari, H. Agama dan Kebudayaan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980.
Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Suseno, Franz Magnis SJ. Filsafat Kebudayaan Politik; Butir-butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 1992.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Jumat, 11 Juni 2010

MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH); MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA


MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH);
MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA
(Dibawakan dalam acara malam Valentine’s Day OMK se-Paroki St. Montfort Poco-Keuskupan Ruteng,14 April 2008)
Marcel Lobi & Cosmas Ambo Patan

Pengantar

Mengulas mengenai kata “cinta” tak pernah habis, dalam istilah Latinnya, Per Amor Num Quam Satis. Berbicara tentang “cinta” itu tak pernah selesai. Sejak keabadian yang tak bisa ditentukan baik secara kronos maupun secara kairos, tak bisa tidak, ia memiliki historisitas, peradaban, dan dinamika, bahkan ritmenya sendiri seiring dengan zaman yang diarungi manusia. Cinta, sebagaimana manusia hidup dalam arus zaman yang mengalami pergeseran paradigma. Dan dari setiap zaman, “cinta” dialami dan dimaknai secara berbeda. Dewasa ini, kata “cinta” sudah begitu tercemar, rusak dan salah digunakan, sehingga orang nyaris takut mengucapkannya dengan mulut sendiri. Namun demikian” cinta” sesungguhnya kata primordial, ungkapan menyataan primordial. Kita tidak begitu saja membuangnya, kita harus memkainya lagi, memurnikannya dan mengembalikan semarak aslinya sehingga menerangi hidup kita dan membimbing kita ke jalan yang benar.

1. Cinta Dari Perspektif Psikoanalisa

Seorang psikoanalisis ternama Erich Fromm, dalam bukunya the Art of Loving, menguraikan bahwa cinta adalah bagaikan seni,yang pengetahuan tentangnya bertambah dan dilaksanakan dengan tekun, agar orang dapat mencintai dengan baik. Cinta atau kasih sayang adalah terutama aktivitas untuk memberi, bukan menerima. Namun banyak yang berpendapat bahwa dalam soal cinta,yang perlu adalah agar dirinya dicintai, bukan mencintai. Agar orang dicintai, orang menggunakan berbagai jalan. Bagi putra, yang umumnya dilakukan adalah berusaha menjadi orang sukses agar banyak uang dan kekuasaan. Bagi yang putri, memperindah tubuh dan penampilan. Baik putra maupun putri berusaha meningkatkan tata cara, percakapan dan daya tarik seksualnya agar laris dicintai. Ada pula yang berpendapat bahwa tak perlu mempelajari cinta. Yang perlu adalah mencari obyek yang tepat. Jika ketemu, barulah bisa mencintai. Tambah baik obyeknya tambah hebat pula cintanya. Ada pula yang membaurkan cinta yang lebih langgeng yang tidak menggebu-gebu dengan rasa jatuh cinta, di mana bahagia yang dahsyat terasa ketika dua pribadi asing jadi satu, sehingga ia merasa kehilangan cintanya di saat si dia sudah jadi biasa. Akibatnya, ia mencari yang baru lagi dan lagi-lagi akan mengalami kekecewaan.

Erich Fromm melihat bahwa sikap menggampangkan cinta ini seringkali menjadi sumber kekecewaan. Cinta bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalankannya dengan baik. Cinta yang paling jelas adalah perilaku seorang ibu pada anaknya yang masih kecil. ia memberinya makanan dan minuman, memenuhi kebutuhannya, merawat dengan lembut, memandikannya dan menjaga agar anaknya tetap senang. Semua ini dilakukan tanpa mengharapkan apa-apa, bukan sikap akal-akalan agar dapat imblan yang lebih baik. Itulah sebabnya cinta ibu pada anakanya seringkali dijadikan ukuran cinta yang sempurna, yang total. kepedulian aktif untuk kehidupan dan perkembangan orang yang dicintai, itulah cinta. Jika ada orang mengatakan bahwa ia mencintai tanamannya atau ternaknya, tetapi membiarkan tanamannya layu atau hewan piaraannya kelaparan, itu bukan cinta.

Cinta adalah akitivitas yang terutama memberi, bukan menerima. Dalam memberi itu, seseorang merasa bahagia, sebab merasakan bahwa dirinya mempunyai kekuatan, kemampuan dan merasa hidup. Yang biasa memberi hanya orang yang mempunyai, bukan yang tidak mempunyai. apa saja yang diberikannya? Fromm menyebut empat unsur dalam cinta, yaitu kepedulian (care), tanggungjawab (responsibility), penghargaan (respect) dan pengetahuan (knowledge) seperti kepedulian seorang ibu pada anaknya.

Pada orang dewasa, kepedulian ini lebih bersifat memenuhi kebutuhan psikologis. Dengan memberikan perhatian, mencoba mengerti sudut pandangannya, peduli pada perjuangan dan usahanya. kepedulian ini sampai dirasakan sebagi tanggungjawabnya, bukan tanggungjawab sebagai beban, namun tanggungjawab yang lahir dari kasih sayang, sebagai ungkapan rasa cinta. namun jika kurang hati-hati kepedulian dan tanggungjawab ini bisa menjadi usaha untuk mendominasi, karena merasa dirinyalah yang paling tahu tentang subyek yang dicintai. untuk menghindari ini perlu adanya penghargaan, yakni menghargai keunikan orang yang dicintai dan tidak mengubah dia seperti apa yang dikehendaki baru bisa mencintainya. orang yang dicintai perlu dapat mengembangkan potenisnya tanpa dieksploitasi. Cinta sama sekali tidak sama dengan seks. Cinta lebih agung daripada seks. seks sendiri perlu dibingkai dengan cinta. tanpa cinta, seks hanyalah mengakibatkan penderitaan.

2. Cinta Dari Perspektif Kristiani

Paus Bendiktus XVI menguraikan dengan sangat mendalam, makna cinta yang sesungguhnya, dalam ensikliknya “Deus Caritas Est”. Bagian pertama berbicara tentang hakikat cinta, hubungan eros dan agape, sedangkan bagian kedua mengupas cinta Gereja sebagai komunitas, lewat organisasi karitatif.

Dewasa ini, tulis Paus, istilah cinta (terj.dari love dari bah. Inggirs dan amor dalam bah. Latin) telah menjadi salah satu kata yang paling sering digunakan dan disalahgunakan, suatu kata yang diberi beragam makna yang berbeda. Ada cinta pada negara, atau profesi, ada cinta antara sahabat, ada cinta akan kerja, ada cinta antara orangtua dan anak, antara sesama anggota keluarga, terhadap tetangga, dan cinta pada Tuhan. Dalam keragaman arti ini, terutama satu yang paling menonjol: kasih antara lelaki dan perempuan, di mana jiwa raga saling terkait secara tak terpisahkan dan tampil kepada manusia sebagai satu-satunya contoh kasih, sehingga semua jenis kasih lainnya memudar.

Kasih antara pria dan wanita, yang tak berasal dari pemikiran dan kemauan, melainkan menimpa manusia, oleh orang-orang Yunani diberi nama eros. Dalam perjanjian Lama, kata eros hanya digunakan dua kali, sedangkan Perjanjian Baru sama sekali tak memakainya. Dari ketiga kata untuk kasih- eros, philia (kasih persahabatan), Agape-tulisan PB lebih suka memakai kata terakhir ini, yang dalam penggunaan bahasa Yunani kurang penting. Dalam dunia Yunani, agama-agama sikap ini mengambil bentuk upacara kesuburan, yang mencakup prostitusi “suci” yang berkembang di banyak kenisah (kuil-kuil). Dengan demikian eros dirayakan sebagai kuasa ilahi, sebagai persatuan dengan yang ilahi.

Perjanjian Lama dengan tegas menolak atau melawan agama semacam ini yang sebagai godaan amat kuat melawan iman akan Allah yang esa. ia tak menolak eros sebagi eros, melainkan memerangi kekuatannya yang membinasakan. Karena mengilahikan eros yang terjadi di sini salah, merampas martabatnya dan melecehkan kemanusiaannya. Para pelacur di kenisah yang harus memberikan kemabukan ilahi, tidak diperlakukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai obyek untuk mendatangkan kegilaan ilahi. Mereka itu bukan dewa-dewi, melainkan manusia yang disalahgunakan. Karena itu eros yang mabuk dan tanpa kendali bukan kemajuan, ekstasi menuju keilahian, melainkan kejatuhan manusia. Dengan demikian menjadi nyata bahwa eros membutuhkan pengendalian, pembersihan, untuk memberi kepada maunsia, bukan kenikmatan sesaat, melainkan prarasa kehidupan yang tinggi-kebahagiaan yang kita rindukan.

Dua hal yang perlu diketahui tentang eros dalam sejarah dan masa kini. Pertama, bahwa kasih sedikit banyak berkaitan dengan yang ilahi. Ia menjanjikan keabadian. Namun juga jelas bahwa jalan ke situ (keabadian) tidak dapat dicari begitu saja dalam penguasaan oleh hawa nafsu. Diperlukan penjernihan dan pendewasaan, yang juga dapat melalui jalan pantang. Ini tidak menolak eros, tidak “meracuninya”, melainkan tindakan memulihkan keagungannya. Kini, di tengah dunia yang mendewakan tubuh, eros dilecehkan menjadi seks menjadi barang, benda, yang dapat dijualbelikan. Manusia sendiri dalam pada itu menjadi barang. Ini jelas bukan sikap positif manusia terhadap tubuhnya. Sebaliknya. ia menganggap tubuh dan seksualitasya semata-mata sebagai kejasmanian yang dimanfaatkannya dan dipakainya dengan perhitungan. Sikap ini bukanlah tanda kebebasan, melainkan tanda kesewenangan memperlakukannya sebagai sumber kenikamatan dan sekaligus pelecehan. Sebenarnya kita berhadapan dengan pelecehan tubuh manusia yang tidak diintegrasikan dalam keseluruhan kebebasan hidup kita, bukan lagi ungkapan hidup keseluruhan eksistensi kita, melainkan dimerosotkan menjadi hal biologis belaka, penghargaan semu terhadap tubuh dapat cepat berubah menjadi kebencian terhadapnya. Sebaliknya iman kristiani senantiasa memandang manusia sebagai dwitungal, padanya roh dan materi saling meresapi dan dengan demikian, keduanya mengalami keluhuran baru. Eros ingin menarik kita kepada yang ilahi, membawa kita mengatasi diri sendiri.

3. Bagaimana Cinta Harus Dihayati?

Petujuk penting yang dikenal dalam PL, Kidung Agung. Cinta suami isteri dijunjung tinggi. Berbeda dengan kasih yang masih mencari dan tak menentu, dalam kata agape diungkapkan pengalaman kasih, yang kini sungguh berarti menemukan sesama dan dengan demikian mengatasi segala unsur egiostis. Kasih kini menjadi keprihatinan dan perhatian bagi orang lain. Ia tak lagi mencari diri sendiri, yakni tenggelam dalam kemabukan dan kebahagiaan, melainkan apa yang baik bagi yang dikasihi. ia menjadi pantang, ia bersedia berkurban, ia menghendakininya.

Pertumbuhan kasih menuju tingkat tang lebih tinggi dan pemurnian batinnya berarti bahwa kasih menghendaki keadaan defenitif, dalam dua arti, yakni ekslusivitas “hanya orang satu ini” dan dalam arti “untuk selamanya”. Seluruh eksistensi dicakupnya dalam semua dimensisnya, juga menyangkut dimensi waktu. Kasih menghendaki kebabaidan. Ia keluar dari kungkungan diri sendiri ke penganugerahan diri, untuk penyerahan. “Barang siapa menyelamatkan nyawanya, akan kehialangan nayawanya, tetapi barangsiapa kehilanganya nyawanya, ia akan menyelamatkannya. (Luk 17:33). Dengan kata-kata itu Yesus melukiskan jalanNya sendiri, yang melalui salib sampai kepada kebangkitan-jalan biji gandum, yang jatuh ke dalam tanah dan mati dan dengan demikian menghasilkan buah melimpah. Dengan itu Ia melukiskan juga hakikat kasih dan esksitensi manusia pada umumnya dari pusat KurbanNya sendiri dan di dalamnya kasih yang menuntaskan diri.

3. 1. Hakikat Cinta dalam Iman Alkibiah

Eros dimengerti sebagi kasih duniawi, sedangkan agape sebagi ungkapan yang berdasarkan iman dan diresapinya. Keduanya seringkali dipertentangkan. eros sebagai kasih dalam garis yang menaik, kasih yang mengingini, agape, kasih dalam garis yang menurun, kasih yang memberi.

Dari sudut padang kristiani, kedua jenis kasih, eros dan agape, kasih yang menaik dan kasih yang menurun, tak pernah dapat dipisahkan satu sama lain. Semakin keduanya tampil menyatu sewajarnya dalam dimensi yang berbeda dalam realitas kasih yang sama, semakin terwujudlah hakikat kasih sejati. Bila eros pada permulaan terutama menuntut dalam pada garis menaik, pesona oleh janji besar kebahagiaan, maka maka mendekati orang lain, makin sedikit memperhatikan diri sendiri, makin menghendaki kebahagiaan orang lain, makin memperhatiakannya, makin menganugerahkan dirinya, mau “berada baginya”.

Sebaliknya, manusia tak dapat hidup dalam kasih yang menurun saja. Barang siapa mau menganugerahi kasih, ia sendiri harus dianugerahi. Memang manusia bisa seperti kata Tuhan kepada kita- menjadi sumber, dari mana arus air mengalir, (bdk.Yoh 7:37-38). Namun agar ia menjadi sumber seperti itu, ia sendiri harus selalu minum dari sumber asli- pada Yesus Kristus- dari hatiNya yang terbuka mengalir kasih Allah sendiri (bdk. Yoh. 19:34).

Pada akhirnya, kasih merupakan satu realitas, tetapi dengan pelbagi dimensi- setiap kali hanya satu yang dapat lebih menonjol Namun di mana kedua dimensi sama sekali terpisah, timbullah karikatur atau paling sedikit bentuk kekurangan kasih.
Iman alkitabiah tidak menolak kasih manusiwi (eros) melainkan menerimanya secara utuh, namun ia memurnikan dan membuka dimensi baru. kebaruan iman alkitabiah ini terutama tampak dalam dua butir yang patut dikemukanan; dalam gambaran tentang Allah dan manusia.

3. 2. Kebaruan Iman Alkitabiah

Pertama, gambaran baru tentang Allah. Allah itu satu, Pencipta seluruh realitas, bahwa realitas ini berasal dari kuasa sabdaNya yang menciptakan. Ini berarti ciptaanNya ini dikasihiNya, karena dikehendakiNya sendiri, dibuat” olehNya. Allah ini mengasihi manusia. ia mengasihiNya dan kasihNya ini dapat diesbut eros, yang sekaligus seutuhnya agape. Kasih Allah kepada mansia tempak dalam hubunganNya dengan Israel allah setia terhdap umatNya, meskipun mereka tidak setia. kasih Allah dianugerahkan. Cuma-Cuma dan tanopa jasa sebelumnya, juga kasih itu mengampuni.

Kedua, gambaran tentang manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai laki-laki dan wanita. Keduanya diciptakan Allah untuk saling melengkapi, bukan saling menguasai. manusia menjadi “utuh” hanya dalam kebersamaan pria dan wanita. Itulah sebabnya” pria meninggalkan ibu-bapanya dan bersatu dengan isterinya dan keduanya menjadi satu daging” (kej. 2:24)

4. Yesus Kristus Cinta Allah yang Menjelma Menjadi Manusia

Kasih Allah. Allah yang mengasihi, bukan dengan berkata-kata. Kasih Allah terungkap dlam bertindak. Tindakan Allah sebagai wujud kasihNya mengambil bentuk dramatis dalam hal bahwa Allah dalam Yesus Kristus sendiri mencari “domba yang hilang” umat manusia yang menderita dan hilang. Dalam wafatNya di salib terwujudlah sikap Allah terhadap diriNya sendiri- Ia menganugerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia-kasih dalam bentuk paling radikal. Itulah sebabnya Yoh. menulis “Allah adalah Kasih” ( 1Yoh. 4:8) dan dari situ kini dapat didefisnisikan, apa kasih itu. Kasih: penyerahan diri, penganugerahan diri.

Tindakan penyerahan diri ini oleh Yesus dilestarikan dengan pengadaan Ekaristi pada malam perjamuan malam terakhir. Kristus, dalam ekaristi, melalui roti dan anggur memberikan diriNya, Tubuh dan darahNya kepada manusia. Ia menjadi santapan bagi kita-sebagai kasih. Ekaristi melibatkan kita dalam tindakan penyerahan diri Yesus. kita tidak hanya secara statis menerima Logos (Kristus) yang menjelma, melainkan diikutksertakan dalam dinamika penyerahan diriNya.

Persatuan dengan Kristus sekaligus persatuan dengan semua lainnya, yang dianugerahi diriNya. Aku tidak mempunyai Kristus hanya bagi diriku, aku dapat menjadi milikNya atau mau menjadi milikNya. Komuni mencabut aku dari diriku kepadaNya dan dengan itu sekaligus persatuan dengan semua orang kristiani. Kita menjadi satu tubuh”, eksistensi yang terlebur menjadi satu.

Kasih akan Allah dan akan sesama sunguh menyatu. Allah yang menjadi, manusia menarik kita kita semua kepada dirinya dari situ menjadi jelas bahwa agape kini juga menjadi sebutan untuk Ekaristi. Di dalamnya agape Allah menjeman bagi kita untuk bekerja terus dalam dan melalui kita. Hanya dengan berpangkal pada dasar kristologis-sakramental ini orang dapat memahami dengan benar ajaran Yesus tentang kasih.

4. 1. Kasih akan Allah dan Akan Sesama

Dapatkah kita mengasihi Allah yang tidak kita lihat? Dan dapatkah kasih diperintahkan?. Tak seorangpun pernah melihat Allah-bagaimana kita dapat mengasihiNya. Kasih kepada Allah hanya dimungkinkan dengan mencintai sesama ”barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20). Di sini ditegaskan keterkaitan tak terpisahkan antara kasih akan Allah dan akan sesama. Keduanya merupakan kesatuan sedemikian rupa, sehingga mengatakan mengasihi Allah tetapi menutup mata atau dirinya kepada sesama atau bahkan membencinya menjadi dusta.

4. 2. Kasih Bukan Hanya Soal Perasaan

Perasaan datang dan pergi. Perasaan dapat menjadi pemicu yang dahsyat, tetapi bukan keseluruhan kasih. Kasih yang matang melibatkan semua kekuatan manusia, mengintegrasikan manusia dalam keseluruhannya. Kasih tak pernah selesai dan tuntas, kasih berubah melalui perjalanan hidup, menjadi matang dan justeru karena itu tetap setia pada dirinya sendiri. Kasih membuat orang semakin mirip satu sama lain, yang membawa kepada kebersamaan kehendak dan pemikiran.

Kasih yang diwartakan Kitab Suci berarti bahwa aku mengasihi juga sesamaku yang tidak kusukai atau bahkan tidak kukenal, dengan berpangkal pada Allah. Itu hanya mungkin terjadi berdasarkan pertemuan batin dengan Allah, menjadi persekutuan kehendak dan menjangkau sampai pada perasaan. Maka aku belajar melihat orang lain itu tidak lagi hanya dengan mata dan perasaanku, melainkan dari perspektif Yesus Kristus. SahabatNya adalah sahabatku.

Dengan melihat dengan Kristus, aku dapat memberi kepda orang lain itu lebih daripada hanya hal-hal yang secara lahiriah perlu: pandangan kasih yang dibutuhkannya. Bila sentuhan dengan Allah sama sekali tak ada dalam hatiku, maka dalam orang lain aku hanya dapat melihat orang lain dan tak dapat mengenal gambaran ilahi dalam dirinya. Kasih akan Allah dan akan sesama tak terpisahkan. Keduanya hanya satu perintah. Namun keduanya hidup dari kasih Allah yang menyongsong dan mendahului. maka itu bukan lagi pernitah dari luar, yang memerintahkan sesuatu yang mustahil, melainkan pengalaman kasih dari dalam yang dianugerahkan, yang menurut hakikatnya harus terus memberi. Kasih tumbuh oleh kasih. kasih itu ilahi, karena berasal dari Allah dan menyatukan kita dengan Allah, membuat kita dalam proses penyatuan ini menjadi kita, yang mengatasi perpecahan dan menyatukan kita, sehingga pada akhirnya Allah menajdi semua di dalam semua( 1Kor 15:28).

5. Gereja Sebagai Agen Cinta

Gereja yang diimaksudkan adalah umat beriman, orang-orang yang telah dibaptis dalam nama Kristus. Gereja yang dimaksudkan adalah persekutuan orang-orang-orang yang percaya kepada Kristus, terikat oleh satu iman, satu Pembaptisan. Kepada Gereja ini, diberi tugas oleh kristus untuk melakukan perintah untuk mencinta dan mengasihi. “Hendaklah kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tugas kasih Gereja ini terungkap dalam hakikat Gereja itu sendiri yakni: koinonia, diakonia, leiturgia, martiria. Kepada semua umat beriman diberi keempat tugas gereja yang mengungkapkan karya kasih Gereja. Gereja yang dimaksudkan adalah mencakup semua umat beriman, juga Orang Muda Katolik (OMK).

5. 1. Orang Muda Katolik (OMK): Agen Cinta

Kaum muda, secara khusus orang muda katolik, merupakan harapan Gereja. Masa depan Gereja berada ditangan generasi muda sekarang ini. Namun seringkali kenyataan menunjukkan bahwa kaum muda kurang menunjukkan gairah dalam hidup beriman. Hal ini bisa terjadi karena pertama dari pihak kaum muda yang kurang menyadari perannya dan panggilannya sebagai orang beriman (yakni menyangkut empat tugas Gereja di atas), Kedua, dari pihak Gereja (terutama para pemimpin) yang kurang mengakomodir kaum muda dalam kehidupan menggeraja yang mengakibatkan kaum muda merasa diabaikan, disisihkan dari keterlibatan untuk membangun kehidupan Gereja. Namun di sini kita tidak perlu mempersalahkan pihak mana yang salah dan benar. Sebab saling mempersalahkan bukan solusi. Hal yang paling penting untuk disadari bahwa kedua belah pihak perlu saling membuka diri untuk bekerja sama. Kamu muda diharapkan dengan menemukan kesadaran baru bahwa kasih atau cinta tidak hanya menyangut eros, tetapi menyangkut juga agepe yang dapat diungkapkan dalam keterlibatan dalam kehidupan Gereja, bersama orang lain, sesama, bukan individual, egoistis. Sebaiknya, Gereja perlu menyadari bahwa dalam diri kaum muda, terdapat kekuatan-kekuatan positif yang perlu dirangkul, seperti semangat, idealisme, cita-cita, harapan, untuk memperoleh ruang bagi keterlibatan dalam hidup menggereja sebagai wujud pelaksanakana perintah kasih dari Tuhan yang mengalir dari pengalaman dikasihi oleh Allah.

Gereja perlu memiliki sikap terbuka dan mendengarkan aspirasi kaum muda, tentang apa yang mereka butuhkan untuk dapat bertumbuh dalam kasih dan melibatkan diri dalam tugas-tugas gereja. Sebaliknya, dalam diri kamu muda hendaknya mempunyai keterbukaan untuk menerima (tetapi dengan sikap kritis) dorongan dari pihak Gereja entah melalui himbauan, nasehat, pewartaan untuk terlibat dalam kehidupan menggereja.
Hanya dengan demikian, kaum muda dapat bersama-sama dengan semua umat beriman lain, menjadi agen-agen kasih, penebar cinta di dunia yang semakin diwarnai oleh persaingan, iri hati, kekerasan, kebencian, kecemburuan, dan aneka bentuk kejahatan yang merendahkan martabat manusia, dan merusak tatanan ekologis.

6. Keluarga Sebagai Sekolah Cinta

Keterlibatan dalam kehidupan menggeraja merupakan wujud cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama. Keterlibatan ini merupakan suatu proses belajar untuk menyatu dengan orang lain, untuk mempunyai empati, perhatian, keprihatinan kepada sesama.
Proses belajar ini mestinya berawal dari keluarga, sebab setiap orang lahir dan dibesarkan dalam keluarga tertentu. Di dalam keluarga, seseorang belajar untuk mencintai-mengasihi. Suami mengasihi isteri dan sebaliknya, orangtua mengasihi anak-anak dan juga sebaliknya.

Keluarga merupakan tanda pertama dan paling penting bagi pertumbuhan kasih (cinta). Keluarga merupakan suatu jalan yang biasa bagi semua orang, namun merupakan suatu jalan yang khusus, unik dan tidak pernah dapat diulangi lagi. Keluarga merupakan jalan yang tak dapat ditarik kemabali oleh seorang manusia, dan dapat dikatakan bahwa kenyataan hadirnya seorang individu adalah karean keluarganya. Bila seorang manusia tidak mempunyai keluarga, maka orangterebut akan tumbuh menjadi seornag yang gelisah, sedih dan merasa kehilangan dan ini akan menjadi beban seumur hidupnya. Keluarga merupakan cakrawala keberadaan seseorang, komunitas dasar di mana seluruh jaringan hubungan sosialnya dibangun. Hubungan yang berdasarkan kasih yang tulus mendorong orang untuk bertumbuh secara sehat. Sebaliknya, hubungan yang mengedepankan kekerasan menjauhkan orang dari kasih. Hubungan antara angota keluarga perlu dibangun berdasarkan sikap saling menghormati, peduli, bertanggung jawab satu sama lain, berdialog, saling memberi dan menerima. Untuk menumbuhkan kasih itu, maka perlu mengembangkan kebiasaan untuk berkumpul bersama, berdoa bersama, makan bersama.

Keluarga sebagai persekutuan kasih. Tanpa kasih, persekutuan itu goyah, bahkan berantakkan. Kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak orang bercerai, berselingkuh, kekerasan karena di dalamnya tak ada kasih, tak ada komitmen untuk setia dalam mengasihi. tentu akhirnya diperhadapkan pada soal bagaimana penghayatan hidupnya. Bisa saja karena kesalahan dalam mengartikan dan mamaknai serta menghayati cinta dalam hidupnya. Jika kesalahan itu karena egoisme diri,itulah yang melahirkan fatalisme cinta. Cinta tak boleh dipandang sebelah mata, jika demikian halnya ia akan menjadi boomerang dan bahkan menjadi momok yang menghatui dan hidup tidak akan pernah utuh sesuai dengan sejatinya kodrat cinta itu.

6. Penutup

Cinta itu holistik. Cinta itu make a whole, namun cinta itu membutuhkan komitmen. Komitmen menuntut pengurbanan diri. Kasih ini tak lain adalah pemberian diri yang tulus. Mengasihi berarti memberikan dan menerima sesuatu yang tidak dapat dibeli maupun dijual, tetapi hanya diberikan dengan bebas dan secara timbal balik, bersifat tetap dan tak dapat ditarik kembali. Singkatnya adalah bahwa peradaban kasih hanya dapat dimulai dalam keluarga. Dari keluarga seseorang belajar menjadi agen kasih. Keluarga sekaligus pusat dan jantung dari peradaban kasih.

Congratulation!!!!!!...have a nice valentine’s day...

Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral



Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani
dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral.

Oleh: Kosmas Ambo Patan

1. Pengantar

Dalam tradisi agama semit, pembunuhan dipandang sebagai kejahatan. Kejahatan ini mendapat tekanan secara menonjol. Dalam Kej. 4:1-16, anak manusia pertama membunuh adiknya sendiri. Pembunuhan saudaranya itu adalah kejadian pertama yang diceritakan sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Alkitab, dari perspektif ini melihat realitas kejahatan memiliki keterkaitan erat antara pembunuhan dengan dosa. Bahkan, pembicaraan mengenai relalitas kejahatan semacam ini langsung bersentuhan dengan hati nurani. Lalu bagaimana dengan kasus membunuh diri sendiri?.

Dari sejarah peradaban kehidupan manusia di dunia ini baik peradaban di masa lalu maupun peradaban zaman ini pelbagai kasus bunuh diri dapat kita temui. Tindakan membunuh diri sendiri merupakan fenomena yang sulit digeneralisasikan. Manusia sulit melacak berbagi problema yang dihadapi oleh orang yang membunuh diri. Pandangan dan penilaian terhadap tindakan bunuh diri inipun bermacam-macam. Jika kasus mengkakhiri hidup dengan cara bunuh diri dipandang sebagai sesuatu yang terhormat atau demi kehormatan, maka dari perspektif moral, penilaian seperti apakah yang dapat diberikan?.

2. Kasus Bom Bunuh Diri.

Sebagai contoh, dalam tulisan ini akan digunakan kasus teroris dengan cara bom bunuh diri. Salah satu hal yang menarik dari kasus terorisme dengan menggunakan bom sebagai alat utamanya diatas adalah pemboman itu dibarengi juga dengan pelakunya yang turut meledakkan dirinya bersama-sama dengan bom yang dibawanya. Bom Bali 1, bom JW Mariott, bom Kedubes Australia, dan bom Bali 2 adalah contoh dari bom bunuh diri dimana pelakunya turut meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya (bom Bali 1 dan 2) atau dengan menggunakan mobil (bom Mariott dan Kedubes Australia). Adakah suatu motif khusus yang dialami oleh para pelaku bom bunuh diri itu sehingga nekad untuk melakukan hal tersebut?. Tentunya tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu, karena kesadaran bahwa dirinya ikut mati bersama dengan meledaknya bom tersebut pasti telah melekat di benak pelakunya.

2. 1. Bom Bunuh Diri Perspektif Filsafat Etika: Sebuah Prinsip Umum.

Terorisme bom bunuh diri yaitu kesiapan dan kesediaan untuk membunuh dan terbunuh. Dalam proses melakukan tindakan, terorisme bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan dan kejahatan sekaligus. Di Indonesia, contoh nyata dari terorisme bunuh diri adalah bom Bali 1 dan 2, bom JW Mariott, dan bom Kedubes Australia. Di luar negeri misalnya adalah tragedi Menara WTC New York, dan kasus bom London, dan maraknya bom bunuh diri di beberapa negara di Asia-timur tengah yang mengatasnamakan kelompok atau aliran tertentu. Dari contoh kasus bom bunuh diri yang telah dibeberkan tersebut di atas, dapat dilihat sebagai contoh kasus yang masuk dalam pembunuhan sebagai kejahatan terbesar.

Menyerang orang atau kelompok lain dengan cara mengorbankan diri juga di dalamnya merupakan tindakan yang langsung berseberangan dengan norma dasar terpenting dari kehidupan manusia yakni soal martabatnya. Bukan hanya itu, tetapi juga langsung bersentuhan dengan hakekat harga diri maupun nilai hidup manusia. Serangan terorisme bom bunuh diri melenyapkan martabat diri orang lain (yang diserang) dan martabanya sendiri (pelaku). Sebab manusia tak lepas dari martabatnya yakni hidupnya, karena itu mutlak dihormati. Tindakan terorisme bom bunuh diri dipandang sebagai salah satu realitas kejahatan karena melawan kodrat kehidupan manusia.

2. 2. Bom Bunuh Diri Cara Memperoleh Kehormatan?: Sebuah Prinsip Khusus.

Bunuh diri merupakan perbuatan membunuh diri sendiri dengan berdasar pada otonomitas pribadi yang bersangkutan. Ini berarti bahwa tindakan bunuh diri dilakukan oleh dan atas kehendak sendiri, yakni masuk dalam tindakan rasional pelaku (actus humanus). Inilah yang menjadi dasar tindakan kejahatan manusia yang mengikuti prinsip subjektif, yakni bahwa manusia memikirkan eksistensi mereka sendiri tanpa memikirkan eksistensi orang lain. Jika ditelisik bahwa prinsip objektif dari manusia jauh lebih penting sebab memikirkan dimensi humastis. Inilah sebuah kewajiban yakni prinsip tersebut memikirkan humanistis secara total.

Dalam kaitannya dengan soal moral, pertautan prinsip ini dengan kasus bom bunuh diri, akan muncul pertanyaan sebagaimana juga dilontarkan oleh seorang filsuf Emmanuel Kant: Apakah orang yang memikirkan bunuh diri bertanya pada diri sendiri, apakah perbuatannya bisa cocok dengan ide humanitas sebagai tujuan dalam dirinya sendiri?, agar bisa melepaskan diri dari situasi yang menjadi beban ia menghancurkan diri, ia menggunakan dirinya sebagai alat untuk mempertahankan kondisi yang dapat ditoleransi sampai ke tujuan hidupnya?.

Biasanya, dalam banyak kasus, bunuh diri sering disebabkan oleh perasaan tertekan (perspektif psikologis), menganggap diri tak berguna, putus asa. Manusia jatuh pada ketidakmampuannya mengendalikan diri, manusia terseret kepada disposisi irasional, ia tak mampu lagi berpikir secara jernih. Hal ini dikarenakan ketidaksanggupannya menghadapi realitas kehidupan. Kehidupan secara kasat mata tak lagi berharga. Hati manusia telah tumpul dan tak bisa membedah nilai yang mana yang harus diperjuangkan dan nilai mana yang harus dipertahankan.

Salah satu kesulitan dalam menerangkan terorisme bom bunuh diri adalah masalah dalam mendefinisikan tindakan bunuh diri yang mereka lakukan. Setidaknya ada tiga sumber permasalahan yaitu: pertama, masalah pembedaan antara kesiapan atau kesediaan untuk mati dan mencari kematian, kedua, kesulitan membedakan antara orang-orang yang ingin mati dan orang-orang yang kematiannya diartikan sebagai bunuh diri tetapi sebenarnya ditipu oleh orang-orang yang mengutusnya ketiga, keragaman konteks situasional yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri.

Dalam tradisi Jepang, misalnya, bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mempertahankan kehormatan. Hal ini jelas dipengaruhi oleh sistem kultur yang telah mentradisi secara turun temurun. Lain halnya dengan terorisme bom bunuh diri yang sampai sekarang masih menyimpan ambiguitas perspektif dan cara pemahaman terhadapnya. Terdapat dikotomi paradigma yang belum jelas. Apakah aksi terorisme bom bunuh diri benar dilatarbelakangi oleh otentisitas ajaran agama ataukah langkah yang salah dari penafsiran sebuah keyakinan?.

3. Analisis Moral Kasus Bom Bunuh Diri Dalam Prinsip Actus Humanus.

Keinginan atau cita-cita hidup yang dihayati atau dianut mendorong penganutnya untuk bertindak mewujudkan hal tersebut. Keinginan atau cita-cita tersebut bisa bersifat individu bisa bersifat kolektif. Keinginan itu memaksa manusia untuk bertindak demi mendapatkan sesuatu yang menurutnya bernilai sampai mengorbankan nyawa orang lain dan diri sendiri. Pilihan mendasar hidup manusia (optio fundamentalis), dalam perspektif moral kristiani jelas mengarahkan diri kepada kehendak Sang Pencipta. Allah Sang Khalik merupakan tujuan tertinggi dari tindakan manusia. Karena itu, setiap tindakan manusia merupakan pertanggungjawabannya kepada Allah.

Dalam kasus serangan terorisme bom bunuh diri ini terdapat dua nilai yang bertentangan satu sama lain. Sekaligus bertentangan dengan prinsip optio fundamentalis manusia. Nilai kehidupan yang seharusnya dijunjung tinggi bertentangan dengan nilai kehormatan yang diperjuangkan melalui tindakan bom bunuh diri. Mengapa Manusia berkewajiban memperjuangkan dan mempromosikan nilai kehidupan? Karena kehidupan seringkali diartikan sebagai anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan merupakan sebuah pemberian dan karena itu, kehidupan mengimplikasikan undangan Allah kepada manusia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahiNya. Paus Yohanens Paulus II dalam ensikliknya Evanggelium Vitae menegaskan bahwa sekalipun kehidupan di dunia ini bersifat sementara oleh karena terikat pada ruang dan waktu, kehidupan tetaplah merupakan nilai tertinggi yang dimiliki manusia semasa di dunia ini.

Pada umumnya semua agama monotheisme mengutuk dan tidak memperbolehkan tindakan bunuh diri. Yahudi, misalnya, mengutuk tindakan bunuh diri sampai tidak memperbolehkan pelaku bunuh diri dimakamkan di tempat pemakamam. Filosofi orang Yahudi menetapkan bahwa mempertahankan hidup (piku ‘akh nefesh) menyisihkan semua pertimbangan agama dan sosial dengan tiga pengecualian, yaitu bunuh diri, incest, dan menyembah tuhan palsu. Bunuh diri dilarang dan bahkan lebih baik dibunuh oleh orang lain daripada melakukan dosa itu. Pada agama Kristen, bunuh diri dianggap sebagai dosa besar, karena mendahului kehendak Tuhan atas hidup manusia. Adapun upaya mencermati tindakan bom bunuh diri ini dalam perspektif moral kristiani di bahas sebagai berikut:

3. 1. Syarat “Tahu”
3. 1. 1. Pelaksanaan Perbuatan.

Pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya. Contoh yang paling jelas adalah kasus bom Bali 1 dan 2. Atau dengan menggunakan mobil dalam kasus bom Mariott dan Kedubes Australia di Jakarta. Jadi, secara sadar bahwa si pelaku bom bunuh diri ini memikirkan semua apa akan terjadi.

3. 1. 2. Obyek Tindakan.

Si Pelaku bom bunuh diri, sadar dan tahu tindakannya akan menghilangkan nyawanya sendiri. Tujuan utama serangan bom bunuh diri jelas bukan pertama-tama bermaksud bahwa dengan cara itu ia/mereka membunuh diri, tetapi tujuan utamanya adalah menghabisi nyawa orang lain. Tindakan menghabisi nyawa orang lain memiliki konsekuensi kesadaran bahwa dirinyalah yang pertama menjadi korban dari tindakannya itu. Ketika saatnnya tepat, si pelaku dengan sadar menekan tombol aktivasi Bom. Saat melakukan tindakan menekan tombol aktivasi bom itu juga si pelaku sadar bahwa tindakan inilah yang akan menghabisi nyawanya dan nyawa orang lain yang menjadi sasaran serangannya.

3. 1. 3. Sifat Perbuatan Moral Terorisme Bom Bunuh Diri.

De fakto bahwa dari tindakan si pelaku bom bunuh diri jelas mau menghabisi sasaran. De fakto pula bahwa si pelaku dari sendirinya akan mati dengan tindakannya itu. Dari perspektif ini, si pelaku seakan tidak tahu (Ignorantia facti) kenyataan yang akan terjadi. Berkaitan dengan itu pula bahwa si pelaku seakan tidak tahu hukum (Ignorantia iurir). Bom bunuh diri pilihan tindakan si pelaku karena dari awal pelaku telah bertekad melakukannya, bukan karena ketidaktahuannya akan akibat bom bunuh diri dan norma yang melarang perbuatan itu, tetapi karena tujuan dari tindakannya harus memiliki konsekuensi demikian, demi sebuah kehormatan.

3. 2. Syarat “Mau Secara Bebas”
3. 2. 1. Voluntarium (Kehendak)

Perbuatan si pelaku sepenuhnya dikehendaki, diingini, dikuasai dan disebabkan oleh pelaku sendiri terlepas apakah si pelaku sebagai suruhan atau tidak (terpaksa). Tetapi dalam kasus bom bunuh diri yang dilakukan ini harus sepenuhnya bersumber dari kehendaknya sendiri yakni tahu akibat dan tujuan perbuatannya.

3. 2. 2. Obyek /Sasaran Tindakan
Sasaran utama pembunuhan ialah “warga asing” di Club malam Legian Bali dan warga Australia di Kedubes Australia di Jakarta. Si pelaku Bom bunuh diri bukan tujuan yang bersifat in se, tetapi akibat in se. Meskipun dengan segala kesadaran dan kemauan serta kehendak, siap melakukan tindakan bom bunuh diri dengan cara meledakkannnya di tengah kerumununan warga asing yang pada saat itu menikmati malamnya di Club malam Legian Bali.

3. 2. 3. Deskripsi Keadaan Pelaku Bom Bunuh Diri.

Pelaku bom bunuh diri (Quis) adalah teroris. Obyek (Quis) perbuatan adalah membunuh, mematikan diri sendiri dengan cara meledakkan bom yang diracik sendiri. Pelaku meledakkan bom (Ubi) dari dalam mobil. (bom Mariott dan Kedubes Australia). Pelaku bermaksud (Cur) menghancurkan sasaran dan diri sendiri dengan dengan bom racikan yang diledakkan (Quibus auxillius). Teroris bom bunuh diri ini melakukan (Quomodo) peledakan bom dengan kejam, tak berperikemanusiaan. Serangan (Quando) dilakukan tanpa terdeteksi oleh pihak keamanan, dilancarkan dengan tiba-tiba tanpa diketetahui oleh semua orang yang menjadi sasaran utama kecuali oleh komplotan terorisme dan pelaku bom bunuh diri.

3. 2. 4. Finis Operantis Pelaku Bom Bunuh Diri

Terorisme (si pelaku) bom bunuh diri mengetahui bahwa tindakannya lahir dari kehendak hati nuraninya. Finis operantis bunuh diri dari teroris adalah pembuktian pada kesetiaannya menjalankan perintah ajaran yang dianutnya. Si pelaku ingin bahwa dengan kematiannya yakin bahwa akan mendapat kehormatan , pahala, dan sebagainya. Akibanya adalah bahwa paham yang dianutnya diwujudkan dengan tindakan yang menghantar dirinya kepada kematian mengenaskan bagi sasaran terornya dan dirinya sendiri.

4. Penilaian Moral: Benar Salahnya Tindakan Bom Bunuh Diri

Pertama, Tindakan terorisme bom bunuh diri adalah bentuk perbuatan susila yang salah oleh karena dalam kehendak bebasnya si pelaku memilih melakukan perbuatan yang pada hakikatnya bertentangan dengan norma umum yang diketahui sebelum membunuh melancarkan serangan bomb bunuh diri. Kedua, Bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk yang mutlak harus dikatakan sebagai tindakan moral Voluntarium Direktum. Meskipun Finis operantis-nya baik, yakni demi sebuah nilai kehormatan, tetapi obyek tindakannya tidak bisa dibenarkan karena jelas mematikan dirinya sendiri dan memusnahkan kehidupan orang banyak.

5. Penutup

Dari kasus bom bunuh diri ini, penulis merefleksikan sebuah keprihatinan moral yang nyata dalam kehidupan dunia sekarang ini. Orang kristiani, dituntut untuk mempromosikan sebuah prinsip yang nilainya lebih agung, mulia, sesuai dengan prinsip kebenaran iman. Gereja, dalam peziarahan refleksi moralnya semakin ditantang oleh pelbagai macam tindakan yang mengarah kepada realitas kejahatan (malum), yang seringkali sulit untuk dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Namun di balik itu semua hanya satu nilai yang mesti dijunjung yakni kehidupan. Kehidupan mengandaikan kedamaian, rasa aman, dan sebuah tindakan keberimanan yang benar.


Kepustakaan

Chang, William., Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia, 2005
¬¬¬¬¬¬
________., Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003

Go, Piet., Teologi Moral Fundamental, Malang STFT, 2003

________., Moral Konkret 2; Kehormatan, Kebenaran, Kesetiaan, Malang STFT, 1980
Kant, Immanuel., Dasar-Dasar Metafisika Moral (terj),Yogyakarta: Insight Reference, 2004

Paus Yohanes Paulus II, Evanggelium Vitae, Dok Pen KWI: Jakarta, 1996

Peschke, Karl-Heinze., Etika Kristiani Jilid III; Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003