Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Selasa, 15 Juni 2010

IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja


IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja
Kosmas Ambo Patan

Pengantar

Ikon seringkali disebut sebagai seni teologis, oleh karena ikon tidak terlepas dari nuansa ajaran iman. Seiring dengan perkembangan peradaban seni sendiri, ikon menempati tempatnya sendiri. Ikon berbeda dengan aliran seni lukis lainnya. Alasannya karena ikon sarat dengan nuansa religius. Nuansa ini terkait erat dan karena itu menjadikan ikon berbeda dari lukisan yang bernuansa religius lainnya. Ciri ikon adalah keabadian yang membedakannya dari karya seni lain, sebab ikon memiliki tendensi pada pertanyaan pokok iman Kristiani; Siapa Yesus Kristus? Yesus Kristus yang adalah Allah manusia. Allah dalam wujud kemanusiaan . Ikon adalah seni menghayati iman. Ikon menampakkan dimensi kemanusiaan dan kailahian, menjadi corong dalam pengungkapan iman akan Yang Ilahi, maka ikon selalu terkait erat dengan Kitab Suci dan Liturgi.
Sedangkan Ikonoklasme adalah sebuah gerakan penghancur gambar-gambar atau ikon. Gerakan ini menentang penggunaan gambar yang dipakai sebagai sarana ibadat dalam Gereja Timur. Ikonoklasme berpendapat bahwa ikon lebih cocok sebagai sarana pengajaran iman dari pada sebagai sarana peribadatan. Pembelaan terhadap penggunaan ikon dalam peribadatan diperjuangkan oleh Yohanes Damaskus, bahwa penggunaan gambar-gambar itu dimungkinkan untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang kudus sebagai konsekuensi logis dari inkarnasi. Problem inilah yang mendatangkan krisis dalam Kristianitas zaman Gereja Bizantium.
Dalam tulisan ini penulis mencoba (secara singkat-padat) menelusuri kembali pokok permasalahan yang ada sebagai pemicu pertentangan ini. Pada poin pertama penulis ingin menampilkan latar belakang sejarahnya, melihat terminologi dan unsur teologis serta dimensi liturgisnya. Poin kedua menampilkan akar pemicu pertentangan. Poin penutup penulis ingin menampilkan upaya rekonsiliasi dengan redefinisi atau pengaturan secara wajar ikon dalam dunia penghayatan iman Gereja.

A. Ikon
1. Latar Belakang Sejarah
Pada abad ke-7, muncullah agama Islam di Timur tengah. Kota Konstantinopel diserbu pada tahun 678 dan 718. Kebanyakan dari propinsi Gereja timur termasuk patriakh Aleksadria, Yerusalem, dan Antiokhia, jatuh ke tangan Islam. Sebab mulai abad ke-6 bangsa Slavia yang belum Kristen memasuki daerah Balkan, maka seakan didirikan semacam tembok antara Roma dan Konstantinopel, yang menimbulkan persaingan antara Timur dan Barat. Di Konstantinopel bahasa latin diganti dengan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi. Komunikasi dengan Barat berkurang. Maka mulai masa itu pula Bizantium menjadi kekaisaran Yunani.
Latar belakang budaya Yunani seperti penghormatan kepada patung dewa-dewi menginspirasikan suatu bentuk pengahayatan iman di kalangan Gereja Timur. Gagasan ini berkembang dan di adopsi oleh Gereja Timur karena dilihat sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual untuk menggambarkan Allah dalam wujud kemanusiaan. Patung atau gambar itu dibuat untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang Kudus. Maka penghormatan ini diterima dan menjadi devosi umum dalam Gereja Timur. Pembuatan ikon ini dilakukan oleh Ikonografer , dengan pantang dan puasa khusus. Ditinjau dari pespektif kesusastraan, sumber literer Ikonografer adalah Kitab Suci, tulusan-tulisan Apokrif , teks-teks liturgis, hagiografi , dan manuskrif dari bapa-bapa Gereja. Dalam perkembangan selanjutnya ada banyak literer yang mempengaruhi pembuatan ikon.

2. Terminologi
Ikon berasal dari bahasa Yunaniyang berarti gambar. Kata ikon dalam pengertian umum biasa digunakan untuk menerangakan gambar yang dibuat diatas kayu. Gambar tersebut hendak mempresentasekan gambar Tuhan, Bunda Maria, dan santo-santa atau orang Kudus lainnya. Gambar yang disajikan bukanlah pertama-tama gambar nyata yang mendetail dan indah menurut kriteria seni murni, namun lebih mengungkapkan makna simbolik. Oleh karena itu, ikon dalam kerangka ini memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengamini ajaran iman. Dalam Gereja Timur ikon dipakai sebagai sarana peribadatan, baik pribadi maupun publik.

3. Unsur Teologis
Ikon adalah gambar yang merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi. Ikon merupakan sarana manusia beriman untuk mengenal dan merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi ke dalam lingkungan inderawi manusia. Ikon dilihat sebagai sarana yang mudah dan mengena dalam menghayati Kristus sebagai Allah dalam dalam rupa manusia. St. Theodorus mengatakan bahwa Sabda Allah yang tidak tampak berasal dari Bapa yang juga tidak tampak, sabda itu muncul dan menjadi jelas kala Yesus hadir ke dunia.
Unsur teologis ini ditentang oleh Ikonoklasme yang beranggapan bahwa mustahil merepresentasekan Kristus sebagai Allah dalam sosok manusia, Allah lebih besar dari gambaran yang bisa diberikan oleh manusia. Mustahil mereduksi Allah yang maha segala. Dasar biblis yang dipakai untuk menyerang adalah dari Kitab Suci, “Tidak pernah ada orang yang melihat Allah” (1 Yoh. 4:12).

4. Dimensi Liturgis
Liturgi adalah sarana manusia hadir dihadirat Allah. Dalam liturgi umat beriman merlakukan penyembahan, penyembahan itu sendiri mendapat tekanan pada Konsili Necea tahun 787. Penyembahan itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Penyembahan kepada ikon hanya menjadi sarana manusia untuk masuk dalam suasana religius. “Penghormatan terhadap ikon tidak ditujukan pada gambar melainkan kepada tokoh yang digambarkan” atau kepada sosok yang direpresentasekan dalam ikon itu. Ikon dalam liturgi digunakan sebagai sarana manusia mengasah kepekaan inderawi akan kehadiran Allah.

B. Ikon versus Ikonoklasme
1. Ikonoklasme
Ikonoklasme berasal dari bahas Yunaniberarti menghancurkan gambar. Penghancuran gambar-gambar kudus /ikon. Kudus. Ikonoklasme melakukan gerakannya antara tahun 726-843. Latar belakang munculnya gerakan ini dipicu oleh semakin marak dan meluasnya penghormatan terhadap ikon, sehingga terkesan berlebihan. Sehingga muncullah pertentangan antara kaum Ikonoklasta dan kaum Ikonodoula. Ikonoklasta: golongan penentang ikon yang terdiri dari kaisar dan para pejabat tinggi, sebagian dari kalangan rohaniwan sekuler serta penduduk daerah Asia minor. Ikonodoula: golongan yang mempertahankan ikon, yakni para pemuja gambar-gambar ikon yang berlebih-lebihan, terutama para rahib, penduduk dan beberapa teolog.

2. Akar Konflik
Penghormatan terhadap patung, gambar telah menjadi devosi umum dalam Gereja Bizantium, tetapi seringkali dalam praktek, para penghormat ini kurang membedakan antara gambar dengan apa yang digambarkan sehingga sampai pada “pemujaan berhala” atau terjerumus ke idolatry . Hal itu menimbulkan kecurigaan kepada pimpinan Gereja. Tambahan lagi suatu argumentasi Kristologis dari kaisar konstantinus V (741-775), yang berpendapat bahwa sifat gambar sama dengan dengan apa yang digambarkan, dan bahwa membuat suatu gambar Kristus adalah bidaah, karena kedua kodrat Kristus tidak dapat dipisahkan.
Para penghormat patung berpendapat, bahwa suatu gambar pada hakekatnya berbeda dari apa yang digambarkan. Penghormatan patung itu bukan penyembahan atau pemujaan berhala; dapat dibandingkan dengan hormat yang diberikan kepada patung kaisar. Sumber kekuatan ikonoklas untuk menentang adalah dari teks Kitab Suci PL: “Janganlah engkau membuat patung pahatan atau gambaran apapun dari yang ada di langit di atas atau di bumi di bawah atau di dalam air di bawah bumi. Janganlah engkau bersembah sujud kepadanya atau berbakti kepadanya, sebab Aku yahwe Allahmu adalah Allah yang cemburu” . Yohanes Damascenus menitikberatkan hubungan antara arti patung-patung dan teologi inkarnasi; patung adalah tanda nyata bahwa yang jasmaniah disucikan karena Putera Allah yang menjadi manusia. Lagi pula ia menegaskan distingsi mutlak antara istilah “penyembahan” (Allah), dan penghormatan” (patung Kristus dan orang Kudus).

3. Masa Penghancuran
Pada masa kaisar Leo III (717-741), terutama tahun 726 dikeluarkan maklumat pelarangan penghormatan patung sehingga ikon Kristus yang sangat dihormati, dihancurkan. Tindakan ini menimbulkan kerusuhan di Konstantinopel dan terjadi pemberontakan di propinsi Yunani. Tahun 730 Leo III mengeluarkan perintah mengharuskan penghancuran patung-patung. Pada saat itu ikonoklasme dilegalkan. Patung-patung dikeluarkan dari Gereja. Banyak penghormat dihambat, dibuang dan dibunuh.
Tahun 754 atas prakarsa kaisar Konstantinopel V diadakan sinode Konstantinopel. Penghormatan patung dinyatakan sebagai bentuk pemujaan berhala sampai menghormati orang Kudus dan menghormati bunda Allah dilarang saat itu. Masa ini merupakan puncak penghambatan penghormatan ikon sekaligus merupakan puncak kejayaan bidaah ikonoklasme.

C. Upaya Rekonsiliasi
Pada tahun 787 diadakanlah Konsili Nicea II atas prakarsa Irene, janda kaisar Leo IV (775-780), yang menjadi wali putranya. Penghormatan patung dipulihkan kembali. Walaupun antara tahun 813 dan 843 pada masa kaisar Leo V (813-820) dan kaisar Teofilus (829-843), ikonoklasme sempat muncul kembali, namun gelombang kedua ini tidak sehebat yang pertama. Pada Tahun 842 gerakan ikonoklasme lumpuh. Pada tahun 843 diadakan sinode di Konstantinopel untuk memulihkan penghormatan terhadap ikon secara definitif.

Penutup

Setiap agama memiliki cara perspektif dalam mengaktualisasikan kegiatan berimannya. Kegiatan beriman lewat sistem peribadatan menentukan eksistensi agama atau sistem kepercayaannya. Apakah itu melalui simbol yang berupa karya seni, sejauh dilihat tak bertentangan dengan paham dan realitas yang disimbolkan dalam cara pengungkapannya itu. Maka sebagai sebagai penutup dari uraian ini harus dikatakan bahwa setiap manusia beriman telah dinyatakan dewasa menghayati kehidupan rohaninya. Salah satu cara orang masuk ke kedalaman imannya dalam liturgi adalah lewat seni dan mendalami makna simbolis yang sarat dengan makna dan simbol teologis. Ikon sebabagi suatu sarana peribadatan mau memberi tempat untuk itu.

Kepustakaan

ALKITAB
Haight, R., Christian Community in History 1; Historical Ecclesiology, London: Continuum, 2004

Gallatin, Harlie Kay., A Lion Handbook, The History of Christianity, England: Lion Publishing plc, 1977

Shadily, Hasan (ed)., Ensiklopedi Indonesia; edisi khusus, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, (t.th.t)

Heuken, A., Ensiklopedi Gereja; Jilid III H-J, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004

AGAMA SAMAWI dan BUDAYA


AGAMA SAMAWI dan BUDAYA
Kosmas Ambo Patan


Pengantar

Agama lahir dari kerinduan manusia untuk mengenal dan mengetahui sesuatu yang lebih dulu menyatakan diri kepada manusia. Oleh karena adanya kepercayaan akan hal yang menyatakan diri itu, maka munculah suatu tanggapan dari manusia. Agama dalam hal ini meliputi seluruh fenomena yang berkaitan erat dengan suatu relasi khusus antara manusia dengan yang mengatasi manusia atau dengan yang transenden. Agama sebagai suatu system kepercayaan memiliki karakter sebagai suatu cara pengungkapan religiusitas manusia. Karakter pertama ketergantungan manusia terhadap kekuatan yang melampui dirinya, karakter yang kedua pencarian akan kekuatan itu melalui pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Samawi diyakni ada relaitas transenden. Realitas tertinggi yang menyingkapkan diri melalui pengalaman manusia. Dari sinilah manusia sadar bahwa terdapat suatu kekuatan yang mengatasi dirinya yang patut diberi penghormatan secara istimewa. Kekuatan itu tunggal dan melampui kekuatan-kekuatan lainnya. Manusia merasa memiliki keterikatan dan relasi dengan kekuatan di luar dirinya itu. Kekuatan itu diyakini sebagai Allah Yang Esa atau Alah Yang Mahakuasa.

1. Agama Samawi dan pengertiannya

Karakter agama dengan demikian pertama-tama, dilihat sebagai sesuatu yang mencakup segala perwujudan dan bentuk hubungan manusia dengan yang Adikodrati. Kedua, Terhadap yang Adikodrati itu, manusia merasa diri kecil, dan menggantungkan diri kepada yang adikodrati tersebut. Yang Adikodrati membuat manusia takut atau takwa karena sifatNya yang dahsyat; tetapi sekaligus juga membuat manusia tertarik kepadaNya (tremendum et fascinoscum). Istilah Adikodrat dari suatu pengalaman para pendiri agama-agama, yang lazimnya dinamai wahyu. Wayhu ini mencakup pandangan tentang Yang Ilahi itu sendiri, asal-usulnya, tentang akhirat, tentang tuntunan akhlak/moral serta cara-cara beribadat. Biasanya apa yang diterima sebagai wahyu dicantumkan dalam Kitab yang dinamakan Kitab Suci. Dalam hubungan dengan hal tersebut kita dapat mengatakan bahwa agama samawi adalah agama yang benar-benar berasal dari Yang Ilahi tersebut, datang dari yang Adikodrati. Singkatnya datang dari Tuhan sendiri. Oleh karena agama Samawi itu berasal dari Tuhan, atau yang tansenden, atau yang Adikodrati maka sebagai pegangan iman, agama tersebut memiliki Kitab Sucinya.
Menurut pandangan Islam, agama Samawi adalah agama yang bertalian dengan langit atau agama langit. Agama juga adalah soal keyakinan. Agama Samawi berarti agama monoteisme yang menaruh keyakinan dan kepercayaan hanya kepada satu Allah. Y.W.M Bakker berpendapat bahwa dasar gerakan agama ialah suatu kepercayaan kepada yang datang dari yang Adikodrati. Agama tersebut berasal dari Tuhan. Agama samawi adalah agamanya murni dari Tuhan, benar-benar berasal dari Tuhan Oleh karena datang dari yang Adikodrati, maka agama tersebut bersifat Adikodrati.

2. Agama dan Budaya: Persoalan Sakral dan Profan

Letak persoalan antara agama ini dan budaya, adalah bahwa agama dengan demikian tidak bisa dicampuradukkan dengan budaya. Alasannya ialah agama dipandang sebagai yang tidak termasuk atau sesuatu yang diluar kebudayaan yang memfondasikan diri pada daya dan kekuatan manusia meskipun semua bentuk lahiriah dari suatu agama masuk dalam kriteria kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
Dalam hal ini budaya di dalamnya terkandung kepercayaan. Kepercayaan merupakan bagia dari budaya manusia. Namun yang menjadi dasar perbedaannya dinyatakan dalam istilah sakral dan profan. Arti dari profan adalah benda dihasilkan oleh manusia untuk kepentingan manusia sehari-hari misalnya pakaian makanan, minuman pendeknya segala sandang, pangan, papan yang berasal dari alam nyata disekitar manusia. Sedangkan hal yang sakral benda yang asalnya dari kekuatan adikodrati, dan diperuntukan bagi kegiatan adikodrati, yang berasal dari yang Ilahi adikodrati. Pertanyaan selanjutnya kapan dapat dikatakan profanasi dan kapan dikatakan sakralisasi? Terjadi Profanasi kalau apa yang masuk kedaulatan Allah, dijadikan sesuatu untuk kepentingan otonomi manusia. Bagaimana hal ini bisa dipahami? Profanasi dalah sikap konkret. Ialah semua benda yang dianggap sakral dijadikan sebagai yang penting dalam hidup manusia. Kemudian terjadi sakralisasi kalau sesuatu yang profan diperlakukan sebagai adikodrati, misalnya kalau pakaian sehari-hari yang kita kenakan ditingkatkan nilainya, maka yang terjadi saat itu adalah apa yang disebut sebagai sakralisasi. Terjadi desakralisai bila semua nilai profan dipropagandakan dalam keagamaan semu.
Sekularime, arti dan mengapa terjadi sekularisme. Sekularisme adalah paham yang sama sekali tidak mementingkan nilai-nilai agama Sekularisme terjadi bila hidup di dunia ini tidak mengalami relasi yang intim lagi dengan keagamaan. Hidup manusia yang tergerak oleh semangat sekularisme tentu tidak akan mempedulikan apa dan bagaimana agama berperan dalam kehidupannya, artinya arah hidupnya tidak difondasikan pada ajaran agama atau kepada yang Adikodrati. Dengan demikian hidupnya terlepas dari kekangan norma agama.

3. Dampak yang Ditimbulkan Agama Samawi Terhadap Kebudayaan

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem dunia ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian penghuni dunia ini. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Selanjutnya, di dalam hubungan antara agama dan budaya secara kurang lebih dijelaskan bahwa peranan inspirasi religius yang bersendi adikodrati dapat menggerakkan imajinasi kreati manusia yang luar biasa dan menghasilkan karya seni, misalnya Kaligrafi dalam agama Islam. Di pihak lain, banyak budayawan menilai bahwa adanya unsur kebudayaan yang muncul dari inspirasi yang disebut religius memasukkan religi pula dalam lingkup kebudayaan. Dalam hal ini, pemahaman mereka tentang agama tidak lagi terbatas pada pengertian agama wahyu tetapi memasukkan semua kepercayaan terhadap semua kekuatan yang dianggap melebihi kemampuan manusia dan berasal dari sesuatu yang sacral sebagai agama, termasuk dalam budaya. Dari pernyataan tersebut, dapat dibedakan antara agama wahyu atau samawi dengan agama-agama tradisional atau agama suku-suku.
Dalam agama ataupun religiositas tradisional atau agama-agama suku, manusia diarahkan pada ungkapan kepercayaan yang bisa lebih dari satu. Misalnya dewa-dewi, sedangkan agama samawi ini membawa manusia pada yang Adikodrati. Segi lahiriahnya terpancar dalam berbagai cara-cara adat atau kebiasaan hidup mereka. Sedangkan agama samawi adalah agama wahyu, ada nabi atau pemimpinnya, dan tentu ada Kitab Sucinya.

4. Sikap Agama Samawi Terhadap Dunia yang Bukan Agama
Agama samawi memang diakui sebagai agamanya murni dari Tuhan, akan tetapi pada kenyataan, orang-orangnya sudah datang dan dan hidup dalam suatu budaya tertentu Lalu agama samawi tentu harus berhadapan dengan perkembangan keyakinan agama-agama suku. Walau demikian, persoalan budaya pun akhirnya menjadi persoalan agama. Namun adalah sangat berbahaya jika unsur religiositas asli masuk dan menghilangkan keotentikan agama Samawi. Orang-orang menganut sistem agama samawi perlu bermawas diri. Agama Samawi memang harus mengakui bahwa dalam hidupnya sehari-hari ia berelasi dengan unsur yang bukan unsur agama, ia berhadapan dengan unsur-unsur yang bukan berasal dari Tuhan, misalnya dalam praktek magis. Praktek magis memang tidak diminati oleh agama Samawi, bila ada unsur magis ini masuk ke dalam Agama Samawi berarti agama Samawi tersebut sudah menyimpang dari kepercayaannya yakni percaya pada satu Allah. Akhirnya sikap kita ialah bahwa kita perlu mawas diri. Bersikap hati-hati, dan senantiasa kritis. Kita juga bersikap intropeksi ke dalam diri dengan bertanya; religiositas kita mau mengarah ke mana? Apakah tertuju kepada Tuhan Yang Esa?.

5. Relasi Antara Iman dan Rasio dalam Agama Samawi.

Banyak pemikir yang menyatakan bahwa kebenaran atau ajaran religius mengatasi akal budi dan hanya bisa dicapai dalam penyerahan iman. Tertullianus mengatakan saya percaya karena tak masuk akal (Credo quia absurdum). Dengan kata lain akal budi tak cukup mengantar orang pada pengenalan dan pemahaman akan yang adikodrati jika tidak diikutsertakan dengan iman. Iman memiliki peranan yang sangat sentral dalam cara penghayatan umat yang memiliki Agama.
Akal budi tidak mungkin menjelaskan secara tuntas isi ajaran wahyu ilahi. Dipihak lain banyak pemikir menyatakan bahwa Kebenaran suatu ajaran atau kepercayaan seperti dalam agama Samawi ini yang notabene dari yang Adikodrati, memang sesuatu yang mengatasi akal budi dan hanya bisa digapai dalam penyerahan iman yang total kepada Allah. Dari perspekti Katolik Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Fides et Ratio sangat menekankan pentingnya hubungan antara iman dan akal budi, karena yang satu tanpa yang lain menjadi miskin dan lemah. Bila dijauhkan dari apa yang diberikan oleh Wahyu, akal budi menjadi menyimpang dan akibatnya, menghadapi bahaya tidak dapat melihat lagi tujuan akhirnya. Agama katolik yang merupakan salah satu dari Agama Samawi yakin bahwa beriman itu tidak membabi buta.

Penutup.

Sebagai sebuah kesimpulan dari uraian kami mengenai Agama Samawi, bahwa Agama Samawi adalah agama yang yang berasal dari yang Adikodrati. Meskipun Agama Samawi telah diyakini banyak bangsa di dunia ini, hal ini bukan tanpa persoalan apalagi berhadapan budaya asli dan dengan dunia magis diluar. Namun yang dituntut adalah suatu sikap mawas diri. Agama Samawi juga dalam penghayatannya perlu suatu pertautan antara iman dan akal budi untuk mengerti dengan lebih baik Allah yang mendekatkan diri kepada manusia.

Kepustakaan

Reksosusilo, Stanislaus, CM, Filsafat Kebudayaan, Malang:STFT Wydia Sasana, 2006
Endang Saifuddin Anshari, H. Agama dan Kebudayaan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980.
Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Suseno, Franz Magnis SJ. Filsafat Kebudayaan Politik; Butir-butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 1992.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Jumat, 11 Juni 2010

MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH); MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA


MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH);
MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA
(Dibawakan dalam acara malam Valentine’s Day OMK se-Paroki St. Montfort Poco-Keuskupan Ruteng,14 April 2008)
Marcel Lobi & Cosmas Ambo Patan

Pengantar

Mengulas mengenai kata “cinta” tak pernah habis, dalam istilah Latinnya, Per Amor Num Quam Satis. Berbicara tentang “cinta” itu tak pernah selesai. Sejak keabadian yang tak bisa ditentukan baik secara kronos maupun secara kairos, tak bisa tidak, ia memiliki historisitas, peradaban, dan dinamika, bahkan ritmenya sendiri seiring dengan zaman yang diarungi manusia. Cinta, sebagaimana manusia hidup dalam arus zaman yang mengalami pergeseran paradigma. Dan dari setiap zaman, “cinta” dialami dan dimaknai secara berbeda. Dewasa ini, kata “cinta” sudah begitu tercemar, rusak dan salah digunakan, sehingga orang nyaris takut mengucapkannya dengan mulut sendiri. Namun demikian” cinta” sesungguhnya kata primordial, ungkapan menyataan primordial. Kita tidak begitu saja membuangnya, kita harus memkainya lagi, memurnikannya dan mengembalikan semarak aslinya sehingga menerangi hidup kita dan membimbing kita ke jalan yang benar.

1. Cinta Dari Perspektif Psikoanalisa

Seorang psikoanalisis ternama Erich Fromm, dalam bukunya the Art of Loving, menguraikan bahwa cinta adalah bagaikan seni,yang pengetahuan tentangnya bertambah dan dilaksanakan dengan tekun, agar orang dapat mencintai dengan baik. Cinta atau kasih sayang adalah terutama aktivitas untuk memberi, bukan menerima. Namun banyak yang berpendapat bahwa dalam soal cinta,yang perlu adalah agar dirinya dicintai, bukan mencintai. Agar orang dicintai, orang menggunakan berbagai jalan. Bagi putra, yang umumnya dilakukan adalah berusaha menjadi orang sukses agar banyak uang dan kekuasaan. Bagi yang putri, memperindah tubuh dan penampilan. Baik putra maupun putri berusaha meningkatkan tata cara, percakapan dan daya tarik seksualnya agar laris dicintai. Ada pula yang berpendapat bahwa tak perlu mempelajari cinta. Yang perlu adalah mencari obyek yang tepat. Jika ketemu, barulah bisa mencintai. Tambah baik obyeknya tambah hebat pula cintanya. Ada pula yang membaurkan cinta yang lebih langgeng yang tidak menggebu-gebu dengan rasa jatuh cinta, di mana bahagia yang dahsyat terasa ketika dua pribadi asing jadi satu, sehingga ia merasa kehilangan cintanya di saat si dia sudah jadi biasa. Akibatnya, ia mencari yang baru lagi dan lagi-lagi akan mengalami kekecewaan.

Erich Fromm melihat bahwa sikap menggampangkan cinta ini seringkali menjadi sumber kekecewaan. Cinta bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalankannya dengan baik. Cinta yang paling jelas adalah perilaku seorang ibu pada anaknya yang masih kecil. ia memberinya makanan dan minuman, memenuhi kebutuhannya, merawat dengan lembut, memandikannya dan menjaga agar anaknya tetap senang. Semua ini dilakukan tanpa mengharapkan apa-apa, bukan sikap akal-akalan agar dapat imblan yang lebih baik. Itulah sebabnya cinta ibu pada anakanya seringkali dijadikan ukuran cinta yang sempurna, yang total. kepedulian aktif untuk kehidupan dan perkembangan orang yang dicintai, itulah cinta. Jika ada orang mengatakan bahwa ia mencintai tanamannya atau ternaknya, tetapi membiarkan tanamannya layu atau hewan piaraannya kelaparan, itu bukan cinta.

Cinta adalah akitivitas yang terutama memberi, bukan menerima. Dalam memberi itu, seseorang merasa bahagia, sebab merasakan bahwa dirinya mempunyai kekuatan, kemampuan dan merasa hidup. Yang biasa memberi hanya orang yang mempunyai, bukan yang tidak mempunyai. apa saja yang diberikannya? Fromm menyebut empat unsur dalam cinta, yaitu kepedulian (care), tanggungjawab (responsibility), penghargaan (respect) dan pengetahuan (knowledge) seperti kepedulian seorang ibu pada anaknya.

Pada orang dewasa, kepedulian ini lebih bersifat memenuhi kebutuhan psikologis. Dengan memberikan perhatian, mencoba mengerti sudut pandangannya, peduli pada perjuangan dan usahanya. kepedulian ini sampai dirasakan sebagi tanggungjawabnya, bukan tanggungjawab sebagai beban, namun tanggungjawab yang lahir dari kasih sayang, sebagai ungkapan rasa cinta. namun jika kurang hati-hati kepedulian dan tanggungjawab ini bisa menjadi usaha untuk mendominasi, karena merasa dirinyalah yang paling tahu tentang subyek yang dicintai. untuk menghindari ini perlu adanya penghargaan, yakni menghargai keunikan orang yang dicintai dan tidak mengubah dia seperti apa yang dikehendaki baru bisa mencintainya. orang yang dicintai perlu dapat mengembangkan potenisnya tanpa dieksploitasi. Cinta sama sekali tidak sama dengan seks. Cinta lebih agung daripada seks. seks sendiri perlu dibingkai dengan cinta. tanpa cinta, seks hanyalah mengakibatkan penderitaan.

2. Cinta Dari Perspektif Kristiani

Paus Bendiktus XVI menguraikan dengan sangat mendalam, makna cinta yang sesungguhnya, dalam ensikliknya “Deus Caritas Est”. Bagian pertama berbicara tentang hakikat cinta, hubungan eros dan agape, sedangkan bagian kedua mengupas cinta Gereja sebagai komunitas, lewat organisasi karitatif.

Dewasa ini, tulis Paus, istilah cinta (terj.dari love dari bah. Inggirs dan amor dalam bah. Latin) telah menjadi salah satu kata yang paling sering digunakan dan disalahgunakan, suatu kata yang diberi beragam makna yang berbeda. Ada cinta pada negara, atau profesi, ada cinta antara sahabat, ada cinta akan kerja, ada cinta antara orangtua dan anak, antara sesama anggota keluarga, terhadap tetangga, dan cinta pada Tuhan. Dalam keragaman arti ini, terutama satu yang paling menonjol: kasih antara lelaki dan perempuan, di mana jiwa raga saling terkait secara tak terpisahkan dan tampil kepada manusia sebagai satu-satunya contoh kasih, sehingga semua jenis kasih lainnya memudar.

Kasih antara pria dan wanita, yang tak berasal dari pemikiran dan kemauan, melainkan menimpa manusia, oleh orang-orang Yunani diberi nama eros. Dalam perjanjian Lama, kata eros hanya digunakan dua kali, sedangkan Perjanjian Baru sama sekali tak memakainya. Dari ketiga kata untuk kasih- eros, philia (kasih persahabatan), Agape-tulisan PB lebih suka memakai kata terakhir ini, yang dalam penggunaan bahasa Yunani kurang penting. Dalam dunia Yunani, agama-agama sikap ini mengambil bentuk upacara kesuburan, yang mencakup prostitusi “suci” yang berkembang di banyak kenisah (kuil-kuil). Dengan demikian eros dirayakan sebagai kuasa ilahi, sebagai persatuan dengan yang ilahi.

Perjanjian Lama dengan tegas menolak atau melawan agama semacam ini yang sebagai godaan amat kuat melawan iman akan Allah yang esa. ia tak menolak eros sebagi eros, melainkan memerangi kekuatannya yang membinasakan. Karena mengilahikan eros yang terjadi di sini salah, merampas martabatnya dan melecehkan kemanusiaannya. Para pelacur di kenisah yang harus memberikan kemabukan ilahi, tidak diperlakukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai obyek untuk mendatangkan kegilaan ilahi. Mereka itu bukan dewa-dewi, melainkan manusia yang disalahgunakan. Karena itu eros yang mabuk dan tanpa kendali bukan kemajuan, ekstasi menuju keilahian, melainkan kejatuhan manusia. Dengan demikian menjadi nyata bahwa eros membutuhkan pengendalian, pembersihan, untuk memberi kepada maunsia, bukan kenikmatan sesaat, melainkan prarasa kehidupan yang tinggi-kebahagiaan yang kita rindukan.

Dua hal yang perlu diketahui tentang eros dalam sejarah dan masa kini. Pertama, bahwa kasih sedikit banyak berkaitan dengan yang ilahi. Ia menjanjikan keabadian. Namun juga jelas bahwa jalan ke situ (keabadian) tidak dapat dicari begitu saja dalam penguasaan oleh hawa nafsu. Diperlukan penjernihan dan pendewasaan, yang juga dapat melalui jalan pantang. Ini tidak menolak eros, tidak “meracuninya”, melainkan tindakan memulihkan keagungannya. Kini, di tengah dunia yang mendewakan tubuh, eros dilecehkan menjadi seks menjadi barang, benda, yang dapat dijualbelikan. Manusia sendiri dalam pada itu menjadi barang. Ini jelas bukan sikap positif manusia terhadap tubuhnya. Sebaliknya. ia menganggap tubuh dan seksualitasya semata-mata sebagai kejasmanian yang dimanfaatkannya dan dipakainya dengan perhitungan. Sikap ini bukanlah tanda kebebasan, melainkan tanda kesewenangan memperlakukannya sebagai sumber kenikamatan dan sekaligus pelecehan. Sebenarnya kita berhadapan dengan pelecehan tubuh manusia yang tidak diintegrasikan dalam keseluruhan kebebasan hidup kita, bukan lagi ungkapan hidup keseluruhan eksistensi kita, melainkan dimerosotkan menjadi hal biologis belaka, penghargaan semu terhadap tubuh dapat cepat berubah menjadi kebencian terhadapnya. Sebaliknya iman kristiani senantiasa memandang manusia sebagai dwitungal, padanya roh dan materi saling meresapi dan dengan demikian, keduanya mengalami keluhuran baru. Eros ingin menarik kita kepada yang ilahi, membawa kita mengatasi diri sendiri.

3. Bagaimana Cinta Harus Dihayati?

Petujuk penting yang dikenal dalam PL, Kidung Agung. Cinta suami isteri dijunjung tinggi. Berbeda dengan kasih yang masih mencari dan tak menentu, dalam kata agape diungkapkan pengalaman kasih, yang kini sungguh berarti menemukan sesama dan dengan demikian mengatasi segala unsur egiostis. Kasih kini menjadi keprihatinan dan perhatian bagi orang lain. Ia tak lagi mencari diri sendiri, yakni tenggelam dalam kemabukan dan kebahagiaan, melainkan apa yang baik bagi yang dikasihi. ia menjadi pantang, ia bersedia berkurban, ia menghendakininya.

Pertumbuhan kasih menuju tingkat tang lebih tinggi dan pemurnian batinnya berarti bahwa kasih menghendaki keadaan defenitif, dalam dua arti, yakni ekslusivitas “hanya orang satu ini” dan dalam arti “untuk selamanya”. Seluruh eksistensi dicakupnya dalam semua dimensisnya, juga menyangkut dimensi waktu. Kasih menghendaki kebabaidan. Ia keluar dari kungkungan diri sendiri ke penganugerahan diri, untuk penyerahan. “Barang siapa menyelamatkan nyawanya, akan kehialangan nayawanya, tetapi barangsiapa kehilanganya nyawanya, ia akan menyelamatkannya. (Luk 17:33). Dengan kata-kata itu Yesus melukiskan jalanNya sendiri, yang melalui salib sampai kepada kebangkitan-jalan biji gandum, yang jatuh ke dalam tanah dan mati dan dengan demikian menghasilkan buah melimpah. Dengan itu Ia melukiskan juga hakikat kasih dan esksitensi manusia pada umumnya dari pusat KurbanNya sendiri dan di dalamnya kasih yang menuntaskan diri.

3. 1. Hakikat Cinta dalam Iman Alkibiah

Eros dimengerti sebagi kasih duniawi, sedangkan agape sebagi ungkapan yang berdasarkan iman dan diresapinya. Keduanya seringkali dipertentangkan. eros sebagai kasih dalam garis yang menaik, kasih yang mengingini, agape, kasih dalam garis yang menurun, kasih yang memberi.

Dari sudut padang kristiani, kedua jenis kasih, eros dan agape, kasih yang menaik dan kasih yang menurun, tak pernah dapat dipisahkan satu sama lain. Semakin keduanya tampil menyatu sewajarnya dalam dimensi yang berbeda dalam realitas kasih yang sama, semakin terwujudlah hakikat kasih sejati. Bila eros pada permulaan terutama menuntut dalam pada garis menaik, pesona oleh janji besar kebahagiaan, maka maka mendekati orang lain, makin sedikit memperhatikan diri sendiri, makin menghendaki kebahagiaan orang lain, makin memperhatiakannya, makin menganugerahkan dirinya, mau “berada baginya”.

Sebaliknya, manusia tak dapat hidup dalam kasih yang menurun saja. Barang siapa mau menganugerahi kasih, ia sendiri harus dianugerahi. Memang manusia bisa seperti kata Tuhan kepada kita- menjadi sumber, dari mana arus air mengalir, (bdk.Yoh 7:37-38). Namun agar ia menjadi sumber seperti itu, ia sendiri harus selalu minum dari sumber asli- pada Yesus Kristus- dari hatiNya yang terbuka mengalir kasih Allah sendiri (bdk. Yoh. 19:34).

Pada akhirnya, kasih merupakan satu realitas, tetapi dengan pelbagi dimensi- setiap kali hanya satu yang dapat lebih menonjol Namun di mana kedua dimensi sama sekali terpisah, timbullah karikatur atau paling sedikit bentuk kekurangan kasih.
Iman alkitabiah tidak menolak kasih manusiwi (eros) melainkan menerimanya secara utuh, namun ia memurnikan dan membuka dimensi baru. kebaruan iman alkitabiah ini terutama tampak dalam dua butir yang patut dikemukanan; dalam gambaran tentang Allah dan manusia.

3. 2. Kebaruan Iman Alkitabiah

Pertama, gambaran baru tentang Allah. Allah itu satu, Pencipta seluruh realitas, bahwa realitas ini berasal dari kuasa sabdaNya yang menciptakan. Ini berarti ciptaanNya ini dikasihiNya, karena dikehendakiNya sendiri, dibuat” olehNya. Allah ini mengasihi manusia. ia mengasihiNya dan kasihNya ini dapat diesbut eros, yang sekaligus seutuhnya agape. Kasih Allah kepada mansia tempak dalam hubunganNya dengan Israel allah setia terhdap umatNya, meskipun mereka tidak setia. kasih Allah dianugerahkan. Cuma-Cuma dan tanopa jasa sebelumnya, juga kasih itu mengampuni.

Kedua, gambaran tentang manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai laki-laki dan wanita. Keduanya diciptakan Allah untuk saling melengkapi, bukan saling menguasai. manusia menjadi “utuh” hanya dalam kebersamaan pria dan wanita. Itulah sebabnya” pria meninggalkan ibu-bapanya dan bersatu dengan isterinya dan keduanya menjadi satu daging” (kej. 2:24)

4. Yesus Kristus Cinta Allah yang Menjelma Menjadi Manusia

Kasih Allah. Allah yang mengasihi, bukan dengan berkata-kata. Kasih Allah terungkap dlam bertindak. Tindakan Allah sebagai wujud kasihNya mengambil bentuk dramatis dalam hal bahwa Allah dalam Yesus Kristus sendiri mencari “domba yang hilang” umat manusia yang menderita dan hilang. Dalam wafatNya di salib terwujudlah sikap Allah terhadap diriNya sendiri- Ia menganugerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia-kasih dalam bentuk paling radikal. Itulah sebabnya Yoh. menulis “Allah adalah Kasih” ( 1Yoh. 4:8) dan dari situ kini dapat didefisnisikan, apa kasih itu. Kasih: penyerahan diri, penganugerahan diri.

Tindakan penyerahan diri ini oleh Yesus dilestarikan dengan pengadaan Ekaristi pada malam perjamuan malam terakhir. Kristus, dalam ekaristi, melalui roti dan anggur memberikan diriNya, Tubuh dan darahNya kepada manusia. Ia menjadi santapan bagi kita-sebagai kasih. Ekaristi melibatkan kita dalam tindakan penyerahan diri Yesus. kita tidak hanya secara statis menerima Logos (Kristus) yang menjelma, melainkan diikutksertakan dalam dinamika penyerahan diriNya.

Persatuan dengan Kristus sekaligus persatuan dengan semua lainnya, yang dianugerahi diriNya. Aku tidak mempunyai Kristus hanya bagi diriku, aku dapat menjadi milikNya atau mau menjadi milikNya. Komuni mencabut aku dari diriku kepadaNya dan dengan itu sekaligus persatuan dengan semua orang kristiani. Kita menjadi satu tubuh”, eksistensi yang terlebur menjadi satu.

Kasih akan Allah dan akan sesama sunguh menyatu. Allah yang menjadi, manusia menarik kita kita semua kepada dirinya dari situ menjadi jelas bahwa agape kini juga menjadi sebutan untuk Ekaristi. Di dalamnya agape Allah menjeman bagi kita untuk bekerja terus dalam dan melalui kita. Hanya dengan berpangkal pada dasar kristologis-sakramental ini orang dapat memahami dengan benar ajaran Yesus tentang kasih.

4. 1. Kasih akan Allah dan Akan Sesama

Dapatkah kita mengasihi Allah yang tidak kita lihat? Dan dapatkah kasih diperintahkan?. Tak seorangpun pernah melihat Allah-bagaimana kita dapat mengasihiNya. Kasih kepada Allah hanya dimungkinkan dengan mencintai sesama ”barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20). Di sini ditegaskan keterkaitan tak terpisahkan antara kasih akan Allah dan akan sesama. Keduanya merupakan kesatuan sedemikian rupa, sehingga mengatakan mengasihi Allah tetapi menutup mata atau dirinya kepada sesama atau bahkan membencinya menjadi dusta.

4. 2. Kasih Bukan Hanya Soal Perasaan

Perasaan datang dan pergi. Perasaan dapat menjadi pemicu yang dahsyat, tetapi bukan keseluruhan kasih. Kasih yang matang melibatkan semua kekuatan manusia, mengintegrasikan manusia dalam keseluruhannya. Kasih tak pernah selesai dan tuntas, kasih berubah melalui perjalanan hidup, menjadi matang dan justeru karena itu tetap setia pada dirinya sendiri. Kasih membuat orang semakin mirip satu sama lain, yang membawa kepada kebersamaan kehendak dan pemikiran.

Kasih yang diwartakan Kitab Suci berarti bahwa aku mengasihi juga sesamaku yang tidak kusukai atau bahkan tidak kukenal, dengan berpangkal pada Allah. Itu hanya mungkin terjadi berdasarkan pertemuan batin dengan Allah, menjadi persekutuan kehendak dan menjangkau sampai pada perasaan. Maka aku belajar melihat orang lain itu tidak lagi hanya dengan mata dan perasaanku, melainkan dari perspektif Yesus Kristus. SahabatNya adalah sahabatku.

Dengan melihat dengan Kristus, aku dapat memberi kepda orang lain itu lebih daripada hanya hal-hal yang secara lahiriah perlu: pandangan kasih yang dibutuhkannya. Bila sentuhan dengan Allah sama sekali tak ada dalam hatiku, maka dalam orang lain aku hanya dapat melihat orang lain dan tak dapat mengenal gambaran ilahi dalam dirinya. Kasih akan Allah dan akan sesama tak terpisahkan. Keduanya hanya satu perintah. Namun keduanya hidup dari kasih Allah yang menyongsong dan mendahului. maka itu bukan lagi pernitah dari luar, yang memerintahkan sesuatu yang mustahil, melainkan pengalaman kasih dari dalam yang dianugerahkan, yang menurut hakikatnya harus terus memberi. Kasih tumbuh oleh kasih. kasih itu ilahi, karena berasal dari Allah dan menyatukan kita dengan Allah, membuat kita dalam proses penyatuan ini menjadi kita, yang mengatasi perpecahan dan menyatukan kita, sehingga pada akhirnya Allah menajdi semua di dalam semua( 1Kor 15:28).

5. Gereja Sebagai Agen Cinta

Gereja yang diimaksudkan adalah umat beriman, orang-orang yang telah dibaptis dalam nama Kristus. Gereja yang dimaksudkan adalah persekutuan orang-orang-orang yang percaya kepada Kristus, terikat oleh satu iman, satu Pembaptisan. Kepada Gereja ini, diberi tugas oleh kristus untuk melakukan perintah untuk mencinta dan mengasihi. “Hendaklah kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tugas kasih Gereja ini terungkap dalam hakikat Gereja itu sendiri yakni: koinonia, diakonia, leiturgia, martiria. Kepada semua umat beriman diberi keempat tugas gereja yang mengungkapkan karya kasih Gereja. Gereja yang dimaksudkan adalah mencakup semua umat beriman, juga Orang Muda Katolik (OMK).

5. 1. Orang Muda Katolik (OMK): Agen Cinta

Kaum muda, secara khusus orang muda katolik, merupakan harapan Gereja. Masa depan Gereja berada ditangan generasi muda sekarang ini. Namun seringkali kenyataan menunjukkan bahwa kaum muda kurang menunjukkan gairah dalam hidup beriman. Hal ini bisa terjadi karena pertama dari pihak kaum muda yang kurang menyadari perannya dan panggilannya sebagai orang beriman (yakni menyangkut empat tugas Gereja di atas), Kedua, dari pihak Gereja (terutama para pemimpin) yang kurang mengakomodir kaum muda dalam kehidupan menggeraja yang mengakibatkan kaum muda merasa diabaikan, disisihkan dari keterlibatan untuk membangun kehidupan Gereja. Namun di sini kita tidak perlu mempersalahkan pihak mana yang salah dan benar. Sebab saling mempersalahkan bukan solusi. Hal yang paling penting untuk disadari bahwa kedua belah pihak perlu saling membuka diri untuk bekerja sama. Kamu muda diharapkan dengan menemukan kesadaran baru bahwa kasih atau cinta tidak hanya menyangut eros, tetapi menyangkut juga agepe yang dapat diungkapkan dalam keterlibatan dalam kehidupan Gereja, bersama orang lain, sesama, bukan individual, egoistis. Sebaiknya, Gereja perlu menyadari bahwa dalam diri kaum muda, terdapat kekuatan-kekuatan positif yang perlu dirangkul, seperti semangat, idealisme, cita-cita, harapan, untuk memperoleh ruang bagi keterlibatan dalam hidup menggereja sebagai wujud pelaksanakana perintah kasih dari Tuhan yang mengalir dari pengalaman dikasihi oleh Allah.

Gereja perlu memiliki sikap terbuka dan mendengarkan aspirasi kaum muda, tentang apa yang mereka butuhkan untuk dapat bertumbuh dalam kasih dan melibatkan diri dalam tugas-tugas gereja. Sebaliknya, dalam diri kamu muda hendaknya mempunyai keterbukaan untuk menerima (tetapi dengan sikap kritis) dorongan dari pihak Gereja entah melalui himbauan, nasehat, pewartaan untuk terlibat dalam kehidupan menggereja.
Hanya dengan demikian, kaum muda dapat bersama-sama dengan semua umat beriman lain, menjadi agen-agen kasih, penebar cinta di dunia yang semakin diwarnai oleh persaingan, iri hati, kekerasan, kebencian, kecemburuan, dan aneka bentuk kejahatan yang merendahkan martabat manusia, dan merusak tatanan ekologis.

6. Keluarga Sebagai Sekolah Cinta

Keterlibatan dalam kehidupan menggeraja merupakan wujud cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama. Keterlibatan ini merupakan suatu proses belajar untuk menyatu dengan orang lain, untuk mempunyai empati, perhatian, keprihatinan kepada sesama.
Proses belajar ini mestinya berawal dari keluarga, sebab setiap orang lahir dan dibesarkan dalam keluarga tertentu. Di dalam keluarga, seseorang belajar untuk mencintai-mengasihi. Suami mengasihi isteri dan sebaliknya, orangtua mengasihi anak-anak dan juga sebaliknya.

Keluarga merupakan tanda pertama dan paling penting bagi pertumbuhan kasih (cinta). Keluarga merupakan suatu jalan yang biasa bagi semua orang, namun merupakan suatu jalan yang khusus, unik dan tidak pernah dapat diulangi lagi. Keluarga merupakan jalan yang tak dapat ditarik kemabali oleh seorang manusia, dan dapat dikatakan bahwa kenyataan hadirnya seorang individu adalah karean keluarganya. Bila seorang manusia tidak mempunyai keluarga, maka orangterebut akan tumbuh menjadi seornag yang gelisah, sedih dan merasa kehilangan dan ini akan menjadi beban seumur hidupnya. Keluarga merupakan cakrawala keberadaan seseorang, komunitas dasar di mana seluruh jaringan hubungan sosialnya dibangun. Hubungan yang berdasarkan kasih yang tulus mendorong orang untuk bertumbuh secara sehat. Sebaliknya, hubungan yang mengedepankan kekerasan menjauhkan orang dari kasih. Hubungan antara angota keluarga perlu dibangun berdasarkan sikap saling menghormati, peduli, bertanggung jawab satu sama lain, berdialog, saling memberi dan menerima. Untuk menumbuhkan kasih itu, maka perlu mengembangkan kebiasaan untuk berkumpul bersama, berdoa bersama, makan bersama.

Keluarga sebagai persekutuan kasih. Tanpa kasih, persekutuan itu goyah, bahkan berantakkan. Kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak orang bercerai, berselingkuh, kekerasan karena di dalamnya tak ada kasih, tak ada komitmen untuk setia dalam mengasihi. tentu akhirnya diperhadapkan pada soal bagaimana penghayatan hidupnya. Bisa saja karena kesalahan dalam mengartikan dan mamaknai serta menghayati cinta dalam hidupnya. Jika kesalahan itu karena egoisme diri,itulah yang melahirkan fatalisme cinta. Cinta tak boleh dipandang sebelah mata, jika demikian halnya ia akan menjadi boomerang dan bahkan menjadi momok yang menghatui dan hidup tidak akan pernah utuh sesuai dengan sejatinya kodrat cinta itu.

6. Penutup

Cinta itu holistik. Cinta itu make a whole, namun cinta itu membutuhkan komitmen. Komitmen menuntut pengurbanan diri. Kasih ini tak lain adalah pemberian diri yang tulus. Mengasihi berarti memberikan dan menerima sesuatu yang tidak dapat dibeli maupun dijual, tetapi hanya diberikan dengan bebas dan secara timbal balik, bersifat tetap dan tak dapat ditarik kembali. Singkatnya adalah bahwa peradaban kasih hanya dapat dimulai dalam keluarga. Dari keluarga seseorang belajar menjadi agen kasih. Keluarga sekaligus pusat dan jantung dari peradaban kasih.

Congratulation!!!!!!...have a nice valentine’s day...

Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral



Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani
dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral.

Oleh: Kosmas Ambo Patan

1. Pengantar

Dalam tradisi agama semit, pembunuhan dipandang sebagai kejahatan. Kejahatan ini mendapat tekanan secara menonjol. Dalam Kej. 4:1-16, anak manusia pertama membunuh adiknya sendiri. Pembunuhan saudaranya itu adalah kejadian pertama yang diceritakan sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Alkitab, dari perspektif ini melihat realitas kejahatan memiliki keterkaitan erat antara pembunuhan dengan dosa. Bahkan, pembicaraan mengenai relalitas kejahatan semacam ini langsung bersentuhan dengan hati nurani. Lalu bagaimana dengan kasus membunuh diri sendiri?.

Dari sejarah peradaban kehidupan manusia di dunia ini baik peradaban di masa lalu maupun peradaban zaman ini pelbagai kasus bunuh diri dapat kita temui. Tindakan membunuh diri sendiri merupakan fenomena yang sulit digeneralisasikan. Manusia sulit melacak berbagi problema yang dihadapi oleh orang yang membunuh diri. Pandangan dan penilaian terhadap tindakan bunuh diri inipun bermacam-macam. Jika kasus mengkakhiri hidup dengan cara bunuh diri dipandang sebagai sesuatu yang terhormat atau demi kehormatan, maka dari perspektif moral, penilaian seperti apakah yang dapat diberikan?.

2. Kasus Bom Bunuh Diri.

Sebagai contoh, dalam tulisan ini akan digunakan kasus teroris dengan cara bom bunuh diri. Salah satu hal yang menarik dari kasus terorisme dengan menggunakan bom sebagai alat utamanya diatas adalah pemboman itu dibarengi juga dengan pelakunya yang turut meledakkan dirinya bersama-sama dengan bom yang dibawanya. Bom Bali 1, bom JW Mariott, bom Kedubes Australia, dan bom Bali 2 adalah contoh dari bom bunuh diri dimana pelakunya turut meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya (bom Bali 1 dan 2) atau dengan menggunakan mobil (bom Mariott dan Kedubes Australia). Adakah suatu motif khusus yang dialami oleh para pelaku bom bunuh diri itu sehingga nekad untuk melakukan hal tersebut?. Tentunya tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu, karena kesadaran bahwa dirinya ikut mati bersama dengan meledaknya bom tersebut pasti telah melekat di benak pelakunya.

2. 1. Bom Bunuh Diri Perspektif Filsafat Etika: Sebuah Prinsip Umum.

Terorisme bom bunuh diri yaitu kesiapan dan kesediaan untuk membunuh dan terbunuh. Dalam proses melakukan tindakan, terorisme bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan dan kejahatan sekaligus. Di Indonesia, contoh nyata dari terorisme bunuh diri adalah bom Bali 1 dan 2, bom JW Mariott, dan bom Kedubes Australia. Di luar negeri misalnya adalah tragedi Menara WTC New York, dan kasus bom London, dan maraknya bom bunuh diri di beberapa negara di Asia-timur tengah yang mengatasnamakan kelompok atau aliran tertentu. Dari contoh kasus bom bunuh diri yang telah dibeberkan tersebut di atas, dapat dilihat sebagai contoh kasus yang masuk dalam pembunuhan sebagai kejahatan terbesar.

Menyerang orang atau kelompok lain dengan cara mengorbankan diri juga di dalamnya merupakan tindakan yang langsung berseberangan dengan norma dasar terpenting dari kehidupan manusia yakni soal martabatnya. Bukan hanya itu, tetapi juga langsung bersentuhan dengan hakekat harga diri maupun nilai hidup manusia. Serangan terorisme bom bunuh diri melenyapkan martabat diri orang lain (yang diserang) dan martabanya sendiri (pelaku). Sebab manusia tak lepas dari martabatnya yakni hidupnya, karena itu mutlak dihormati. Tindakan terorisme bom bunuh diri dipandang sebagai salah satu realitas kejahatan karena melawan kodrat kehidupan manusia.

2. 2. Bom Bunuh Diri Cara Memperoleh Kehormatan?: Sebuah Prinsip Khusus.

Bunuh diri merupakan perbuatan membunuh diri sendiri dengan berdasar pada otonomitas pribadi yang bersangkutan. Ini berarti bahwa tindakan bunuh diri dilakukan oleh dan atas kehendak sendiri, yakni masuk dalam tindakan rasional pelaku (actus humanus). Inilah yang menjadi dasar tindakan kejahatan manusia yang mengikuti prinsip subjektif, yakni bahwa manusia memikirkan eksistensi mereka sendiri tanpa memikirkan eksistensi orang lain. Jika ditelisik bahwa prinsip objektif dari manusia jauh lebih penting sebab memikirkan dimensi humastis. Inilah sebuah kewajiban yakni prinsip tersebut memikirkan humanistis secara total.

Dalam kaitannya dengan soal moral, pertautan prinsip ini dengan kasus bom bunuh diri, akan muncul pertanyaan sebagaimana juga dilontarkan oleh seorang filsuf Emmanuel Kant: Apakah orang yang memikirkan bunuh diri bertanya pada diri sendiri, apakah perbuatannya bisa cocok dengan ide humanitas sebagai tujuan dalam dirinya sendiri?, agar bisa melepaskan diri dari situasi yang menjadi beban ia menghancurkan diri, ia menggunakan dirinya sebagai alat untuk mempertahankan kondisi yang dapat ditoleransi sampai ke tujuan hidupnya?.

Biasanya, dalam banyak kasus, bunuh diri sering disebabkan oleh perasaan tertekan (perspektif psikologis), menganggap diri tak berguna, putus asa. Manusia jatuh pada ketidakmampuannya mengendalikan diri, manusia terseret kepada disposisi irasional, ia tak mampu lagi berpikir secara jernih. Hal ini dikarenakan ketidaksanggupannya menghadapi realitas kehidupan. Kehidupan secara kasat mata tak lagi berharga. Hati manusia telah tumpul dan tak bisa membedah nilai yang mana yang harus diperjuangkan dan nilai mana yang harus dipertahankan.

Salah satu kesulitan dalam menerangkan terorisme bom bunuh diri adalah masalah dalam mendefinisikan tindakan bunuh diri yang mereka lakukan. Setidaknya ada tiga sumber permasalahan yaitu: pertama, masalah pembedaan antara kesiapan atau kesediaan untuk mati dan mencari kematian, kedua, kesulitan membedakan antara orang-orang yang ingin mati dan orang-orang yang kematiannya diartikan sebagai bunuh diri tetapi sebenarnya ditipu oleh orang-orang yang mengutusnya ketiga, keragaman konteks situasional yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri.

Dalam tradisi Jepang, misalnya, bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mempertahankan kehormatan. Hal ini jelas dipengaruhi oleh sistem kultur yang telah mentradisi secara turun temurun. Lain halnya dengan terorisme bom bunuh diri yang sampai sekarang masih menyimpan ambiguitas perspektif dan cara pemahaman terhadapnya. Terdapat dikotomi paradigma yang belum jelas. Apakah aksi terorisme bom bunuh diri benar dilatarbelakangi oleh otentisitas ajaran agama ataukah langkah yang salah dari penafsiran sebuah keyakinan?.

3. Analisis Moral Kasus Bom Bunuh Diri Dalam Prinsip Actus Humanus.

Keinginan atau cita-cita hidup yang dihayati atau dianut mendorong penganutnya untuk bertindak mewujudkan hal tersebut. Keinginan atau cita-cita tersebut bisa bersifat individu bisa bersifat kolektif. Keinginan itu memaksa manusia untuk bertindak demi mendapatkan sesuatu yang menurutnya bernilai sampai mengorbankan nyawa orang lain dan diri sendiri. Pilihan mendasar hidup manusia (optio fundamentalis), dalam perspektif moral kristiani jelas mengarahkan diri kepada kehendak Sang Pencipta. Allah Sang Khalik merupakan tujuan tertinggi dari tindakan manusia. Karena itu, setiap tindakan manusia merupakan pertanggungjawabannya kepada Allah.

Dalam kasus serangan terorisme bom bunuh diri ini terdapat dua nilai yang bertentangan satu sama lain. Sekaligus bertentangan dengan prinsip optio fundamentalis manusia. Nilai kehidupan yang seharusnya dijunjung tinggi bertentangan dengan nilai kehormatan yang diperjuangkan melalui tindakan bom bunuh diri. Mengapa Manusia berkewajiban memperjuangkan dan mempromosikan nilai kehidupan? Karena kehidupan seringkali diartikan sebagai anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan merupakan sebuah pemberian dan karena itu, kehidupan mengimplikasikan undangan Allah kepada manusia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahiNya. Paus Yohanens Paulus II dalam ensikliknya Evanggelium Vitae menegaskan bahwa sekalipun kehidupan di dunia ini bersifat sementara oleh karena terikat pada ruang dan waktu, kehidupan tetaplah merupakan nilai tertinggi yang dimiliki manusia semasa di dunia ini.

Pada umumnya semua agama monotheisme mengutuk dan tidak memperbolehkan tindakan bunuh diri. Yahudi, misalnya, mengutuk tindakan bunuh diri sampai tidak memperbolehkan pelaku bunuh diri dimakamkan di tempat pemakamam. Filosofi orang Yahudi menetapkan bahwa mempertahankan hidup (piku ‘akh nefesh) menyisihkan semua pertimbangan agama dan sosial dengan tiga pengecualian, yaitu bunuh diri, incest, dan menyembah tuhan palsu. Bunuh diri dilarang dan bahkan lebih baik dibunuh oleh orang lain daripada melakukan dosa itu. Pada agama Kristen, bunuh diri dianggap sebagai dosa besar, karena mendahului kehendak Tuhan atas hidup manusia. Adapun upaya mencermati tindakan bom bunuh diri ini dalam perspektif moral kristiani di bahas sebagai berikut:

3. 1. Syarat “Tahu”
3. 1. 1. Pelaksanaan Perbuatan.

Pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya. Contoh yang paling jelas adalah kasus bom Bali 1 dan 2. Atau dengan menggunakan mobil dalam kasus bom Mariott dan Kedubes Australia di Jakarta. Jadi, secara sadar bahwa si pelaku bom bunuh diri ini memikirkan semua apa akan terjadi.

3. 1. 2. Obyek Tindakan.

Si Pelaku bom bunuh diri, sadar dan tahu tindakannya akan menghilangkan nyawanya sendiri. Tujuan utama serangan bom bunuh diri jelas bukan pertama-tama bermaksud bahwa dengan cara itu ia/mereka membunuh diri, tetapi tujuan utamanya adalah menghabisi nyawa orang lain. Tindakan menghabisi nyawa orang lain memiliki konsekuensi kesadaran bahwa dirinyalah yang pertama menjadi korban dari tindakannya itu. Ketika saatnnya tepat, si pelaku dengan sadar menekan tombol aktivasi Bom. Saat melakukan tindakan menekan tombol aktivasi bom itu juga si pelaku sadar bahwa tindakan inilah yang akan menghabisi nyawanya dan nyawa orang lain yang menjadi sasaran serangannya.

3. 1. 3. Sifat Perbuatan Moral Terorisme Bom Bunuh Diri.

De fakto bahwa dari tindakan si pelaku bom bunuh diri jelas mau menghabisi sasaran. De fakto pula bahwa si pelaku dari sendirinya akan mati dengan tindakannya itu. Dari perspektif ini, si pelaku seakan tidak tahu (Ignorantia facti) kenyataan yang akan terjadi. Berkaitan dengan itu pula bahwa si pelaku seakan tidak tahu hukum (Ignorantia iurir). Bom bunuh diri pilihan tindakan si pelaku karena dari awal pelaku telah bertekad melakukannya, bukan karena ketidaktahuannya akan akibat bom bunuh diri dan norma yang melarang perbuatan itu, tetapi karena tujuan dari tindakannya harus memiliki konsekuensi demikian, demi sebuah kehormatan.

3. 2. Syarat “Mau Secara Bebas”
3. 2. 1. Voluntarium (Kehendak)

Perbuatan si pelaku sepenuhnya dikehendaki, diingini, dikuasai dan disebabkan oleh pelaku sendiri terlepas apakah si pelaku sebagai suruhan atau tidak (terpaksa). Tetapi dalam kasus bom bunuh diri yang dilakukan ini harus sepenuhnya bersumber dari kehendaknya sendiri yakni tahu akibat dan tujuan perbuatannya.

3. 2. 2. Obyek /Sasaran Tindakan
Sasaran utama pembunuhan ialah “warga asing” di Club malam Legian Bali dan warga Australia di Kedubes Australia di Jakarta. Si pelaku Bom bunuh diri bukan tujuan yang bersifat in se, tetapi akibat in se. Meskipun dengan segala kesadaran dan kemauan serta kehendak, siap melakukan tindakan bom bunuh diri dengan cara meledakkannnya di tengah kerumununan warga asing yang pada saat itu menikmati malamnya di Club malam Legian Bali.

3. 2. 3. Deskripsi Keadaan Pelaku Bom Bunuh Diri.

Pelaku bom bunuh diri (Quis) adalah teroris. Obyek (Quis) perbuatan adalah membunuh, mematikan diri sendiri dengan cara meledakkan bom yang diracik sendiri. Pelaku meledakkan bom (Ubi) dari dalam mobil. (bom Mariott dan Kedubes Australia). Pelaku bermaksud (Cur) menghancurkan sasaran dan diri sendiri dengan dengan bom racikan yang diledakkan (Quibus auxillius). Teroris bom bunuh diri ini melakukan (Quomodo) peledakan bom dengan kejam, tak berperikemanusiaan. Serangan (Quando) dilakukan tanpa terdeteksi oleh pihak keamanan, dilancarkan dengan tiba-tiba tanpa diketetahui oleh semua orang yang menjadi sasaran utama kecuali oleh komplotan terorisme dan pelaku bom bunuh diri.

3. 2. 4. Finis Operantis Pelaku Bom Bunuh Diri

Terorisme (si pelaku) bom bunuh diri mengetahui bahwa tindakannya lahir dari kehendak hati nuraninya. Finis operantis bunuh diri dari teroris adalah pembuktian pada kesetiaannya menjalankan perintah ajaran yang dianutnya. Si pelaku ingin bahwa dengan kematiannya yakin bahwa akan mendapat kehormatan , pahala, dan sebagainya. Akibanya adalah bahwa paham yang dianutnya diwujudkan dengan tindakan yang menghantar dirinya kepada kematian mengenaskan bagi sasaran terornya dan dirinya sendiri.

4. Penilaian Moral: Benar Salahnya Tindakan Bom Bunuh Diri

Pertama, Tindakan terorisme bom bunuh diri adalah bentuk perbuatan susila yang salah oleh karena dalam kehendak bebasnya si pelaku memilih melakukan perbuatan yang pada hakikatnya bertentangan dengan norma umum yang diketahui sebelum membunuh melancarkan serangan bomb bunuh diri. Kedua, Bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk yang mutlak harus dikatakan sebagai tindakan moral Voluntarium Direktum. Meskipun Finis operantis-nya baik, yakni demi sebuah nilai kehormatan, tetapi obyek tindakannya tidak bisa dibenarkan karena jelas mematikan dirinya sendiri dan memusnahkan kehidupan orang banyak.

5. Penutup

Dari kasus bom bunuh diri ini, penulis merefleksikan sebuah keprihatinan moral yang nyata dalam kehidupan dunia sekarang ini. Orang kristiani, dituntut untuk mempromosikan sebuah prinsip yang nilainya lebih agung, mulia, sesuai dengan prinsip kebenaran iman. Gereja, dalam peziarahan refleksi moralnya semakin ditantang oleh pelbagai macam tindakan yang mengarah kepada realitas kejahatan (malum), yang seringkali sulit untuk dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Namun di balik itu semua hanya satu nilai yang mesti dijunjung yakni kehidupan. Kehidupan mengandaikan kedamaian, rasa aman, dan sebuah tindakan keberimanan yang benar.


Kepustakaan

Chang, William., Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia, 2005
¬¬¬¬¬¬
________., Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003

Go, Piet., Teologi Moral Fundamental, Malang STFT, 2003

________., Moral Konkret 2; Kehormatan, Kebenaran, Kesetiaan, Malang STFT, 1980
Kant, Immanuel., Dasar-Dasar Metafisika Moral (terj),Yogyakarta: Insight Reference, 2004

Paus Yohanes Paulus II, Evanggelium Vitae, Dok Pen KWI: Jakarta, 1996

Peschke, Karl-Heinze., Etika Kristiani Jilid III; Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003

Kamis, 10 Juni 2010

USAHA MANUSIA MENGGAPAI KEBENARAN; Beriman dengan Rasio, beriman dengan Hati (Menggagas Kemungkinan Filsafat Dualisme Blaise Pascal)

USAHA MANUSIA MENGGAPAI KEBENARAN;
Beriman dengan Rasio, beriman dengan Hati
(Menggagas Kemungkinan Filsafat Dualisme Blaise Pascal)

Oleh: Kosmas Ambo Patan

Pendahuluan

If man is not made for God, how is it that he can be happy only in God? If man is made for God, how is it that he is so opposed to God?

Dalam diri Blaise Pascal terdapat dualisme dalam upayanya menggapai kebenaran. Di satu pihak dia berminat memakai ilmu pengetahuan, di lain pihak dia adalah seorang pembela iman. Dari pandangannya tentang Le Coeur a ses raisons que la raison ne point, (hati memiliki alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh rasio) , seakan ia mau meremehkan rasionalitas manusia. Tetapi sebenarnya Blaise Pascal mau mengatakan bahwa hati dan rasio bukanlah dua hal yang bertentangan dan tidak saling meremehkan satu dengan yang lain.

Dalam upaya pencarian semacam ini, kami mencoba menelusuri pemikiran dualisme Blaise Pascal. Kami memfokuskan perhatian kepada bagaimana usaha manusia mengenal Allah. Banyak cara manusia untuk mencari Allah namun dalam hal ini Pascal menawarkan cara yang mungkin dapat membantu manusia untuk sampai kepadanya. Dalam uraian ini pertama-tama digagas apakah kebenaran yang hendak digapai itu atau siapakah yang menjadi sosok yang menghadirkan kebenaran itu?. Dalam uraian selanjutnya dimunculkan dua cara manusia untuk sampai kepada kebenaran. Bagaimana budi berperan dalam pencarian itu dan bagaimana hati juga berperan untuk sampai kepada kebenaran sejati itu. Dan sebagai epilog dari penelusuran ini akan dimunculkan sebuah kesimpulan, bagaimana konvergensi antara Budi dan Hati sama-sama berperan sebagai sarana untuk sampai kepada keotentikan kebenaran itu sendiri.

Pencarian akan Kebenaran

‘Sang Kebenaran’ yang dimaksud oleh Blaise Pascal ialah Allah. Allahlah Sang Kebenaran sejati. Akal budi manusia tidaklah cukup untuk sampai kepada kebenaran yang sejati itu. Akal budi akan sampai kepada kebenaran sejati jika dibarengi dengan upaya lain yaitu dengan beriman. Beriman dengan menggunakan hati. Menurut Pascal, manusia adalah mahkluk yang senantiasa mencari Allah. Mencari Allah oleh karena manusia membutuhkan Allah dalam hidupnya.

Konsekuensi dari pandangan Pascal tentang manusia yang demikian itu ialah bahwa manusia akhirnya dilihat sebagai mahkluk yang nista sekaligus luhur. Manusia yang nista disebabkan oleh hidupnya yang tanpa Allah atau tak beriman. Akhirnya manusia jatuh dalam kehidupan yang kacau atau keadaan hidup yang serba chaos. Maka. situasi inilah yang akhirnya melatarbelakangi manusia untuk berusaha kembali menelusuri jejak-jejak kebenaran asali hidupnya. Manusia terus senantiasa dengan kapasitas rasionalitasnya mencari jalan mengatasi hidupnya yang telah kacau itu.

Beriman dengan Rasio

Blaise Pascal adalah seorang apologet. Dengan cara itu, Pascal mengajak orang sezamannya untuk menunjukkan kelemahan orang-orang yang skeptis yang tidak mengakui eksistensi Allah. Dalam upayanya itu Pascal menggunakan rasionalitasnya untuk mempertahankan iman dan upayanya ini harus dikatakan sebagai caranya untuk beriman kepada Allah. Ia membela iman dengan kemampuan akal budinya. Argumen rasio yang digunakan oleh Pascal adalah argument Le Pari atau argument pertaruhan. Pembuktian akan eksistensi Allah harus diakui merupakan satu kegiatan berpikir untuk memahami dan mengenal Allah dengan argumentasi yang masuk akal.

Kegiatan akal budi mencerminkan satu cara untuk mengartikulasikan pikiran tentang pengalaman implisit manusia akan Allah. Pembuktian itu bermaksud untuk menawarkan satu pendekatan untuk berdialog dengan semua orang tentang eksistensi Allah. Tujuan dari aktivitas akal budi yaitu untuk memahami bahwa Allah ada. Di samping untuk mempertanggungjawabkan pemahaman itu secara masuk akal dan jelas kepada orang lain bahwa Allah itu ada . Dari kodratnya, manusia senantiasa ingin memperoleh pengetahuan yang benar. Oleh karena itu, ia melakukan suatu tindakan yang hakiki dengan berefleksi. Baik secara sederhana maupun secara ilmiah.

Beriman dengan Hati
Manusia, tidak hanya mengetahui kebenaran dengan rasio tetapi juga dengan hati. Yang dimaksud dengan hati adalah kapasitas lain yang pasti dari manusia selain kapasitas rasio. Lebih lanjut yang dimaksudkan dengan hati pula ialah bukan terbatas pada emosi belaka. Hati adalah inti eksistensi keberimanan manusia. Manusia mengenal kebenaran bukan hanya melalui akal budi, melainkan juga melaui hati . Hati adalah sarana yang sempurna untuk beriman, untuk merasakan Allah. Karena Allah masuk dalam hati . Hati disejajarkan Pascal dengan kehendak atau will yang berkaitan dengan kepercayaan. Bagi manusia yang beriman, bahwa cara untuk mengenali Allah yang diimaninya dituntut agar ia mengenali-Nya dengan hati. Mengenali Allah adalah tujuan disiplin kontemplasi . Iman memang mempertajam penglihatan batin dalam rangka kontemplasi tetapi hatilah yang melengkapinya untuk sampai kepada pengenalan akan Allah.

Kesimpulan

Blaise Pascal membuktikan bahwa untuk mencapai kebenaran yang sejati itu menggunakan dua kapasitas yang ada dalam diri manusia yaitu dengan hati yang memakai pendasaran atau argument rasio. Jadi jelas bahwa tidak ada pertentangan antara rasio dan hati, sebab seperti yang telah diuraikan bahwa hati tidak sebatas pada tataran emosi. Dengan kata lain hati dan rasio sejalan. Hati adalah unsur pemahaman yang dapat menangkap prinsip-prinsip pertama kenyataan secara lain dari rasio. . Untuk beriman, manusia menggunakan hati sedangkan untuk membela iman tak terlepas dari peran rasio. Upaya Blaise Pascal untuk sampai kepada kebenaran, tidak serta merta meremehkan peran akal budi.

Dalam teologi skolastik, Anselmus dari Canterbury bahwa prioritas iman tidak menyaingi usaha pencarian yang khas bagi akal budi. Kenyataannya, akal budi tidak diminta untuk menilai pokok-pokok isi iman. Itupun akal budi tidak mampu karena itu tidak termasuk fungsinya. Fungsinya ialah mencari makna, menemukan penjelasan-penjelasan, yang kiranya memungkinkan siapapun untuk mencapai pengertian tertentu akan pokok-pokok isi iman, Anselmus manggarisbawahi kenyataan, bahwa akal budi harus mencari yang dicintainya; semakin mencintainya, semakin ingin untuk mengertinya. Siapapun yang hidup bagi kebenaran, pada dasarnya ia sedang mencapai bentuk pengertian, yang semakin bernyala karena mencintai yang dikenalinya, sementara harus mengakui bahwa ia belum mencapai yang diinginkannnya.
Maka kebenaran adalah sebuah dambaan. Untuk itu kebenaran sebagai yang didambakan selalu mendorong akal budi untuk maju terus meraihnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa keselarasan yang mendasar antara iman dan pengertian yang bersandar pada rasio memiliki kekuatan. Artinya iman meminta, agar obyek difahami berkat bantuan akal budi. Dan pada puncak usaha pencariannya akal budi mengakui, bahwa tidak mampu berbuat tanpa yang disajikan oleh iman. Maka tampak jelas adanya suatu kerjasama antara peran budi dan peran hati dalam beriman untuk sampai kepada kebenaran sejati.

Refleksi atas uraian Pascal mengenai Rasio dan Hati

Pernyataan Pascal bahwa yang dapat mengetahui Allah secara langsung ialah hati’, ini tidak bermaksud mendewakan peran hati diatas rasio. Dari pandangannya ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kesatuan yang mendalam dan tak terceraikan antara rasio(akal budi) dengan iman (hati). Allah memang bisa difahami dengan hati, tetapi hanya menggunakan iman (hati), belumlah cukup. Karena itu diperlukan rasio yang membantu manusia beriman untuk mengenal Allah yang diimaninya secara lebih mendasar dan mendalam.

Rasio dan hati bukanlah dua realitas ekstrim berbeda satu sama lain dalam menggapai kebenaran sejati, oleh karena itu tidak ada persaingan antara ilmu pengetahuan dengan iman. Dengan ilmu pengetahuan, manusia dapat mencapai tujuan tanpa terhambat jika melalui jiwa yang diarahkan dengan tepat ia mencarinya di dalam cakrawala iman. Oleh karena itu akal budi dan iman tak dapat dipisahkan tanpa mengurangi kecakapan manusia untuk mengenali diri, dunia dan Allah melalui cara yang sungguh sesuai.


KEPUSTAKAAN

Pascal, Blaise, Pensees, London (United Kingdom): Fount Paperbacks HarperCollins Publisher, 1995

Hardiman, F. Budi., Filsafat Modern; dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004

Tjahjadi, Simon Petrus, L, Pertualangan Intelektual; Konfrontasi dengan para Filsuf dari zaman Yunani hingga zaman modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004

Mardiatmaja, B.S, Beriman Dengan Sadar, Yogyakarta: Kanisius bekerjasama dengan Nusa Indah, 1985

Sermada Kelen, Donatus, Filsafat Ketuhanan, Malang: STFT Widya Sasana, 2006

Suharyo, I, Pusat-Pusat Kehidupan; Percikan Inspirasi Untuk Membangun Kehidupan Kristen yang Lebih Kokoh, Yogyakarta: Kanisius, 1992

Yohanes Paulus II, Fides et Ratio, Jakarta: DOKPEN KWI, 1999

Rabu, 09 Juni 2010

Pendidikan: Energi yang Memerdekakan Tinjauan Filsafat Pendidikan

Pendidikan: Energi yang Memerdekakan
Tinjauan Filsafat Pendidikan

Oleh: Kosmas Ambo Patan


I. Pengantar
Peradaban manusia senantiasa berjalan dari situasi singular menuju situasi yang plural, dari ranah yang sederhana menuju ranah yang kompleks. Arus perjalanan peradaban ini tidak pernah melepaskan kiprah manusia di dalamnya. Manusia menjadi bagian dari perjalanan peradaban itu. Berhadapan dengan perjalanan peradaban yang semakin kompleks dan plural ini maka diperlukan pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan yang berorientasi memerdekakan setiap orang dari kungkungan arus peradaban dengan memberi ruang gerak diri yang otonom. Dengan kata lain, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu memberi ketegasan pribadi seseorang dalam menentukan langkah hidupnya demi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara.

II. Makna Pendidikan
Pendidikan memiliki makna yang begitu luas. Dalam bahasa latin, kata educatio yang artinya pendidikan, memiliki dua makna sebagai manifestasi dari akar katanya educare dan educere . Pertama, kata educare berarti melatih, memperlengkapi seseorang dengan ketarampilan tertentu, baik ketrampilan fisik (seperti kemampuan mengendarai mobil) maupun mental (seperti kemampuan berhitung, berlogika dan berbahasa). Dalam konteks ini pendidikan berarti memberikan pengetahuan (ketrampilan) yang menunjang perkembangan intelektualitas dan kreativitas seseorang. Kedua, kata educere berasal dari kata ducere (memimpin, mengantar) dengan awalan ex menjadi educere yang berarti mengantar ke luar, mengangkat atau menghasilkan. Maka pendidikan dalam arti kata ini berarti menumbuh-kembangkan potensi dan kemampuan yang ada di dalam diri seseorang. Melalui pendidikan seseorang dimungkinkan untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.
Berdasarkan kata educatio ini maka pendidikan berarti proses pemenuhan diri dengan pengetahuan dan pengembangan potensi yang ada di dalam diri. Melalui pendidikan seseorang (secara khusus mahasiswa) dibawa kepada posisi profesionalitas sehingga ia dapat/mampu mengatasi hidup yang dijalaninya sebagai ego, sebagai anggota masyarakat sosial pada suatu lingkungan dan sebagai warga yang berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan pandangan educatio di atas, Plato mengungkapkan makna pendidikan dalam kaitannya dengan bakat dan potensi yang ada dalam diri seseorang. Baginya pendidikan adalah suatu bentuk persiapan untuk suatu peran (politik) dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: yang berbakat menjadi pemimpin hendaknya dididik pada tataran yang lebih tinggi.
Berbeda dengan Plato, J. J. Rousseau berpendapat bahwa pendidikan itu bertujuan untuk melindungi budi dari kekeliruan dan hati dari kejahatan yang terbentuk karena adanya relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Makna pendidikan Rousseau ini lebih ditekankan pada nilai moral atau nilai etis. Dengan kata lain, pendidikan membentuk wacana pengetahuan moral dan etika dalam diri seseorang (mahasiswa). Berkaitan dengan ini pula, John Dewey memfokuskan perhatian pada wacana praktis. Menurut Dewey makna pendidikan terbentuk melalui tindakan praktis; belajar dengan berbuat (learning by doing). Hal ini dikarenakan bahan baku atau metoda itu akan berfungsi menggugah pengalaman edukatif pada individu-individu tertentu di saat tertentu.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan itu mencakup seluruh integritas diri manusia, baik pengembangan intelektual dalam konteks IPTEK, maupun pengembangan “hati” dalam konteks nilai moral dan etis.

III: Tujuan Pendidikan: Orientasi Nilai
Pendidikan adalah gerak emansipasi, suatu proses yang menuntun orang untuk menjadi manusia yang merdeka, beradab dan otonom. Kemerdekaan dalam konteks ini adalah realitas yang “multi facets”.
Pertama, kemerdekaaan yang harus diraih oleh manusia adalah kemerdekaan dari tirani alam. Manusia membutuhkan alam demi kelangsungan hidupnya. Kelangkaan alam adalah ancaman yang serius bagi manusia. Di sinilah terletak peran pendidikan akal budi. Tanpa adanya pengembangan intelektual, maka manusia akan menjadi ‘budak’ perubahan alam yang tidak menentu, yang lolos dari kendalinya. Oleh karena itu, tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah membebaskan manusia dari rintangan serta keterbatasan-keterbatasan alam tersebut, dengan jalan menguasai hukum-hukum rahasia yang mengaturnya.
Dalam proses pemerdekaan ini, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi pun dituntut agar tidak hanya memerdekakan manusia dari alam tetapi juga harus memerdekakan alam dari ancaman-ancaman kerusakan, kepunahan, dan kehancurannya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya mengeksploitasi tetapi juga mengkonservasi alam.
Kedua, memerdekakan dirinya dari dominasi orang lain. Inilah tugas pendidikan kemasyarakatan. Setiap manusia dituntun untuk menggenggam nasibnya sendiri dan bukan digenggam oleh orang lain. Maka ia harus melepaskan dirinya dari kungkungan dan dominasi orang lain. Di samping itu, ia pun berkewajiban untuk memerdekakan sesamanya. Artinya, ia bertanggung jawab pula dalam mengangkat martabat dan taraf hidup sesamanya ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, tujuan mulia pendidikan adalah membawa manusia agar memiliki rasa wajib dan tanggung jawab sosial terhadap berjuta-juta rakyat. Dan akan menjadi lebih sempurna dengan memprioritaskan sikap ini kepada masyarakat yang paling “miskin” (option for the poor). Sebab di sanalah jeritan perubahan nasib paling lantang dikumandangkan.
Ketiga, memerdekakan dirinya dari “dirinya sendiri”. Pendidikan dalam ranah ini adalah transfer of values yang berguna untuk membina budi pekerti seseorang yang seringkali menimbulkan gap antara kesadaran dan perbuatan. Dengan demikian, dapat terjadi pemberdayaan pribadi manusia secara utuh dalam menyerap dan mengamalkan nilai-nilai moral.
Ketiga tujuan diatas senantiasa saling berkorelasi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan itu berhubungan erat dengan keseluruhan integritas diri manusia.

IV. Posisi Eksistensi Mahasiswa
Perjalanan peradaban suatu bangsa (dalam hal ini bangsa Indonesia) hendaknya senantiasa terdeteksi oleh mahasiswa. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mampu menuntun bangsa dan negara ini ke arah yang benar, ke haluan yang sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (pembukaan UUD ’45). Cita-cita itu akan terwujud jika aktivitas mahasiswa selaras dengan makna /arti dan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, hal ini bukanlah menjadi beban dan tanggung jawab pada masa yang akan datang (futurum) tetapi sekarang dan di sini (hic et nunc), di lingkungan kampus (Universitas).
Pertama, kemerdekaan terhadap ketergantungan kita pada “alam” dapat kita alihkan dengan realitas kita sebagai mahasiswa. Kita kerap belajar hanya pada saat menjelang ujian/kuis dan menjelang pertandinga/perlombaan tertentu. Selain waktu-waktu tersebut kita tidak belajar. Oleh karena itu, kita harus memerdekakan diri dari ketergantungan itu. Sebab kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup (Non Scholae Sed Vitae Discimus). Kedua, kemerdekaan dari dominasi orang lain. Dalam konteks kampus kita diarahkan untuk bisa menampilkan diri, bahwa kita pun mampu untuk mandiri dan berprestasi, dan bukan hanya berdiri di bawah bayang-bayang orang lain. Untuk itu, ada banyak pilihan di Universitas, baik pendidikan formal maupun non formal. Di sinilah terungkap makna/arti educere. Ketiga, kemerdekaan dari diri sendiri. Sebagai mahasiswa, kita pun dituntut untuk sadar bahwa eksistensi kita tidak terlepas dari orang lain. Kita hidup dalam suatu lembaga pendidikan yang situasi dan kondisinya memungkinkan kita untuk berelasi dengan orang lain. Bersamaan dengan itu nilai moral dan etis pun dikenakan. Misalnya: sopan santun dalam berhubungan dengan orang lain. Singkatnya kita “dipaksa” untuk mengahargai dan menghormati orang lain. Berkaitan dengan ini, makna pendidikan menurut J.J. Rousseau di atas dapat menjadi cerminan.
Konteks pendidikan yang ditawarkan di atas bukanlah semata-mata menjadi pajangan, tetapi harus dilakukan pada saat ini dan di sini (hic et nunc), di lingkungan kampus (Universitas). Sebab sebagai generasi penerus cita-cita bangsa, kita akan mampu membawa bangsa ini apabila kita telah terbiasa untuk itu. Dalam hal ini kita belajar dengan berbuat (learning by doing) seperti yang dikatakan oleh John Dewey di atas. Kita belajar sebagai “anak-anak” bangsa untuk menjadi “pemimpin” bangsa dan negara di masa yang akan datang (children today, leader tomorrow).

V. Penutup
Harapan bagi peningkatan peradaban intelektualitas menunjukkan perkembangan yang signifikan. Oroentasi nilai yang dikejar varians menuju pendidikan yang pluralistik. Kesadaran akan nilai yang diraih menuntun pada suatu nuansa education society, masyarakat berpendidikan. Pendidikan menjadikan manusia yang berkembang terarah secara holistic dalam pelbagai dimensi hidupnya. Tak sedikit problem yang berganti menghantui peradaban ‘kebodohan’. Pendidikan bukan kata baku untuk memerangi kebodohan itu. Namun secara metafisis pendidikan ada bukan untuk dirinya sendiri tetapi hadir sebagai preambule, ibarat bidan yang melayani lahirnya sebuah keindahan, kebaikan, kesatuan dan bagi kehidupan.
Manusia yang pada dasarnya ingin tahu, makhluk intelektual. Memiliki kapasitas akal budi yang mengalit dari kodratnya sebagai ciptaan Allah. Pendidikan menyadarkan manusia secara pribadi sesuai dengan kodratnya yang tercipta menurut akal budi ilahi. Oleh manusia itu sendiri pendidikan kin terarah dan berbasis pembangunan karakter masyarakat. Terdapat kesadaran hakiki manusia yang bahwa pendidikan dapat memerdekakan. Dengan demikian mengantar manusia pada martabat ilahi. Pendidikan yang diharapkan yakni pendidikan yang menuntun pada kesesuain prinsip akal budi ilahi.

Kepustakaan

Dua, Michael., Pendidikan: Antara Otorisasi dan Proses Otonomisasi, Bandung: Melintas No. 30, Desember 1993

Dewey, John., Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis); Kriteria Pengalaman, Diterjemahkan Oleh: Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Rahmat, Agus, OSC., Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Inspirasi dan Tantangan bagi Pendidikan Nasional, Bandung: Melintas No. 14, Agustus 1988

Widodo, Johanes., Panggilan dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Proses Transformasi Kehidupan, Bandung: Melintas No. 27, Desember 1992

Selasa, 08 Juni 2010

KESENIAN MELAYU SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA

KESENIAN MELAYU SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL KEBUDAYAAN NASIONAL INDONESIA

Oleh: Kosmas Ambo Patan

Pendahuluan

Indonesia memiliki Kebudayaan yang sangat beragam berasal dari kebudayaan daerah atau suku-suku yang mendiaminya. Di balik keragaman itu, Indonesia sendiri mengalami kesulitan untuk mengapresiasi merangkul dan memelihara keragaman itu ke dalam komposisi kebudayaan Nasional. Diklaimnya lagu Rasa sayang-sayange dan kesenian tradisional Reog Ponorogo oleh Malaysia seyogyanya membuat Indonesia berefleksi sejauh mana Indonesia telah mengapresiasi, merangkul dan memelihara keragaman kebudayaan daerah dan suku di Indonesia.
Tulisan ini merupakan sebuah ajakan kepada bangsa Indonesia untuk menelusuri kembali rahim ‘ibu Indonesia’ yaitu Melayu. Bahasa Melayu yang dikenal sebagai Lingua Franca telah menjadi bahasa ibu. Melayu memiliki tradisi tulis sebagaimana juga suku bangsa Jawa, Sunda, Aceh, dan beberapa suku lain di Indonesia. Bukti internal bahwa Melayu memiliki tradisi tertulis yakni dengan ditemukannya hikayat Raja-raja Kerajaan Samudera Pasai yang menyatakan bahwa naskah-naskah Melayu sudah ditulis sejak abad ke-14 . Selain budaya tulis, Melayu juga memiliki budaya lisan, dan peradaban seni yang sangat tinggi dan kaya akan nilai. Peradaban seni itu memiliki latar belakang sejarah yang kompleks.

Unsur-unsur seni Melayu itu di dalamnya banyak dipengaruhi Hindu dan sangat menonjol ialah warna dan khas Arab atau Islam . Tak disangkal bahwa warisan-warisan kesusastraan, keagamaan, dan kebudayaan Melayu yang memiliki latarbelakang kompleks itu mendapat tempat yang sentral dalam sejarah Indonesia terutama Indonesia bagian barat . Peradaban seni Melayu telah berkembang dan dikenal bukan saja di wilayah Indonesia barat tetapi juga hampir di seluruh Nusantara ini mengenal kekhasan Melayu.

Dalam tulisan ini dikedepankan latarbelakang historis kultur seni Melayu yang memengaruhi kultur seni Indonesia. Sejauh mana hal itu memengaruhi kebudayaan nasional dalam peradaban kultur seni khas Indonesia. Slogan bahwa kebudayaan daerah begian integral dari kebudayaan nasional merupakan masalah yang mendorong kami untuk menelaah lebih jauh sejarah kebudayaan Melayu dan pengaruhnya bagi kebudayaan nasional Indonesia sebagai keseluruhan. Maka dalam uraian ini kami menggunakan telaah historis atas pengaruh kebudayaan daerah tersebut. Apa pengaruh dan bagaimana kebudayaan dari unsur kesenian Melayu memengaruhi sehingga menjadi bagian integral dari kebudayaan nasional Indonesia.
Sejarah Suku Bangsa Melayu

Melayu merujuk kepada mereka yang bertutur bahasa Melayu . Kata Melayu mungkin berasal dari nama sebuah anak sungai yang bernama Sungai Melayu di hulu Sungai Batang Hari, Sumatera. Di sana letaknya Kerajaan Melayu pada zaman 1500 tahun dahulu sebelum atau semasa adanya Kerajaan Sriwijaya. Secara etomologis, kata "Melayu" itu dikatakan berasal dari bahasa Sankrit yakni "Malaya" yang artinya merujuk pada nama bukit ataupun tanah tinggi. Ada juga sumber sejarah yang mengatakan bahwa kata "Melayu" berasal dari "Sungai Melayu" di Jambi.

Istilah "Melayu" oleh UNESCO pada tahun 1972 ialah sebagai suku bangsa yang mendiami Semenanjung Malaysia, Thailand, Indonesia, Filipina dan Madagaskar. Istilah "Melayu" merujuk pada nama bangsa atau bahasa adalah suatu perkembangan yang agak baru dalam sejarah, yaitu setelah adanya Kesultanan Melayu Malaka. Hingga abad ke-17 penggunaan istilah "Melayu" yang merujuk kepada bangsa semakin digunakan secara meluas. Sebelumnya, istilah "Melayu" hanya merujuk kepada keturunan raja Melayu dari Sumatera saja.
Sumber lain menggagas bahwa penggunaan istilah "Melayu" muncul pertama pada kira-kira 100-150 Masehi dalam karya Ptolemy, Geographike Sintaxis, yang menggunakan istilah "maleu-kolon". G. E. Gerini menganggap istilah itu berasal dari kata Sankrit yaitu malayakom atau malaikurram, yang merujuk kepada Tanjung kuantan di Semenanjung Malaysia. Sebaliknya, Roland Bradell menganggap tempat itu merujuk pada Tanjung Penyabung. Istilah Malaya dvipa muncul dalam kitab Purana, sebuah kitab Hindu purba, yang ditulis sebelum zaman Gautama Budha. Dvipa bermaksud "tanah yang dikelilingi air" dan berdasarkan maklumat-maklumat yang lain dalam kitab itu, para pengkaji beranggapan bahwa Malaya dvipa ialah Pulau Sumatera. Istilah "Mo-lo-yu" juga dicatat dalam buku catatan perjalanan pengembara Cina sekitar tahun 644-645 Masehi zaman Dinasti Tang. Para ahli berpendapat bahwa perkataan "Mo-lo-yo" yang dimaksudkan itu ialah kerajaan yang terletak di Jambi, Sumatera serta Sriwijaya yang di Palembang.
Asal usul bangsa Melayu merupakan sesuatu yang sulit ditentukan. Walaupun terdapat beberapa kajian dilakukan untuk menjelaskan soal ini, tetapi belum ada kesepakan diantara para ahli. Terdapat dua teori mengenai asal-usul bangsa Melayu yaitu: Bangsa Melayu berasal dari Yunnan (Teori Yunnan), bangsa Melayu berasal dari Nusantara (Teori Nusantara).

Teori Yunnan, Teori ini dudukung oleh beberapa ahli seperti R.H Geldern, J.H.C Kern, J.R Foster, J.R Logen. Secara keseluruhan, alasan-alasan yang mendukung teori ini sebagai berikut:
1. Kapak tua yang mirip kapak tua di Asia tengah ditemui di kepulauan Melayu. Hal ini menunjukkan adanya migrasi penduduk dari Asia tengah ke kepulauan Melayu.
2. Adat resam bangsa Melayu mirip dengan suku Naga di daerah Assam
3. Bahasa Melayu serumpun dengan bahasa di Kamboja. Penduduk di Kamboja mungkin berasal dari dataran Yunnan dengan menyusuri Sungai Mekong. Perhubungan bangsa Melayu dengan bangsa Kamboja menandakan pertaliannya dengan dataran Yunan.
Berdasarkan Teori ini, dikatakan bahwa bangsa Melayu datang dari Yunnan ke Kepulauan Melayu dalam tiga gelombang yang utama, ditandai dengan perpindahan Orang Negrito, Melayu Proto, dan juga Melayu Deutro. Orang Negrito merupakan penduduk paling awal di Kepulauan Melayu. Mereka diperkirakan ada sejak 1000 SM berdasarkan penelitian arkeologi di Gua Cha, Kelantan. Dari orang Negrito telah diturunkan orang Semang yang mempunyai ciri-ciri fisik berkulit gelap, berambut kerinting, bermata bundar, berhidung lebar, berbibir penuh, serta ukuran badan yang pendek. Perpindahan orang Melayu Proto ke Kepulauan Melayu diperkirakan berlaku pada 2.500 SM. Mereka mempunyai peradaban yang lebih maju dari orang Negrito, ditandai dengan budaya agraris.Terdapat satu lagi persamaan antara Melayu Proto yang mana dikenal sebagai Melayu Negosiddek, kebanyakan terdapat di sebuah pulau yang dikenal sebagai pinang. Melayu Negosiddek mahir dalam bidang kelautan tetapi tidak. Melayu Deutro, Perpindahan orang Melayu Deutro merupakan gelombang perpindahan orang Melayu kuno yang kedua, berlaku pada 1.500 SM. Mereka merupakan manusia yang hidup di pantai. Tanda-tanda kemajuan Melayu di bidang bahasa, sastra, seni terkait dengan ramainya perniagaan dan budaya maritim .

Teori Nusantara, Teori ini didukung oleh para ahli seperti J.Crawfurd, K. Himly, Sutan Takdir Alisjahbana dan Gorys Keraf. Alasan-alasan yang mendukung teori ini adalah berikut:
1. Bangsa Melayu dan bangsa Jawa memiliki peradaban yang tinggi di abad ke-19. Tahap ini hanya dapat dicapai setelah perkembangan budaya yang lama. Problemnya menunjukkan bahwa orang Melayu tidak berasal dari mana-mana, tetapi berasal dan berkembang di Nusantara.
2. K. Himly tidak setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa Bahasa Melayu serumpun dengan Bahasa di Kamboja. Menurutnya, persamaan bahasa tidak menjamin rumpun bahasa sama.
3. Manusia kuno Homo Soloinensis dan Homo Wajakensis terdapat di Pulau Jawa. Penemuan manusia kuno di Pulau Jawa menunjukkan kemungkinan orang Melayu keturunan manusia kuno tersebut yakni berasal dari Jawa.
4. Bahasa di Nusantara (Bahasa Austronesia) mempunyai perbedaan yang kentara dengan bahasa di Asia tengah (bahasa Indo-Eropa).
Corak Kultur Seni Melayu

Kesenian Melayu dikelompokkan dalam tiga jenis yakni; Seni Suara, Seni Gerak, Seni Rupa . Seni sebagai karya (sastra, lukisan, musik,) diciptakan dengan bakat. Seni yang dimaksud merujuk pada perihal yang berkaitan langsung dengan keindahan. Kesenian yang dimaksud ialah kesenian yang menjadi pilar kebudayaan masyarakat Melayu secara turun temurun. Dengan adanya kesenian, identitas masyarakat Melayu semakin dikenal oleh bangsa Melayu sendiri dan bangsa lain baik di Nusantara ini maupun di seantero dunia ini. Masalah pengidentifikasian karya sastra Melayu juga tak lepas dari unsur keragamannya. Salah satunya sastra Melayu dipengaruhi oleh sastra Cina . Dari keragaman pengaruh itu identitas keaslian Melayu tak pernah tenggelam bahkan merupakan prospek internalisasi untuk memantapkan kebudayaan masyarakat Melayu.

1. SENI SUARA

1. 1 Seni Vokal
Dalam masyarakat Melayu terdapat seni vokal tanpa musik dan seni vokal yang bergabung dengan musik. Seni Vokal tanpa musik yang sering dinyanyikan dalam masyarakat Melayu ialah :
Endoi atau dendang Siti Fatimah dan ulit anak.
Biasanya dilagukan dalam upacara bernuansa keislaman seperti menyambut kelahiran anak atau upacara bercukur kepala. Nazam atau naban. Berasal dari Pahang dan Malaka. Dikarang dalam Bahasa Melayu yang mengisahkan riwayat Nabi Muhamad dan para sahabat Rasul. Marhaban, nasyid dan qasidah. Merupakan nyanyian religius. Marhaban ialah pujian kepada Nabi Muhamad dan dinyanyikan dalam Bahasa Arab. Nasyid ialah nyanyian berbentuk dakwah Islam yaitu terdapat dalam seni kata Arab dan Melayu. Qasidah biasanya dinyanyikan dalam bahasa Arab yang mengandung puisi memuji Nabi Muhamad dan para sahabatnya.

Adapun lagu-lagu yang diiringi dengan musik ialah Dikir. Dikir dikenal dengan pelbagai nama seperti dikir maulud, dikir Pahang, dikir Rebana dan dikir berarak. Dikir-dikir ini dilagukan dengan iringan pukulan rebana atau kompang. Hadrah, Sejenis nyanyian yang berasal dari dzikir. Dinyanyikan dengan iringan alat musik rebana. Beduan, Nyanyian rakyat diringi dengan bunyi-bunyian gendang. Beduan mempunyai persamaan dengan bentuk dzikir dan burdah yang diiringi dengan pukulan rebana. Dzikir barat, Nyanyian yang diiringi dengan pukulan rebana. Ghazal, Sejenis puisi Arab yang berbentuk percintaan. Ghazal dinyanyikan dengan iringan alat seperti syeringgi, sitar, harmonium dan tabla.

Ciri khas yang menonjol dari gaya tarik suara Melayu adalah Cengkok Melayu. Dalam lagu Laksamana Raja di Laut, hampir semua lirik dan diakhir bait di bercengkokkan Melayu. Ciri khas cengkok Melayu ini dalam tradisi musik Indonesia telah dipadukan dengan Pop Indonesia modern sehingga mengalami pergeseran paradigma cara menyanyikanya. Sedangkan seni vokal tradisional dengan iringan Tabla telah menjadi Dangdut seperti yang dikenal di Indonesia saat ini.

1. 2 Seni Musik
Musik didefinisikan sebagai gubahan bunyi yang menghasilkan bentuk dan irama yang indah dan menyenangkan. Musik dilihat sebagai reaksi manusia terhadap bunyi-bunyian disekitar yang sudah sudah dialami sejak manusia dilahirkan. Musik sebenarnya tidak hanya dapat dilihat dan dinikmati dengan pancaindera, tetapi dirasai dengan hati.
Dalam masyarakat Melayu terdapat dua kelompok masyarakat yaitu Tradisi tinggi (great tradition) dan Tradisi rendah (little tardition), yaitu: Musik Tradisi Warisan Istana. Kumpulan masyarakat tradisi tinggi terdiri dari golongan bangsawan yaitu golongan pemerintah yang menjadikan istana sebagai pusat kebudayaan. Raja-raja menabuhkan alat musik di istana. Musik ini dimainkan dalam upacara kematian raja dan upacara mengadap oleh para pembesar di hadapan balairung.
Tradisi Musik Rakyat, di samping tradisi tinggi yang berpusat di istana, terdapat pula tradisi rendah di kalangan rakyat biasa yakni dari kaum petani dan nelayan. Perkembangan seni musik pada masyarakat tradisi rendah lahir dari minat anggota masyarakat itu sendiri untuk mengembangkannya. Sebagian dari mereka mewarisi keahlian bermain alat-alat musik itu dari keluarganya. Rebana merupakan sejenis alat musik yang berkembang dalam masyarakat Melayu tradisional. Rebana dimainkan dalam acara keislaman seperti dzikir, ratib, nazam, hadrah, rodat, maulut dan lain-lain.

2. SENI TARI

Seorang ahli sejarah tarian dan musik berkebangsaan Jerman bernama C. Sachs mendefinisikan seni tari sebagai gerakan yang berirama. Seni tari adalah pengucapan jiwa manusia melalui gerak berirama yang indah. Dalam kebudayaan Melayu terdapat berbagai jenis tarian. Ada tarian asli ataupun tarian yang telah dipengaruhi oleh unsur kemodernan. Pembagian terhadap seni tari Melayu adalah seperti berikut :
1. Tari– tarian yang khas istana dipersembahkan pada waktu perkawinan, termasuk juga tarian siti payung , mak inang , asyik , gamelan.
2. Tari– tarian yang memperlihatkan pengaruh Arab dan Parsi seperti tarian rodat , hadrah.
3. Tarian rakyat seperti dondang sayang , ronggeng , joget .
4. Tarian yang khusus ditarikan oleh lelaki saja seperti tarian kuda kepang , tarian labi – labi , tarian berdayung.

Tarian Asli, Tarian ini dicipta berdasarkan lagu Melayu asli dengan mengikuti irama lagu Melayu asli. Seni tari jenis ini ialah tarian yang dicipta dari lagu Makan Sirih , Gunung Banang , Sapu Tangan , Asli Selendang , Bentan , Telani , Asli Abadi. Tarian Asyik, sejenis tarian klasik Melayu. “Asyik” berarti “kekasih”. Tarian ini dimulai dengan sepuluh orang penari masuk ke dewan tarian terlebih dahulu, lalu duduk bersimpuh dengan tertib. Kemudian tampillah Puteri Asyik dan mereka pun mulai menari. Tarian ini ditarikan dalam upacara perkawinan. Alat musik yang digunakan ialah rebab , gambang dan gedombak. Tarian Ayam Didik, Tarian ini berasal dari gerakan adu ayam, diiringi dengan nyanyian lagu ayam didik.
Tarian Balai, Tarian ini ditarikan oleh gadis-gadis kampung dalam bentuk simbolik seperti melakukan pekerjaan sawah. Para penari menari mengelilingi balai, sejenis payung panjang berwarna-warni yang diletakan di bawah gelanggang. Canggung, Kata canggung berasal dari bahasa Thai yang berarti menari, Tarian Siti Wau Bulan, Tarian ini ditarikan pada musim menuai dan permainan wau. Tarian Cinta Sayang, Tarian yang menggambarkan keluarga nelayan. Tarian ini menunjukan bagaimana keluarga nelayan mengucapkan selamat jalan kepada para nelayan sebelum turun ke laut. Tarian Dabus, Tarian ini berasal dari negeri Perak dan mengandung unsur keagamaan yang berkait dengan kepahlawanan. Tarian Gambus, Tarian ini berasal dari daerah Kuala Kangsar Perak dan bernuansa padang pasir (Arab). Tarian Inai, Tarian ini adalah tarian istana untuk mengiringi ritus khitatan anak pembesar istana. Hanya dipersembahkan kepada kanak-kanak saat mereka hendak disunat. Joget, Tarian ini dipengaruhi oleh kebudayaan Portugis dan dijadikan sebagai tarian sosial. Tarian Kuda Kepang, Tarian ini ialah warisan budaya Jawa yang memiliki unsur Islam. Ciri kejawaan itu jelas pada pakaian penari-penari dan unsur Islam jelas pada tarian yang mengisahkan peperangan Muhamad. Tarian Mak Inang, Pada zaman kesultanan Melayu Malaka, tarian mak inang sangat populer terutama pada pesta nikah. Tarian Zapin. Tarian ini diiringi dengan alat musik seperti dabus dan marwas. Pakaian yang digunakan ialah busana Melayu.

3. SENI RUPA
Seni rupa dalam masyarakat Melayu merupakan ciptaan yang megandung unsur-unsur seni yang dihasilkan oleh orang Melayu melalui ukiran, anyaman, tenunan dan sebagainya.
 Seni Ukir, Seni ukir dalam masyarakat Melayu mempunyai hubungan erat dengan hasil kerja tangan yang dicipta lewat kepiawaian mengukir. Ciri-ciri ukiran itu dihasilkan melalui ukiran timbul dan ukiran tenggelam.
 Seni Tembikar, Merupakan sejenis hasil karya orang Melayu terbuat dari tanah liat yang dibakar.
 Seni Anyam, Menganyam merupakan proses menjalin jaluran daun, lidi, rotan, akar, buluh dan beberapa jenis tumbuhan yang lain. Seni menganyam menghasilkan topi, tudung saji, bakul dan tikar.
 Seni Tenun, Tenunan songket merupakan tenunan yang paling lengkap dan indah.
 Seni Batik, merupakan seni tekstil yang dihasilkan melalui proses menerapkan lilin dan mencelup kain. Pada permulaannya kain putih yang hendak diproses menjadi kain batik itu direbus dan dikeringkan. Kemudian kain batik itu diterapkan dengan blok tembaga yang dicelupkan ke dalam lilin cair yang dipanaskan. Setelah itu diwarnai dan direbus lalu dikeringkan.
 Seni Tembaga, Seni ini diperkenalkan dengan tujuan menciptakan alat-alat dari tembaga yang indah. Alat-alat yang dibuat dari tembaga ini digunakan dalam upacara adat khususnya di istana raja-raja Melayu untuk upacara perkawinan, juga digunakan sebagi hiasan dan perkakas atau perabot rumah tangga seperti dulang, wadah sirih-pinang.

Pengaruh Seni Sastra dan Seni Musik dalam Seni Sastra dan Seni Musik Indonesia

Sastra Pantun Melayu

Dalam sejarahnya, kesusastraan Indonesia mengalami zaman suram. Salah satu yang melatarbelakangi kesuraman itu ialah adanya konflik ideologis zaman kependudukan Kolonial. Namun suasana kehidupan sosial-politik-budaya seperti itu mendorong seniman muda Indonesia saat itu untuk menggiatkan bidang kesenian dan kesusastraan sebagai wujud partisipasi dalam rangka membangun kebudayaan nasional Indonesia . Seiring dengan upaya membangun kebudayaan Nasional itu, bangkit pula pantun sebagai seni sastra yang pernah mengalami masa keemasan.
Pantun dan jenis sastra yang lain yaitu Syair dan Gurimdam merupakan hasil karya sastra berbentuk puisi. Dalam kehidupan masyarakat Melayu pantun sangat digemari. Pantun Melayu merupakan gaya sastra yang paling tua dan kaya dalam peradaban seni sastra Melayu. Dalam sejarahnya, pantun memiliki jenisnya . Secara garis besar dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: 1). Pantun Anak-anak, 2). Pantun Orang Muda, 3). Pantun Orang Tua.
Contoh pantun dalam konteks anak muda misalnya:

Api-api unggunan kandis
Tumpah damar di kulit tengar
Laki-laki mulutnya manis
Jika bersumpah jangan didengar.

Musik Gaya Melayu

Pengaruh kebudayaan asing sangat kuat di daerah yang berbasis Melayu seperti di wilayah Indonesia yakni daerah Riau. Pengaruh itu berasal dari Belanda, Portugis, Inggris, dan Cina. Mengakhiri abad ke-19, kebudayaan yang sangat besar pengaruhnya ialah Arab, India, dan Cina. Sedangkan Inggris dan Belanda tidak besar pengaruhnya. Kecuali pengaruh yang tampak dalambidang seni, yaitu kontruksi bangunan serta alat dan gaya musik. Pengaruh itu telah berpadu dengan seni keaslian Melayu. Biola dan gaya pop barat dipadukan dengan gambus untuk mengiringi tarian Zapin . Perpaduan itu menjadi musik gaya Melayu. Awalnya istilah ini dipakai untuk menunjukkan kekhasan gaya musik Melayu. Juga ciri khas atau sifat lagu yang menonjol ialah pentatonis dengan iringan alat musik Tabla dari India.
Dalam perkembangan selanjutnya gaya musik ini dipopulerkan oleh Melayu yang dikenal sekarang dengan musik Dangdut. Dengan adanya O.M (Orkes Melayu), maka sampai sekarang musik Dangdut terutama di Indonesia diklaim sebagai gaya musik yang berasal dari Melayu . Meskipun Musik Dangdut merupakan kekhasan Melayu, yang sejatinya hanyalah instrumen atau perpaduan gendang Tabla secara sederhana, Dangdut telah membawa warna baru dalam tradisi seni musik Indonesia. Hal ini tak terlepas dari pengaruh dinamika peradaban seni Melayu itu sendiri. Musik Dangdut dewasa ini merupakan fenomena yang patut dibanggakan dan pantas untuk diapresiasi sebagai salah satu kekayaan dalam bursa musik Tanah Air.

Penutup

Kekayaan kultur seni Melayu merupakan mutiara bagi kebudayaan nasional Indonesia. Diterimanya bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia merupakan angin segar di awal abad ke -20. Bukan saja perannya segai Lingua Franca tetapi juga sebagai bahasa yang memersatukan . Meskipun kesadaran nasional itu lahir dari bahasa, kultur seni juga diharapkan menjadi aspek yang perlu mendapat tempat untuk diapresiasi, dirangkul dan dipelihara.
Pengintegrasian kultur seni daerah menjadi bagian holistik dari kebudayaan nasional tampak mengalami kesulitan, oleh karena semakin beragamnya kebudayaan daerah. Jika keragaman kultur seni itu teridentifikasi dan mendapat tempat dalam bursa kebudayaan nasional, akan memerkaya khasanah budaya Indonesia. Pengidentifikasian penting karena kebudayaan daerah menyimpan makna dan nilai yang amat tinggi bagi Masyarakat Indonesia sendiri. Masih banyak kebudayaan seni daerah terutama dari kalangan Melayu yang masih merupakan prospek. Ini merupakan pekerjaan rumah yang tak mudah. Mengandaikan kesadaran bersama untuk mengembangkan dan mengatur, menjadikannya sebagai bagian holistik dari kebudayaan nasional Indonesia.


KEPUSTAKAAN

Edy Sedyawaty., Budaya Indonesia; Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006,

James T. Collins., Bahasa Melayu Bahasa Dunia; Sejarah Singkat, Jakarta: Obor, 2005

Balai Pustaka (Red)., Pantun Melayu, Jakarta: Balai Pustaka, 2005

Pusat Bahasa (Red)., Sejarah Melayu Sebagai Karya Sastra dan Karya Sejarah; Sebuah Analogi, Jakarta, DEPDIKBUD, 2005

Sarwadi, H., Sejarah Sastra Indonesia Modern, Yogyakarta: Gamamedia, 2004

Sumardjo, Jacob., Kesusastraan Melayu Rendah; Masa Awal, Yogyakarta: Galang Press, 2004

Indonesian Heritage, vol. X., Bahasa dan Sastra; Tradisi Tulis Melayu, Grolier International, Jakarta: Buku Antar Bangsa, 2002

Mahayana, Maman. S., Akar Melayu; Sistem Sastra dan Konflik Ideologi di Indonesia dan Malaysia, Magelang: Indonesiatera, 2001

Ahmad Tohari, Zawawi D. Imron, Faruk, dkk., Sastra dan Budaya Islam Nusantara; Dialektika Antarsistem Nilai,Yogyakarta: SMF Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1998

Tim Redaksi., Ensiklopedi Musik, Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1992

A. Sugiarto, S. Kar, Sudi Yatmana, dkk., Sekilas Perkembangan Seni Tari di Indonesia; Untuk Umum, Semarang: Aneka Ilmu, 1990

Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Red)., Sastra Lisan Melayu Langkat, Jakarta DEPDIKBUD, 1986

Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah (Red)., Sejarah Daerah Riau, Jakarta: DEPDIKBUD, 1978

Saida, Dahlan (ET ALL)., Kedudukan dan Fungsi Bahasa Melayu Riau, Jakarta: t.p, t.t.t