Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Kamis, 23 September 2010

Misi dan Kearifan Lokal


Misi dan Kearifan Lokal
(Oleh: Cosmas Ambo Patan)

I. Pendahuluan

Misi Gereja adalah partisipasi aktif dalam misi Allah. Misi Allah di tengah dunia menjadi nyata sebagai misi Gereja. Gereja dikatakan sebagai “misi ”, sejauh ia melaksanakan rencana keselamatan Allah dan menghantar manusia kepada Allah. Dengan demikian Gereja pada hakekatnya adalah Gereja bersifat misioner . Gereja yang misioner tidak terlaksana dalam satu atau dua dimensi kehidupan manusia, tetapi terlaksana dalam keseluruhan dimensi yang terkait dengan manusia di dunia ini. Misi perlu semangat ’kerekanan’. Misi Gereja yang demikian adalah misi yang bersifat holistik. Misi Gereja yang bersifat holistik adalah juga misi yang bersangkut paut dengan kehidupan sosial. Namun ketika berbicara soal kehidupan sosial maksudnya adalah bagaimana menghubungkan misi Gereja dengan konteks sosial budaya setempat. Gereja yang bermisi bersentuhan dengan realitas misi yang tak lain adalah misi dalam perspektif Gereja lokal . Gereja bermisi di area lokalnya dan sedapat mungkin menggunakan cara-cara lokal. Gereja yang bermisi dalam budaya setempat tidak bermaksud mengadakan serangkaian gerakan untuk menarik orang-orang dari keterasingan budayanya, tetapi menariknya untuk menyadari arti pentingnya budaya dan dari sana Gereja hadir untuk mengajak masyarakat hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil.
Karya misi Gereja bertemu dan bergaul dengan unsur-unsur yang berada di luar Gereja seperti agama-agama, kebudayaan-kebudayaan setempat, situasi sosial kemasyarakatan dan mengajak mereka itu berziarah menuju kepada Allah . Maka dalam hal ini yang mau diajak untuk berziarah bersama menuju Allah ialah masyarakat lokal sebagai umat Allah yang memiliki budayanya sendiri. Mengapa? Karena setiap masyarakat memiliki budayanya. Dan budaya itu membingkai kehidupan masyarakat yang memilikinya. Dari budaya itu sendiri lahir tata nilai, ukuran-ukuran dan kekayaan luhur hidup religius. Setiap kelompok masyarakat memiliki ide-ide kearifan lokal budayannya. Kearifan lokal biasanya lahir dari konteks budayanya, lahir dari cara pandang manusianya terhadap alam sekitar, terhadap sesama ciptaan, ataupun lahir dari ide-ide religius yang dihayati dalam hidupnya.
Kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang mau dicapai antara lain nilai luhur kehidupan. Nilai yang hendak dicapai tentu juga akhirnya bermuara pada keutuhan sebagai ciptaan. Keutuhan ciptaan itu diperjuangkan dan itu identik dengan keselamatan dalam perspektif masyarakat lokal. Ide kearifan lokal inilah yang merupakan suatu visi dan misi sekaligus yang dijalankan oleh masyarakat lokal. Lantas bagaimana korelasi ide kearifan lokal ini dengan misi keselamatan Allah dalam Gereja?. Apakah ada kemungkinan bagi Gereja bermisi dari konteks kearifan lokal masyarakat? Dan apakah kearifan lokal dapat menjadi peluang sebagai rekan Gereja dalam bermisi?. Bagaimana praktek misi berangkat dari kearifan lokal masyarakat setempat?.
Tulisan ini pertama-tama bukanlah suatu usulan tetapi suatu upaya pencarian bagaimana merancang bangun misi secara kontekstual berangkat dari upaya pencarian cara baru menggereja dan memasyarakat. Misi yang hendak dicapai ialah misi yang integral yakni terarah kepada Allah sang pencipta yang merupakan tujuan seluruh ciptaan.

II. Konsili Vatikan II dan Anjuran Misi Melalui Budaya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjumpaan antara ide kearifan lokal dengan Gereja yang bermisi, penulis akan mengulas terlebih dahulu kesadaran-kesadaran Konsili mengenai perjumpaan Injil dan kebudayaan sebagai suatu gerek misi yang diperbaharui. Kesadaran-kesadaran akan budaya bangsa-bangsa inilah yang menjadi latarbelakang kemungkinan adanya titik temu kearifan budaya sebagai arena ataupun rekan sekaligus bagi Gereja dalam melakukan karya misi yakni sesuai dengan cara-cara setempat.

2. 1. Gereja dan Pewartaannya Melihat Budaya Sebagai Medan Misi
Kesadaran mendalam Gereja mengenai pentingnya peran budaya bukan sesuatu yang sangat baru sama sekali. Gereja melihat pertama-tama bahwa Injil harus diwartakan ke seluruh bangsa kepada umat yang berkebudayaan lain . Keselamatan Allah menurut iman kristiani merupakan tugas perutusan Gereja, tujuannya ialah agar semua bangsa mengenal Yesus Kristus, Tampak bahwa misi memiliki identitas kerygmatis . Meski demikian pewartaan tidak berhenti pada bangsa-bangsa sebagai sasaran pewartaannya, tetapi perutusannya mencakup keseluruhan dimensi yang terdapat dalam bangsa-bangsa itu termasuk kebudayaannya termasuk apa yang mengalir dari budayanya itu. Dengan kata lain perutusan Gereja untuk mewartakan injil tidak mengenal batas-batas apapun dalam penyampaian keselamatannya menurut kepenuhan hidup yang dibawa oleh Kristus (RM. 31).

2. 2. Gereja Melihat Budaya Sebagai Rekan Misi
Anjuran Konsili Vatikan II yang sangat menonjol ialah bahwa Gereja mesti Menghargai, Membuka Diri, dan Bekerjasama dengan Budaya. Gereja dianjurkan untuk membuka diri terhadap budaya bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang paling menonjol ialah soal bahasa, misalnya peranan bahasa tampak dalam konteks liturgi. Demikian juga bahwa bahasa sebagai unsur budaya yang berfungsi sebagai alat komunikasi sangat penting dalam karya misi . Budaya sebagai unsur yang melahirkan sarana bermisi. Bahasa sebagai sarana komunikasi dalam evangelisasi yang di dalamnya termasuk cara pendekatan yang mengajak misionaris atau pewarta firman harus memperhatikan dan berusaha memahami kata-kata dari bermacam-macam bangsa dan kebudayaan. Tujuannya ialah agar tidak hanya belajar dari masyarakat, tetapi juga membantunya untuk mengetahui dan menerima pewartaan. Gereja mendukung masyarakat lewat budayanya mencari tujuan hidupnya, lagipula bahwa Gereja harus mewartakan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan setiap zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa dan masyarakat secara istimewa melalui cara-cara lokal .
Dalam Liturgi, bahasa menempati peran yang sangat vital, seperti SC. 37 memberi penegasan prinsip Gereja berhadapan dengan pluralitas. Dengan kata lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural dari segenap masyarakat. Maka inkulturasi menjadi suatu kata yang cukup sering didengar dalam pembahasan mengenai teologi misi tarutama, misiologi, dan studi mengenai liturgis.
Dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, kata yang sering digunakan merujuk pada inkulturasi adalah kata adaptasi. SC sendiri tidak menggunakan kata inkulturasi secara langsung. Di beberapa bagian, terdapat kata dalam bahasa Latin, adaptatio dan accomodatio, yang merujuk pada inkulturasi. Kata adaptatio sebagaimana digunakan dalam SC berarti penyesuaian. Sementara dengan kata accomodatio, ingin ditunjukkan usaha mengakomodasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Keduanya merupakan kata yang dipakai saling melengkapi sehingga tidak dimaksudkan satu sama lain saling mengeksklusifkan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kata accomodatio, diskursus inkulturasi sampai pada simpulan sifat kompromi Gereja atas unsur-unsur kultural masyarakat setempat. Jika demikian, apakah ada kemungkinan bahwa perjumpaan Gereja dengan kearifan lokal bersifat akomodatif?. Pemahaman Konsili Vatikan II dapat diterima dalam arti bahwa dalam kata accomodatio ditunjukkan dinamika interaksi kultural yang lebih bersifat ’dibawa serta’, artinya perjumpaan unsur-unsur kebudayaan masyarakat seperti ide kearifan lokal dapat saja terjadi dengan misi Gereja dan saling membawa serta.

III. Konteks Misi Gereja Asia
Asia merupakan benua yang memiliki aneka suku bangsa dan budaya. Melalui budaya setiap gerakan kehidupan dan bagi permasalahan sosial terus diupayakan . Keputusan sidang FABC sebagai magisterium lokal di Asia mencapai kesepakatan bahwa misi di Asia menawarkan suatu cara bermisi khas Asia dalam mewartakan Injil. Cara itu berlangsung dalam dialog terus menerus, rendah hati, dan mencintai dengan masyarakat miskin di Asia, dengan kebudayaan setempat, dengan tradisi agama lain, mengakui keseimbangan yang saling melengkapi, yang terjadi di dalam masyarakat, kebudayaan, tradisi agama dan pandangan dunia . Lebih kompleks lagi potret misi dalam konteks situasi hidup masyarakat Asia merefleksikan ketertindasan ciptaan baik manusia maupun alam dan lingkungan hidup.
Misi merupakan kesaksian Gereja dalam konteks lokal. Setiap anggota Gereja melalui caranya menghayati iman Kristiani harus menjadi saksi bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Georg Kirchberger bahwa Gereja Asia harus menjadi bagian dan kenyataan aktual konkret bagi masyarakat . Begitu juga Gereja mesti masuk ke dalam inti sari atau jantung kehidupan sosial kemasyarakatan suatu umat yang dilayani.

3. 1. Misi Gereja Melalui Budaya Setempat
Masyarakat yang beragam di Asia masing-masing memiliki tradisi atau budaya harmoni sesuai dengan nilai luhur budaya yang dijunjung tinggi yang sebetulnya dapat disebut sebagai kearifan lokal. Setiap budaya memiliki nilai luhur yang dapat membantu umat yang dilayani sadar akan arti pentingnya nilai kehidupan itu. Tugas perutusan Gereja di sini adalah bagaimana melayani Allah melalui nilai luhur budaya setempat. Allah mesti dikenal melalui kebijakan lokal dan kejeniusan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat itu. Gereja menggunakan apa yang telah terkandung dalam budaya tertentu, yang dapat membantu manusia hidup lebih manusiawi sesuai dengan nilai luhur budayanya. Itulah tugas perutusan Gereja dalam budaya setempat.

3. 2. Misi yang dibangun atas Ide Kearifan Lokal
Masyarakat memiliki berjuta nilai luhur budaya berupa kearifan lokal yang daripadanya kehidupan dapat dihayati . Masyarakat Asia memiliki ciri khas hidup yang dibangun dari kearifan lokal. Dalam pelbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, ciri-ciri itu tampak misalnya berupa ungkapan-ungkapan kearifan lokal sesuai dengan dimensi hidup yang ingin dihayati. Misi yang kontekstual adalah juga suatu model menggereja yang dibangun dari ide kearifan lokal masyarakat yang cinta akan budayanya. Melalui upaya membangun iman, Gereja harus hormat terhadap kearifan lokal budaya setempat. Zaman sekarang adalah zaman setiap gerakan untuk kembali menelusuri jejak-jejak kesuksesan masa lalu nenek moyang bangsa dalam menata peradaban hidupnya.
Para misionaris berpikir bahwa model misi yang dibangun dari kearifan lokal, akan membantu cara berteologi dan berpastoral yang dapat memberi isi dan kekayaan iman yang diwartakan. Karena kearifan lokal itu mengandung rasa percaya awal umat yang hidup dari budaya itu. Kearifan lokal menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya iman yang diwartakan.

IV. Masyarakat dan Kearifan Lokal Budaya di Indonesia
Masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di Indonesia, kearifan lokal dikenal sangat beragam sesuai dengan keragaman suku-suku, adat dan kebudayaan serta religiusitasnya. Demikian juga terdapat aneka gerakan berdasarkan kearifan lokal tersebut sesuai dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Misalnya perjuangan suatu organisasi seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat. Kearifan lokal yang pro terhadap budaya atau adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan hidup masyarakat yang lebih baik .
Terdapat slogan kearifan lokal sebagai gambaran eksistensi hidup masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya ditampilkan dengan ungkapan-ungkapan, slogan-slogan dan lebih banyak digunakan sebagai visi-misi suatu dari masyarakat dalam memperjuangkan pelbagai dimensi hidupnya Misalnya ungkapan masyarakat adat Dayak: ‘Adil Ka Talino, Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka Jubata’, mengandung nilai-nilai budaya leluhur. Jika diuraikan, kalimat ‘Adil Ka Talino’ mengandung makna terwujudlah keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan kalimat ‘Bacuramin Ka saruga’ mengandung makna semoga kiranya apa yang terjadi di Surga demikianlah juga di bumi, dimana tidak ada lagi orang yang bodoh dan dibodohkan, tidak ada lagi orang miskin dan dimiskinkan, tidak ada lagi orang sakit dan disakitkan, tidak ada segala kekurangan karena tolok ukur adalah kehidupan di surga. Kemudian kalimat ‘Basengat Ka Jubata’ mengandung makna sesungguhnya manusia hanya bergantung kepada Jubata atau Allah Yang Maha Esa.
Ada rupa-rupa ide kearifan lokal yang melahirkan suatu gerakan masyarakat di bidang pemberdayaan masyarakatnya seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat. Gerakan ekonomi rakyat juga mengalir ide kearifan budaya sesuai dengan konteks situasi sosial ekonomi masyarakat lokal. Gerakan ini harus dipahami sebagai suatu proses misi di mana lembaga masyarakat adat dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya dan membentuk suatu pola kemitraan. Kebijakan Masyarakatdi bidang ekonomi seperti ini bercita-cita mewujudkan suatu kesejahteraan, jaminan sosial, dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Contoh yang sangat aktual ialah seperti gerakan Credit Union (CU), CU membantu masyarakat untuk maju dalam tiga hal yakni Pendidikan, swadaya, dan solidaritas .

4. 1. Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang Bagi Misi
Pembicaraan mengenai konteks masyarakat dan budaya di sini bukan terarah pada suatu penelusuran sejarah. Namun terarah pada potret keprihatinan yang belum diraba oleh Gereja yang missioner itu secara serius. Problem keprihatinan itu diangkat dalam pembahasan karena dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang untuk menjalankan sebuah misi. Indonesia adalah bangsa yang kaya budaya masyarakatnya. Dari kekayaan budaya itu lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup. Demikian juga Gereja di Indonesia bersentuhan dengan kekayaan budaya masyarakat di wilayah misi. Aneka peristiwa sosial budaya merebak di Indonesia melatarbelakangi pemikiran cara baru menggereja sesuai dengan konteks kesepakatan lokal. Maka Gereja di Indonesia sepakat menbangun suatu Habitus Baru. Habitus Baru bertujuan mewujudkan cara-cara yang khas Indonesia, tentu semangat baru yang sesuai dengan nilai-nilai Injil dengan membentuk cara merasa, cara berpikir, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi.

4. 1. 1. Tantangan
Masyarakat Indonesia zaman sekarang ini sulit melestarikan budayanya. Suatu budaya kerap dilihat sebagai satu dari sekian banyak nilai-nilai. Generasi muda tidak lagi cinta terhadap budayanya sendiri. Kebudayaan massa lebih menarik dan akibatnya ia tidak memiliki identitas budayanya lagi. Karakter hidupnya sebagai manusia yang berbudaya menjadi lenyap, dengan demikian karakter hidupnya pun hilang. Karena tidak adanya perhatian yang mendalam terhadap keunikan yang lahir dari budayanya sendiri. Semangat kagum terhadap kekayaan budaya lokal menjadi tiada. Inilah problem tenggelamnya identitas yang mau ditonjolkan sebagai manusia yang memiliki identitas budaya . Situasi hilangnya minat dan kecintaan manusia dam masyarakat dengan semakin tenggelamnya karakter unsur budaya dan minat terhadap keunikan unsur budaya menjadi tantangan misi yang hendak dijalankan.

4. 1. 2. Peluang
Akan tetapi kalau diperhatikan dan disadari sungguh-sungguh, masyarakat atau dunia sekarang sedang berupaya untuk kembali berpegang pada kearifan lokal termasuk untuk mengatasi situasi yang dilihat sebagai tantangan. Banyak problem di dunia saat ini yang melatarbelakangi gerakan bangsa-bangsa kembali kepada kearifan lokal. Misalnya misi peyelamatan bumi dari efek pemanasan global, melihat kerusakan alam dan lingkungan setiap kelompok masyarakat kembali menghidupkan semangat harmoni dengan alam dan lingkungan, dan lain-lain. Dengan fenomena demikian, Gereja mesti memanfaatkan peluang ini. Gereja sebagai perwujudan misi Allah pertama-tama membawa kembali umat kepada kesadaran merangkul nilai budaya itu dan mengembangkannya sebagai identitas. Gereja tidak bisa menutup mata dengan nilai-nilai positif budaya seperti kearifan lokal yang dapat menjadi patnernya mewujudkan karya keselamatan Allah di dunia ini. Maka Gereja harus merangkul nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap kerarifan lokal masyarakat itu. Setiap budaya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat memiliki nilai luhur untuk membawa hidup masyarakatnya ke arah yang lebih baik pula.

4. 2. Kearifan Lokal Budaya Masyarakat Sebagai Rekan Misi
Setiap manusia dan budayanya itu memiliki kebijakan-kebijakan atau kejeniusannya (local wisdom atau local genius). Dari kebijakan lokal atau kearifan lokal lahir suatu kekuatan, suatu identitas, suatu cara untuk menghayati hidup. Sudah banyak para misionaris yang melakukan misi atas dasar kerjasama dengan masyarakat setempat yakni dengan kearifan-kearifan budaya lokal. Perlu disadari bahwa Injil dan pemginjilan tidak sama dengan kebudayaan dan bersifat independen terhadap demua kebudayaan, meskipun begitu kerajaan Allah yang diwartakan lewat penginjilan dihayati oleh manusia yang secara sangat mendalam terikat pada suatu kebudayaan. Maka perwujudan Kerajaan Allah tak dapat tidak, harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan masyarakat (bdk. EN. 20). Dengan demikian boleh dikatakan bahwa kearifan lokal sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam kebudayaan itu.
Praktis misi yang berkolaborasi dengan kearifan lokal dapat berupa kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup. Dari sana tercermin pembangunan bagi mental kemanusiaan yang diharapkan bermuara pada semangat yang sesuai dengan Injil. Dalam hal ini ditampilkan sorang misionaris lokal yang peduli terhadap nilai-nilai kearifan budaya dan mempraktekkannya dalam pelayanan. Seorang tokoh yang menjadikan kearifan lokal sebagai arena misinya adalah Romo Vincentius Kirdjito. Sejak 2004, ia merintis program live in “Edukasi Berbasis Alam dan Budaya Merapi” . Berkat usahanya yang dibangun di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang sudah 7000 orang yang datang belajar menghargai alam. Romo Vincentius Kirjito, PR berangkat dari ide mengenai kearifan lokal. Muatan kearifan itu bicara soal air, seni, dan budaya tani masyarakat lereng Merapi. Bersama masyarakat setempat, Romo Kirdjito membentuk Gerakan Masyarakat Cinta Air. Gerakan ini timbul dari kesadaran masyarakat sekitar Merapi akan pentingnya air sebagai sumber penghidupan . Rm Kirdjito berpendapat bahwa Sumber Air di pegunungan tidak boleh dieksploitasi. Dengan melestarikan kawasan sumber air dan sekitarnya, kita dapat menghirup udara bersih, tanah subur, dan lahan pertanian gembur. Keselarasan dengan alam itu perlu dibagikan seluas-luasnya pada masyarakat supaya kearifan lokal yang sudah ada seyogyanya dihidupi dan dihayati sebagai iman yang direfleksikan dalam budaya yaitu budaya seni, tani, dan religiusitas.
Misi juga mengalir dari budaya setempat yakni inkulturasi yang menyapa umat dengan kekayaan khasanah Jawa. Romo Kirdjito tidak hanya berhenti dengan memakai pakaian adat setempat, pun pula sarana prasarana lain; gamelan, wayang orang. Ia justru beranjak dari kekayaan khasanah Jawa tersebut untuk membantu umat menyadari bahwa kekayaan khasanah Jawa tersebut seharusnya mendorong umat untuk makin mencintai lingkungan, tempat mereka tinggal. Dengan demikian, liturgi yang dirayakan menyapa umat setempat dan mendorong perwujudan iman. Misi berkaitan dengan kontekstualisasi. Bahwa teologi lahir sebagai refleksi iman dari dinamika kehidupan. Dimensi pertama ialah adanya korelasi khasanah budaya Jawa, kearifan lokal, dan iman Katolik, yakni mengangkat pengalaman hidup masyarakat sehari-hari dalam terang Injil.
Melalui ide kearifan lokal yang sejalan dengan iman kristiani, umat diajak untuk memerangi fenomena penindasan yang dilakukan manusia terhadap alam yang merusak lingkungan hidup sekitar. Misi dilihat sebagai arena promosi keadilan lewat perayaan kehidupan menurut cara dan kolaborasi dengan ide kearifan lokal. Dalam cara ini masyarakat dimotivasi untuk mengenali nilai kehidupan yang lebih tinggi dari perjuangan melalui kearifan lokal, agar kehidupan yang diperjuangkan itu diresapi Injil dan Injil sendiri semakin subur dalam kehidupan umat. Kearifan lokal tidak hanya sebagai arena misi tetapi juga akhirnya sebagai ‘sahabat’ misi, karena di sini nilai-nilai hidup itu diperjuangkan dan iman diwartakan, dihayati, dan dihidupi.

V. Penutup
Gereja harus terus menerus melaksanakan perutusannya dengan semangat baru yang dituntun oleh Roh Kudus. Perjumpaan misi dan kearifan lokal sebagai suatu unsur budaya bukan tidak mungkin sebagai suatu ‘rekan seperjalanan’ dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Tetapi soalnya adalah kesadaran bermisi bagi Gereja bersama dengan kearifan lokal belumlah mencapai kesempurnaannya. Tidak dapat dihindari bahwa nilai-nilai budaya yang hendak diwujudkan melaui kearifan lokal itu masyarakat itu kaya akan spiritualitas yang sejalan dengan Injil.
Pertautan misi dengan kearifan lokal budaya masyarakat ini dalam misi itu sendiri dapat diartikan sebagai; Pertama, Gereja bertugas merangkul nilai dari suatu unsure budaya dalam rangka misi itu. Gereja menjadi aktor yang melakonkan suatu gerakan yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan jati diri kebudayaan. Kedua, Gereja menjadi pengejahwantahan berbagai wawasan dan nilai kehidupan yang diperjuangkan masyarakat melalui kearifan lokalnya. Ketiga, Gereja harus menjadi agen perubahan bagi kehidupan masyarakat bersama masyarakat untuk masyarakat sesuai dengan Injil mengarahkan hidup kepada keselamatan Allah.
Dari pihak masyarakat dituntut adanya keterbukaan akan nilai Injil yang membawa terang bagi kearifan budaya lokalnya terutama dalam memperjuangkan hidupnya. Dengan hanya demikianlah misi dapat menemukan rekan seperjalanan, sebaliknya kearifan lokal masyarakat diresapi oleh semangat Injil. Jika hal itu diperhatikan, jelas bahwa misi Gereja dan kearifan lokal itu dapat saling ‘membawa serta’, dengan demikian dapat menjadi rekan satu sama lain.


KEPUSTAKAAN
Dokumen:

Ad Gentes (AG), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Kegiatan Misioner Gereja

Evangelii Nuntiandi (EN), Imbauan Apostolik Paus Paulus VI Tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern

Sacrosanctum Concilium (SC), Konstitusi Kosili Vatikan II Tentang Liturgi Suci

Inter Mirifica (IM), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial

Redemptoris Missio (RM), Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja

Eclessiae in Asia (EA), Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pasca Sinodal

Buku:
Campbell, E. Robert, The Church in Mission, New York: Orbis Books, 1965.

Eilers, Franz Josef, Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Hardawiryana, R, dan Siswoyo, Sumartara, (Ed), Dokumen Sidang FABC 1995-1998, Jakarta: DokPen KWI-Obor, 1998

Isharianto, Rafael CM (Ed), Pergumulan Iman Kristiani di Tengah Pasar Budaya, Malang: Widya Sasana Publication, 2010

Kirchberger, Georg, Gereja Berwajah Asia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1995

Kroeger, James H, Living Mission; Challenges in Evangelization Today, New York: Orbis Books (Publications by Claretian Publications Quezon City Philippines), 1994

Sa’u, Andreas Tefa, Etnologi dan Tugas Perutusan, Ende Flores: Nusa Indah, 2006.

Prior, John M, dan Pa, Patris, (Ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI, 2007

Woga, Edmund, Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Rabu, 08 September 2010

Spiritualitas Harmoni Asia ( Allah Yang Berbelarasa )

Oleh: Cosmas Ambo Patan

1. Pengantar

Benua Asia merupakan benua yang melahirkan tiga agama besar di dunia. Selain tiga agama semit itu, ada banyak agama atau aliran kepercayaan yang lahir di benua Asia. Peradaban-peradaban spritualitas, religiusitas menjadi khasanah kekayaan dan keanekaragaman suku, bahasa, adat sitiadat dan. Orang-orang Asia memiliki sejarah peradaban yang unik di dunia ini. Melalui keanekaragaman, setiap agama maupun suku bangsa dapat hidup selaras, namun melalui keanekaragaman itu pula setiap agama, maupun suku bangsa di Asia menjadi terpecah dan saling mempertajam perbedaan, bahkan harus konflik dan perang. Inilah realitas Agama, dan bangsa di Asia hingga kini. Perang melanda negara-negara Israel-Palestina, perang India-Pakistan, Konflik politik di Myanmar, Perang suku di Indonesia, dan di negara-negara lain di Asia. Negara-negara di Asia sadar akan hal ini. Konflik dan perang suatu hal yang merugikan kehidupan. Asia merupakan benua yang memiliki aneka suku bangsa dan budaya. Melalui aneka produk budaya suku bangsa juga setiap gerakan kehidupan dan permasalahan sosial terus diupayakan .
Telah banyak upaya kerja sama antar negara di Asia untuk mewujudkan perdamaian bahkan dilakukan oleh komunitas-komunitas pencinta damai. Banyak cara yang dilakukan untuk meyerukan suatu perdamaian. Bangsa Asia adalah bagsa yang haromonis, tetapi tercabik-cabik oleh perang dan kebencian satu sama lain. Paling menggetirkan lagi ketika bangsa Asia ini menjadi tempat lahirnya Terorisme di dunia. Sungguh suatu hal yang ironis, namun itu nyata. Inilah persoalan konflik, perang, ketidakharmonisan masyarakat di Asia juga menjadi keprihatinan masyarakat dunia pada umumnya. Seiring dengan terjadinya problem yang menimpa masyarakat Asia setiap perkumpulan baik bersifat regional maupun bilateral mengupayakan suatu cara. Berdialog terus menerus, rendah hati, saling mencintai dan mengupayakan toleransi mengakui keseimbangan untuk saling melengkapi. Dan menghormati masing-masing kebudayaan suku bangsa serta tradisi agamanya.

Dalam tulisan ini, kami mengedepankan bagaimana manusia dirangsang untuk membangun dan menghidupkan semangat persekutuan yang berbelarasa (Communion of Compassion) , agar terwujud suatu kehidupan yang harmonis. Maka berturut-turut dalam tulisan ini, pertama kami mau menampilkan potret Asia yang tercabik-cabik yang menuntut suatu cara memupuk semangat belarasa. Selanjutnya akan ditampilkan cara-cara menurut refleksi para seniman lewat puisi mengingatkan akan spiritualitas harmoni kehidupan yang tak boleh diabaikan dan yang terus dipupuk dalam situasi apapun. Setelah itu kami mencoba menampilkan refleksi teologis atas kehidupan masyarakat Asia yang mendambakan keharmonisan.

2. Persoalan Masyarakat Asia; Terorisme dan Arus Globalisasi
Setiap negara dan masyarakat yang berdiam di dalamnya, selalu berusaha untuk hidup dalam kemerdekaan, kebebasan, dan kedamaian hidup. Banyak pemimpin negara berbagi pelbagai persoalan sosial dan kultural negaranya. Pemimpin negara yang sedang mengalami krisis kemanusiaan, membagikannya kepada negara yang lebih kuat untuk minta dukungan dan sokongan moril-spirituil terutama terutama bagi kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan, merasakan ketegangan hidup, rasa getir dalam situasi konflik. Dari upaya itu terbangun kehidupan bersama masyarakat dan negara lain. Upaya agama pun dilakukan untuk berdialog dengan keadaan yang melanda masyarakat seperti dialog kehidupan, dialog karya, dan dialog iman. Dialog karya misalnya tampak dalam perhatian kepada para pengungsi akibat perang dan konflik. Dari pengalaman penderitaan, kemiskinan, jeritan, penindasan terhadap kaum lemah serta tangisan manusia yang terinjak akibat perang dan konflik dapat menjadi perekat dan indikasi membangun komunitas bersama melalui pendekatan kemanusiaan.
2. 1. Tantangan Hidup Harmonis di Asia
Persoalannya bahwa dunia dewasa ini seakan tanpa batas karena manusia dan barang dapat bergerak dengan mudahnya dari negara yang satu ke negara yang lain. Informasi maupun keadaan yang tengah terjadi di suatu negara pun dapat diakses dengan gampang oleh masyarakat yang hidup di negara yang berbeda. Masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari komunitas suatu negara melainkan juga telah menjadi warga negara internasional yang hidup di perkampungan global. Kondisi inilah yang kemudian dikenal sebagai globalisasi.

Globalisasi menjadi tantangan kehidupan bagi masyarakat dan bangsa-bangsa di Asia. Seiring berkembang pesatnya teknologi informasi, globalisasi menyediakan berbagai kemudahan bagi manusia. Misalnya saja, manusia tidak perlu menyeberangi lautan untuk bertemu dan berbicara dengan seseorang. Orang- orang di Indonesia, contohnya, dapat mengakses informasi tentang perang di Afganistan maupun di Iraq kapan saja. Seseorang di Afghanistan dapat mentransfer sejumlah uang kepada orang di Malaysia dengan gampang, aman dan dalam waktu singkat. Globalisasi juga menawarkan peluang baru untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan demokrasi bagi bangsa-bangsa. Namun seperti sebuah koin, globalisasi tidak hanya memiliki wajah menawan tetapi juga sekaligus mempunyai wajah mengerikan. Sebab kemudahan yang ditawarkan globalisasi justru semakin memfasilitasi kegiatan ilegal yang terjadi dengan melintasi batas-batas yuridiksi negara. Fakta bahwa globalisasi mengaburkan tujuan hidup yang sejati. Manusia globalisasi menemukan kebahagiaannya pada kekuasaan dan penaklukkan . Akibatnya kegiatan apapun selalu disinyalir sebagai kegiatan yang mengancam keamanan suatu negara. Manusia hidup dalam kekuatiran dan ketidaktenangan hari-demi hari.
Ancaman transnasional yang dialami masyarakat di Asia akibat globalisasi antara lain proliferasi persenjataan, kekerasan etnis, pencucian uang, perdagangan dan penyelundupan obat terlarang, degradasi lingkungan dan penyebaran infeksi penyakit. Globalisasi telah melahirkan banyak hal, dan secara langsung atau tidak globalisasi turut membidani lahirnya terorisme. Karena terorisme merupakan produk dari marjinalisasi dan kemiskinan, sedangkan marjinalisasi dan kemiskinan adalah produk dari globalisasi.

Disadari atau tidak globalisasi telah memunculkan persaingan global di berbagai bidang. Pihak yang menang persaingan tentu akan menikmati keuntungan. Negara maju yang memiliki teknologi tinggi berada dalam kelompok penikmat keuntungan globalisasi. Namun negara-negara miskin dengan segala keterbatasannya akan semakin jauh tertinggal sehingga kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Kemiskinan dan ketidakadilan akan terus menjadi lingkaran setan yang tak pernah putus. Karena itulah muncul perlawanan dari kelompok-kelompok tertindas baik dalam negara maupun antar negara yang tentunya mengancam stabilitas keamanan kawasan regional dan bahkan internasional. Demikian pula kejahatan yang mengancam dan bahkan terjadi di suatu negara sangat mungkin menjadi ancaman negara lainnya.
Mengglobalnya tatanan dunia diikuti mengglobalnya ancaman keamanan. Isu keamanan yang belakangan ini paling banyak menyita perhatian publik adalah terorisme. Peristiwa-peristiwa serangan teroris dan ancaman-ancaman bom di sejumlah negara di Asia membuktikan bahwa terorisme itu bersarang di Asia. Asia dicap sebagai benua yang tidak harmonis, tidak lagi sesuai dengan fakta dan falsafah hidup serta spiritualitas-tradisi harmonis yang telah lahir di benua Asia. Berimbas pada kebijaksanaan yang mengalir dari agama, seakan agama terasa menghakimi dan menjadi dasar perbedaan yang sangat kuat daripada upaya saling mengerti satu sama lain .
2. 2. Terorisme di Asia
Tragedi serangan terosrisme 9/11 pada 2001 lalu di AS, menjadi agenda utama dalam sejumlah pertemuan organisasi kawasan maupun organisasi berskala internasional. AS menjadi target serangan lantaran dinilai sebagai negara yang aktivitasnya mengkerdilkan sekelompok orang tertentu. Namun tidak disangka teroris melancarkan aksi jauh di luar AS, meskipun targetnya adalah simbol-simbol eksistensi AS beserta negara-negara sahabatnya. Bom Bali 2002 lalu membuka mata masyarakat internasional, bahwa kegiatan terorisme bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Tanpa terkecuali Asia tenggara.
Terorisme di Asia Tenggara semakin mendapat sorotan dunia internasional lantaran sejumlah peristiwa teror yang terjadi secara bertubi-tubi. Korban dalam jumlah besar dan target serangan yang merupakan simbol-simbol Barat merupakan persamaan dari serentetan teror yang terjadi misalnya saja di Indonesia, negara yang terletak di kawasan Asia Tenggara. Pelaku teror ditengarai suatu kelompok yang memiliki hubungan dengan Al Qaeda (AQ) di Afghanistan, bernama Jemaah Islamiyah.

2. 3. Tercabiknya “Harmoni”
Bangsa Asia yang terkenal dengan spirituallitas harmoni telah tertimbun oleh pelbagai peristiwa perang, konflik, terorisme, dan ancaman kemanusiaan lain. Akibatnya menjadi bangsa yang intoleran. Asia duhuni oleh bangsa yang terkesan ‘munafik’ di mata internasional. Karena banyak lahir agama dan spiritualitas kehidupan, namun lahir pula kekerasan berkedok agama atau spiritualitas suatu aliran tertentu. Ada banyak faktor menyergapnya kekerasan seperti telah diuraikan. Ada kekerasan karena persaingan, ambisi, dan reaksi terhadap penjajahan global dan lain sebagainya. Kodrat kelunakan manusia diganti dengan kekerasan . Situasi demi situasi terjadi menjadikan semangat untuk hidup selaras itu raib.
Harmoni kehidupan tidak lagi berkumandang seperti sediakala sejak dipelukan bumi Asia. Bangsa yang dulunya merasa bahwa dalam ajaran agama, harmoni itu suatu kehadiran Allah, kini sirna. Tampak bahwa kehidupan yang dahulu harmoni diyakini sebagai representase kehidupan yang ilahi. Bahkan muncul suatu kebijaksanaan hidup harmoni dengan ungkapan-ungkapan yang selalu dipegang turun temurun seperti misalnya; mencintai alam dan peduli terhadap makhluk-nya, menjadikan manusia dapat mengenal pencipta. Dengan adanya fakta kekerasan dan penderitaan yang disebabkannya, dunia Asia tampak tak seirama, tak seindah harmoni Asia sesungguhnya.

3. Seruan Harmoni
Dalam situasi kacau, derita, dan jeritan manusia, suara kemanusiaan, sesuai dengan namanya, merupakan media untuk menyuarakan pesan-pesan keselamatan, perdamaian dan pembangunan peradaban manusia yang merata dan sejajar bagi semua bangsa di dunia ini. Oleh karena namanya "suara", maka yang ada adalah kegiatan "bersuara", tidak melakukan kegiatan fisik (sikap frontal), kecuali ada permohonan menurut persetujuan dan kesepakatan bersama. Suara dalam konteks ini adalah seruan tentang suatu visi kehidupan yang selaras, tanpa kekacauan; suatu visi dunia yang damai penuh keselamatan dan menyenangkan bagi semua umat manusia, tanpa membedakan ras, suku, bangsa, negara dan agama.

Seruan untuk hidup secara harmonis dengan cara-cara harmonis merupakan ciri khas Asia melalui kebudayaan: seni sastra. Cara itu sebenarnya tidak perlu dilakukan di jalan-jalan sebagaimana selama nini dilakukan yakni aksi protes dan demonstrasi sampai mengakibatkan kerusuhan. Namun seni seruan harmoni lewat tradisi seni sastra puisi memberi pernyataan menentang semua tindakan penistaan, penghinaan dan pemusnahan satu atau sebagian dari umat manusia di dunia internasional. Memberi dukungan penuh bagi terwujudnya keselamatan dan perdamaian di seluruh penjuru dunia. Ikut berperan aktif menyuarakan upaya-upaya menghentikan kelompok atau negara yang mendukung pendudukan dan penjajahan terhadap negara lain, oleh sebuah negara atau kelompok tertentu.

Isu kepeduliaan terhadap kemanusiaan melalui karya-karya seni sastra ikut menciptakan keselamatan dunia tanpa menggunakan kekuatan militer. Banyak para seniman berkolaborasi peduli terhadap situasi yang terjadi, menanggapi pelbagai peristiwa lewat refleksi dan permenungan untuk mengantar hati manusia melihat ke dalam, arti dan makna kehidupan bersama. Seperti dalam puisi “Negeriku” (sebuah satir dan harapan untuk masa depan) :
Kasihku, aku masih di sini, di negeri berjuta impian, negeri selembut awan,
Negeri yang manis, luhur, tulus dan penuh suka cita.
Negeri dimana aku leluasa merindukanmu,
di setiap nafas, setiap detik, setiap waktu.
Kasihku, negeri ini begitu indah, makmur dan subur seperti lading permata,
Penduduknya ramah…sopan dan suka tolong menolong
Mereka begitu terbuka, semua membuatku senang dan bahagia.
Kasihku, negeri ini aman sentosa, siapapun pasti akan merasa nyaman di sini,
Seperti duduk di sofa.
Kasihku..di negeriku.. Rumah-rumahnya rapi tersusun,
Anak-anak berangkat ke sekolah,
Orangtua pergi bekerja mencari nafkah yang halal,
Semua hidup sehat..
semua hidup rukun dan harmonis.
Kasihku..aku baru saja terbangun, Rupanya aku bermimpi…
Aku takut, ternyata di sini masih gelap…
Kasihku.., mungkin selama ini aku masih terlalu jauh darimu.
Melupakan pesa-pesan dalam suratmu terdahulu.
Kasihku, aku tahu jalan ini panjang dan melelahkan, Tapi, pasti ini jalan kemenangan,
Di ujung jalan ini, kuyakin pasti ada cahaya yang terang benderang.

Puisi tentang harapan harmoni kehidupan begitu indah. Harmoni kehidupan selalu kita tawarkan, namun dalam praktik kehidupan, hal itu tidaklah seindah teori, karena semua yang kita sampaikan kadang hanyalah sebuah harmoni kaku. Manusia yang satu menggurui manusia yang lain untuk menjadi pemenang dengan kekuatan. Manusia yang lain menjadi lemah (Powerless). Puisi ini adalah suatu mimpi. Mimpi tentang semangat menghargai perdamaian karena panggilan kita untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian lemah. Alhasil harmoni adalah disharmoni, drama hidup bersama menjelma menjadi sebuah lakon yang keras dan kejam .
Kebersamaan hidup hendaknya dilalui dengan tidak menginjak hak sesama, menghapus ketidakadilan yang merajalela. Kelembutan karakter hidup selalu didamba, semua hanya ingin agar hidupnya selalu dalam kertas empati, bukan sekedar meneriakkan kata simpati. Agar terwujud suatu harmoni kehidupan. Jalan yang dilalui merupakan situasi yang mungkin tak pernah ditemukan kecuali orang yang tulus menyayangi dan mencintai sesamanya.

Kupasan puisi tersebut terutama berkaitan dengan kerinduan batin manusia. Tentu saja kupasan itu bukan seperti bayangan atau cita-cita belaka, tetapi sebuah semangat. Penuturan kerinduan dan semangat untuk kembali kepada rahim harmonis kehidupan salah satunya adalah puisi. Berkaitan dengan kerinduan batin manusia dalam puisi ini, ada beberapa di antaranya yang berkaitan dengan optimisme menatap masa depan. Sebuah sikap berempati terhadap permasalahan-permasalahan bangsa-bangsa secara umum atau permasalahan manusia dalam lingkup yang lebih kecil lagi. Seni pengungkapkan seruan damai atau spiritualitas harmonis lewat puisi ini, diharapkan dapat dijadikan sarana bagi masyarakat Asia sebagai tempat bercermin dan untuk lebih mengenal kearifan hidupnya sendiri.

Puisi tentang harapan harmoni ini ini bukan dimaksudkan sebagai hiburan belaka, tetapi juga diharapkan dapat menjadi sarana untuk mendekatkan kembali masyarakat Asia pada akar kebudayaan tradisi harmoni bangsa-bangsa. Lewat puisi “Negeriku” kita diingatkan bahwa kehidupan sehari-hari kita terkadang diisi dengan rutinitas yang sangat sederhana dan sempit. Kita sibuk dengan ‘kegaduhan’, kita bagai terseret secara perlahan ke dalam malapetaka dan akhirnya jatuh binasa.
Kehidupan untuk saling memiliki rasa hormat (sense of respect) kapan dan di manapun selalu diupayakan. Sangat indah seperti juga dicita-citakan oleh seorang pemimpin negara Dr. APJ. Abdul Kalam (Presiden India), ia bercita-cita agar negaranya hidup harmonis, berdampingan satu sama lain dan memupuk sikap toleransi dan menghargai satu sama lain, dengan puisi harmoninya:
Crane dan camar yang mengembara langit,
Gelombang laut tertawa dan menggoda pantai.
Renungan sekolah saya hari pikiran saya melompat lima dekade,
Sebuah sekolah kecil di kota Rameshwaram ...
Hindu atau Muslim, masjid atau candi,
Tak satu pun memikirkan divisi omelan;
Ramanathan dan aku, tenun kata-kata bersama-sama,
Harmonis menyenangkan anak-anak Pencipta.
Tiba-tiba badai tiba tanpa pemberitahuan.
Berserban dan Tweedy, yang dikenal sebagai guru baru,
Meminta kami untuk duduk menjauh canggung satu sama lain,
Air mataku menetes; Ramanathan menangis,
Kami juga tidak mengerti artinya pemisahan itu.
Sunbeams melihat melalui suasana sedih,
Diam-diam pencahayaan air mata kita menjadi permata.
Pencipta semua, bukan Kau di sana?
Siapa yang satu ini memisahkan kita di sini?
Tahun berlalu ...namun kita tetap berteman,
Berbagi penderitaan dan sukacita dahulu kala.
Yang berpendidikan socalled jiwa kita terpisah,
Menabur benih perselisihan dan racun.
Mereka tidak memberikan pengetahuan tetapi membenci dan kekalahan;
Beritahu orang lain tidak mengindahkan nasihat yang tidak diinginkan mereka,
Seperti Yang Mahakuasa menciptakan semua sama dan bebas .

Salah satu upaya pemimpin memberikan motivasi dan dorongan bagi warganya agar peduli terhadap kehidupan yang serba damai, selaras, tanpa perang dan kebencian. melalui karya ini masyarakat diajak untuk mulai melihat sikap peduli damai dan menghilangkan sikap acuh. Putusnya tali persaudaraan sebagai satu rahim, Ini adalah imbas dari egoisme kehidupan manusia. Egoisme sebagi racun dan penabur racun, membuat manusia menjadi saling mengambil kebebasan antara satu dengan yang lainnya. Puisi ini menyiratkan suatu nasehat bahwa seharusnya dalam dunia manapun kita hidup, kita haruslah tetap mampu membentengi diri dari kekacauan yang terjadi, dengan menjaga stabilitas kebersamaan dan memupuk semangat berbela rasa.
Dapat dikatakan bahwa upaya seruan melalui sastra puisi agar kehidupan menjadi selaras ini merefleksikan berbagai aspek yang terkait dengan kehidupan masyarakat di wilayah Asia yang tengah berada di dalam gejolak arus perubahan yang sedemikian pesat. Suatu dambaan akan kehidupan harmonis. Suatu cita-cita berdiam di negeri yang penuh dengan belarasa. Suatu komunitas manusia yang melihat orang lain sebagai ‘kekasih’. Dalam seruan ini, tersirat secara kuat bahwa setiap manusia yang peduli terhadap kebahagiaan hidup bersama merefleksikan kondisi di sekitar mereka dengan menguak berbagai lapisan sejarah dan narasi lokal yang merekam realitas sosial serta berbagai ketegangan politik yang disampaikan melalui “seruan”.

4. Allah yang Berbelarasa: Refleksi Teologis atas Realitas Asia
Setiap anggota Gereja melalui caranya menghayati iman Kristiani harus menjadi saksi bagi masyarakat di sekitarnya. Setiap manusia yang dibaptis dalam nama Yesus Kristus terpanggil menjadi agen perdamaian dalam kehidupan bersama. Sebagai pribadi yang terpanggil ia adalah perwujudan Gereja kristus yang selalu menghadirkan keselarasan. Sebagaimana diungkapkan oleh Georg Kirchberger bahwa Gereja Asia harus menjadi bagian dan kenyataan aktual konkret bagi masyarakat . Begitu juga Gereja mesti masuk ke dalam inti sari atau jantung kehidupan sosial kemasyarakatan suatu umat. Hidup kita merupakan kelanjutan dari visi keselamatan Yesus yang bertindak untuk berpihak pada yang lemah (Option for the Poor), sebagaimana Yesus membela manusia yang terancam dan bahkan tak ada pembelaan, menjadi korban kekerasan dan serangan kekuatan-kekuatan yang menghancurkan dan bahkan membunuh . Karena itu hidup perlu pemberdayaan dan pembelaan, meskipun menuai derita. Berjuang dalam komitmen menjunjung tinggi perdamaian dan kehidupan yang indah bersama, semangat solidaritas yang tinggi kepada yang menderita karena pelbagai krisis kemanusiaan.
Allah adalah pribadi yang berbelaskasih, mau membantu orang yang lemah dan menderita. Pribadi Alah yang itu tampak dalam pribadi putra-Nya Yesus Kristus yang rela memikul kelemahan dan menanggung penyakit masyarakat manusia (lih. Mat 8: 17) karena tergerak oleh belaskasih (lih. Mat 9: 36). Gerakan berbelarasa bagaimanapun juga tetap terarah kepada terwujudnya kemanusiaan yang bermartabat dan adil bagi siapa saja yang berdiam di muka bumi ini. Perang, konflik dan kekacauan akibat krisis penghargaan terhadap martabat manusia menjadi tantangan hebat panggilan kemartiran dalam memperjuangkannya. Menghadapi berbagai macam resiko kemartiran sebagaimana juga pernah dialami para nabi, Yesus, dan pengikut-Nya (lih. Luk 21:10-19).

Berhadapan dengan kekuatan-kekuatan yang merampas hidup dan kekebasan, kita diajak secara elegan memperjuangkan dan menyuarakan damai di tengah situasi yang mengancam kehidupan itu. Lewat cara yang damai kita dapat memberikan diri sebagai kurban untuk membela dan mengangkat hidup sesama. Itulah spiritualitas berbelarasa. Bekerjasama dengan orang yang berniat baik bagi kehidupan bersama. Itulah kemuridan yang dituntut Allah kepada manusia sebagaimana Allah sendiri mau menjadi kurban dan pribadi yang berbelarasa terhadap kaum yang menderita dan tak bersalah.
Gereja pun dituntut untuk mengisi diri dengan semangat berbela rasa itu. Menjalin persekutuan belarasa dengan sesama demi terwujudnya kehidupan harmoni dengan saling menghibur diantara umat yang mengalami kesusahan dan penderitaan. Memperjuangkan persekutuan demi terpeliharanya nilai-nilai hidup yang layak dan penghargaan terhadap martabat manusia sebagai ciptaan Tuhan. Dalam situasi hidup bangsa Asia yang carut marut seperti ini, kedamaian diserukan, budaya hidup diangkat kepermukaan. Komunitas persaudaraan mesti tampil dengan caranya masing-masing menuju pengejaran akan nilai-nilai dengan merangkul sesama. Mengerjakan gerakan pengentasan penderitaan, sembari memberi kesaksian tentang hidup yang adil, harmonis, makin manusiawi dan lestari .
Ketika kita sedang merangkul sesama, pada saat yang sama kita menatap Allah. Wajah Allah tersamar dalam sesama yang menderita, yang sedang mengalami ketakutan dan kegetiran dalan suasana perang dan berkonflik. Kita hadir sebagai daun kasih untuk merangkul sesama, yakni menjadi ”syalom” yang merupakan kepenuhan persekutuan dan persaudaraan antara manusia dan Allah serta ciptaan. Inilah yang kita dambakan yakni mewujudkan cita-cita kemanusiaan sebagaimana terungkap dalam Sabda Bahagia (lih. Mat. 5: 3-12). Hanya dengan melihat sesama sebagai ’aku’ yang lain, kita dapat mengalami Allah yang berbelarasa. Allah itu berbelarasa kepada kelemahan manusia, Ia berempati kepada yang menjadi korban penganiayaan, sebagaimana Ia mengasihi Putra-Nya yang diutus-Nya (bdk. Mat 5:11-12; Mat 10:18-19.22).

5. Penutup
Setiap bangsa yang mengalami perang, konflik, teror, pasti mengalami penderitaan. Penderitaan menuntut sikap dan tanggungjawab belarasa. Belarasa itu cerminan kasih Allah yang peduli dan toleran terhadap makhluk ciptaan-Nya. Semangat belarasa itu menjadi semangat dan kekayaan nilai hidup. Kekayaan nilai hidup yang terukir dalam setiap perjuangan kemanusiaan, tidak pernah memiliki spirit tanpa optimisme dan itu berasal dari Allah. Saat manusia memelihara peradaban hidup tanpa jeritan, ia menampilkan pesona Allah. Allah yang harmoni bersama ciptaan. Saat manusia hidup tenteram ia akan diperkaya dalam hidupnya, bukan saja secara lahir tetapi spiritual yang membantunya selaras dengan hidup yang berasal dari Sang Pencipta. Bersama kalangan umat lain dirangsang bersatu padu memupuk budaya belarasa. Maka penting sikap membangun relasi antar iman . Kita harus berani bermimpi menatap hari esok dengan optimisme sekaligus berani menerpa arus jeram penindasan terhadap sesama. Keterlibatan dalam dunia lewat cara harmoni yang secara khusus disoroti dalam berbagai macam problema kehidupan mesti muncul kepermukaan. Gereja terlibat dan mengarahkan diri pada soal kehidupan sosial kemasyarakatan menuju kehidupan yang lebih solider .
Dalam keadaan masyarakat yang mengalami gejolak karena menuju pembentukan tatanan hidup baru, Gereja di Asia perlu selalu berusaha sadar akan perjalanan yang sulit dan melelahkan menyerukan ‘budaya hidup’, antara lain budaya kondusif tanpa teror (ketakutan), budaya adil tanpa kelaliman, dan budaya harmoni tanpa perselisihan. Gereja diharapkan mampu dengan tulus berpartisipasi menjadi ‘suara’ dalam situasi-situasi penuh kegetiran. Karena itu, Gereja diharapkan mampu membangun diri terlebih dahulu agar nantinya mampu menyampaikan sabda yang membebaskan dan warta pendorong dari injil kepada mereka (sesama) yang mengalami penderitaan, ketakutan, kehilangan dan lain sebagainya.

Kepustakaan

Buku:
Chodron, Thubten, Tradisi dan Harmoni, Bandung: Karaniya, 1995

Darminta, J, SJ, Gereja, Dialog, dan Kemartiran, Yogyakarta: Kanisius, 1997

Hardawiryana, R, dan Siswoyo, Sumartara, (Ed) Dokumen Sidang FABC 1995-1998, Jakarta: DokPen KWI-Obor, 1998

Kirchberger, Georg, Gereja Berwajah Asia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1995

Mahathera Narada, dan Nayakathera, Dahamananda S, Fakta dan Tujuan Hidup, Malang: Club Penyebar Dhamma, 2004

Mulkan, Abdul Munir, dkk (ed), Membongkar Praktik Kekerasan; Menggagas Kultur Nir- kekerasan, Yogyakarta: Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM bekerjasama dengan Sinergi Press, 2002

Prior, John M, dan Pa, Patris, (Ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI, 2007

Prior, John M, Berdiri di Ambang Batas, Maumere: Ledalero, 2008

Pieris, Aloys, Berteologi dalam Konteks Asia, Yogyakarta: Kanisius, 1995

Sobrino, J dan Hernandez Pico, J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Song, C. S, Theology from the Womb of Asia, New York: Orbis Books, 1986

Kleden Tony (ed), Keadilan dan Perdamaian (seri VOX), Ende: Arnoldus, 1993


Internet:
http://www.youtube.com/watch?v=EFrQR8n8r3I, (diakses tgl 18 Juni 2010).
http://id.shvoong.com/tags/kumpulan-puisi-dr-apj-abdul-kalam-presiden-india, (diakses tgl 19 Juni 2010).