Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Jumat, 08 April 2011

GAWAI RAA : IDENTITAS KULTURAL DAN SELEBRASI KESELAMATAN


GAWAI RAA : IDENTITAS KULTURAL DAN SELEBRASI KESELAMATAN

3. 1. Pengantar
Bagian ini membahas gagasan-gagasan penting dari upacara Gawai raa sebagai ungkapan religiositas orang Taman. Penulis akan mendeskripsikan arti dan makna dari setiap rangkaian acara dalam upacara adat Gawai raa. Kemudian mendeskripsikan upacara ini sebagai identitas kultural serta sebagai upacara keselamatan dalam tradisi religiositas orang Taman. Adapun pokok-pokok yang akan diuraikan meliputi: pertama, pengertian dan tujuan dilaksanakannya Gawai raa; kedua, prosesi pelaksanaan Gawai raa, ketiga, Gawai raa sebagai identitas kultural dan upacara keselamatan.

3. 2. Pengertian dan Tujuan
3. 2. 1. Pengertian
Gawai diturunkan dari kata “gawa” yang artinya pesta. Secara etimologis kata ‘gawa’ di kalangan orang Daya sulit ditelusuri. Oleh karena masing-masing subsuku Daya dari sendirinya mengerti bahwa kata ‘gawa’ yang akhirnya menjadi kata ‘gawai’ adalah upacara pesta adat, yakni pesta adat syukur atas panen. Orang Taman menggunakan kata ini dalam konteks pesta yang umum dilakukan seperti pesta adat perkawinan, adat kematian, namun tidak secara eksplisit merujuk kepada pesta syukur atas panen seperti pada subsuku Daya tertentu.
Dalam tradisi Daya Tamanbaloh misalnya, Gawai identik dengan pesta syukuran panen atau pesta pamole’ beo. Pesta pamole’ beo’ merupakan aktivitas pesta makan dan minum, bersukacita atas usainya masa panen padi. Jadi pada dasarnya Gawai dalam konteks adat suku Daya Tamanbaloh diselenggarakan untuk mensyukuri hasil panen padi terlepas apakah ladang atau yang disebut “huma” menghasilkan penenan yang memuaskan atau tidak.
Gawai dalam tradisi Daya Taman bukanlah hari raya syukur atas panen padi, melainkan pesta adat yang diselenggarakan untuk mensyukuri pengalaman diselamatkan dan memohon keselamatan dan itu tak terlepas dari peranan leluhur. Pengertiannya yang demikian lebih luas dan mendasar karena menyentuh dimensi utama dari kehidupan manusia yaitu keselamatan. Dalam upacara pesta adat Gawai raa ini terdapat bagian-bagian yang dilakukan dalam rangka keselamatan itu. Gawai raa juga adalah sebuah upacara rekonsiliasi kosmik, sebab dalam upacara ini terdapat maksud yang penting yakni dalam rangka berdamai dengan alam semesta atau mengharmoniskan relasi antara alam semesta dengan manusia.

3. 2. 2. Tujuan
Tujuan diadakannya upacara Gawai raa ialah untuk menghormati para leluhur. suku Daya Taman, sejak zaman dahulu telah memiliki peradaban dan kebudayaan serta adat istiadat yang tertata dengan baik. Dalam kehidupan sehari- hari, relasi dengan Sang Pencipta dan hubungan antara arwah para leluhur selalu dijaga keserasian dan keharmonisannya. Masyarakat Daya Taman meyakini bila mana keharmonisan relasi ini terganggu karena ulah manusia, maka akan terjadi malapetaka sebagai konsekuensi dari perbuatannya.
Seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelummya, sudah sejak dahulu kala nenek moyang suku Daya Taman mengenal dan meyakini adanya suatu kekuatan yang melampaui dan yang menguasai serta menciptakan alam semesta ini. Menurut keyakinan nenek moyang masyarakat Daya Taman, manusia diciptakan oleh Sang Pencipta yang disebut Alaatala melalui Piang Sampulo dan Bai’ Kunyanyi’ untuk diturunkan dan dijadikan penghuni dunia ini.
Agar manusia bisa hidup secara harmonis dan tenteram damai sejahtera serta mendapatkan rezeki yang layak, manusia perlu menjaga keserasian alam semesta. Oleh karena itu manusia perlu menghormati dan menghargai penguasa alam atau Sang Pencipta. Demikian pula agar anak cucu yang hidup sekarang dapat memperoleh hidup yang aman tenteram serta kesejahteraan hidup dan untuk intensi yang sama pula, perlu sikap penghormatan dan penghargaan kepada para leluhur.
Alasannya karena leluhur yang telah meninggal itu diyakini telah dekat dan bersatu dengan Alaatala. Leluhur pernah hidup di dunia ini di antara anak cucunya dengan demikian pasti mengenal situasi hidup anak cucunya. Maka atas dasar itu leluhur berperan sebagai pengantara antara Alaatala dan anak cucu. Dari mana para leluhur mengetahui bahwa mereka dihormati dan dihargai oleh anak cucu yang masih hidup?. Mereka mengetahui itu dari darah hewan kurban dalam upacara Gawai raa ini. Agar para leluhur menjalankan peran kepengantaraannya dengan baik, perlu penghormatan dan penghargaan kepada mereka. Penghormatan dan penghargaan dalam kehidupan religius orang Taman diwujudkan dalam upacara Gawai raa.

3. 3. Jenis-jenis Upacara Gawai
Tradisi Gawai dalam kebudayaan asli Daya Taman sangat beragam. Upacara Gawai memiliki masing-masing kegiatannya. Inilah yang menjadikan upacara Gawai itu memiliki jenisnya masing-masing. Secara garis besar jenis-jenis upacara Gawai digolongkan sebagai berikut: Gawai Mulambu, Gawai Mimber Kulambu, Gawai Mamandung, Gawai Manampunnang Ulu, Gawai Mamasi Soo, dan Gawai Raa.

3. 3. 1. Mulambu
Mulambu adalah upacara Gawai yang dilakukan untuk membuat atau merenovasi kuburan nenek moyang. Dalam upacara tradisional ini, gawai mulambu adalah kegiatan yang sangat hakiki, sebab diyakini sebagai bagian dari ritual Gawai yang bertujuan untuk membuat para nenek moyang senang. Maka dalam bagian ini sanak saudara yang mengadakan pesta Gawai memberi sesajian atau makanan untuk para leluhur yang diantar ke kuburan atau dalam bahasa Taman disebut Kulambu.

3. 3. 2. Mimber Kulambu
Mimber kulambu artinya menebas kuburan atau membersihkan kuburan nenek moyang. Menebas atau membersihkan kuburan nenek moyang dilakukan oleh anak cucu atau kaum kerabat dari anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Menebas atau membersihkan kuburan juga dilakukan oleh kaum keluarga yang menyelenggarakan Gawai tersebut. Mimber kulambu dilakukan sebagai rangkaian dari tujuan diadakannya Gawai tersebut.

3. 3. 3. Mamandung
Secara harafiah kata ‘mamandung’ berarti menjadikan atau mengerjakan kandang hewan kurban. Mamandung adalah upacara Gawai yang khas dan istimewa dari Gawai yang lain. Dalam upacara Gawai mamandung ini disediakan hewan kurban seperti kerbau atau sapi dalam sebuah kandang kurban yang disebut Pandung. Hewan ini akan dibunuh saat hari jadi dengan cara ditombak, lazimnya dilakukan oleh orang yang ijului atau ibalas.
3. 3. 4. Manampunang Ulu
Manampunang Ulu artinya menanam tengkorak (kepala manusia). Upacara gawai manampunang Ulu ini diadakan sebagai ungkapan rasa duka yang mendalam karena istri atau suami atau ibu atau bapak yang sangat dicinta telah meninggal dunia. Gawai Manampunang Ulu dewasa ini nyaris tidak pernah lagi dilakukan.

3. 3. 5. Mamasi Soo
Mamasi soo artinya peresmian berdirinya Rumah Betang sebagai tempat tinggal orang Daya Taman. Biasanya upacara Gawai Mamasi Soo dilakukan jika setiap kepala keluarga sudah merampungkan biliknya atau Paanik. Sebagai wujud syukur atas rampungnya Soo Langke atau Rumah Panjang, maka diadakanlah pesta adat gawai Mamasi Soo. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Alaatala juga atas peran dan restu dari leluhur atau roh nenek moyang.

3. 3. 6. Gawai Raa
Gawai raa artinya pesta besar. Inilah upacara terbesar dalam kehidupan religiositas orang Taman. Gawai raa adalah pesta yang diselenggarakan secara istimewa untuk menghormati dan menghargai para leluhur yang telah meninggal dunia. Untuk melaksanakan upacara adat Gawai raa ini, dari pihak keluarga atau anak cucu perlu mempersiapkannya dengan baik. Pesiapan-persiapan tersebut terutama bersifat materiil yakni berupa dana logistik. Hal ini perlu dipersiapkan sebelumnya bersamaan dengan berbagai kebutuhan yang perlu dipersiapkan untuk menjamin terselenggaranya pesta besar ini. Pelaksanaan Gawai raa juga perlu persiapan moril. Pelaksanaannya mesti memperhatikan kaidah-kaidah hukum adat yang berlaku. Dalam Gawai raa ini terdapat pantangan-pantangan atau hal-hal yang tidak boleh dilakukan selama pesta ini diselenggarakan misalnya perkelahian.

3. 4. Prosesi Pelaksanaan Gawai Raa
Adapun acara pelaksanaan Gawai raa secara khusus dapat dibagi dalam tiga rangkaian. Pertama, tahap perencanaan dan persiapan pelaksanaan Gawai raa, meliputi persiapan jauh dan persiapan dekat. Kedua, tahap mendirikan Pandung (Padeng Pandung). Ketiga, memasukkan hewan kurban (Mapis katiyo’an). Setiap rangkaian kegiatan tersebut akan kami diuraikan.

3. 4. 1. Perencanaan dan Persiapan Pelaksanaan Gawai Raa
3. 4. 1. 1. Persiapan Jauh
Kegiatan-kegiatan dalam rangka mempersiapkan pelaksanaan upacara Gawai raa biasanya dilakukan jauh-jauh hari. Kegiatan atau acara itu meliputi Sialaan kada (Mufakat keluarga), Kombong Salangko (Musyawarah seisi Rumah Betang), Kombong sakampungan (Musyawarah sedesa), Mantaat atau Mamole jarat tangan (Mengantar atau Mengembalikan tanda perjanjian), Mala pandung (Mengambil kayu untuk pagar hewan kurban).

3. 4. 1. 1. 1. Sialaan Kada
Mufakat keluarga atau sialaan kada, ialah sebuah musyawarah keluarga yang di dalamnya berisi niat untuk melaksanakan Gawai raa. Biasanya mufakat keluarga ini dilakukan secara intern dan sangat eksklusif serta sudah dilakukan jauh-jauh hari. Bila terjadi mufakat, maka ditentukanlah waktu untuk mengantar atau mengembalikan jarat tangan kepada orang yang ijului atau ibalas. Jarat tangan juga dapat diberikan kepada kepada orang yang dianggap berjasa bagi nusa dan bangsa atau Gereja seperti misalnya Uskup, Bupati, Gubernur. Mereka ini akan menombak hewan kurban dan diberi mahkota penghargaan adat yakni iamasi.

3. 4. 1. 1. 2. Kombong Salangko
Setelah seluruh anggota keluarga sepakat untuk melaksanakan upacara Gawai raa tersebut, maka diadakanlah musyawarah serumah betang atau kombong salangko. Musyawarah ini melibatkan seluruh penghuni Rumah Betang itu. Keluarga yang hendak melaksanakan upacara Gawai tersebut memberitahukan niatnya. Keluarga yang akan melaksanakan upacara Gawai raa meminta petunjuk dan saran mengenai pelaksanaan dan memohon dukungan moril serta tenaga dan pikiran sebagaimana mestinya agar niat ini dapat terselenggara.
3. 4. 1. 1. 3. Kombong Sakampungan
Setelah niat keluarga diutarakan kepada warga serumah betang, maka diadakan musyawarah yang lebih besar, yang disebut Kombong sakampungan. Kombong sakampungan adalah tahap selanjutnya dari keluarga yang hendak melaksanakan upacara Gawai raa untuk mengundang pemuka adat dan pemuka masyarakat se desa. Pada kesempatan ini keluarga yang hendak melaksanakan Gawai tersebut menjelaskan niat dan tujuan pelaksanaanya. Jika niat keluarga tersebut manjuluang katiyo’an, apa hewan kurban yang akan dikurbankan dalam upacara itu. Apakah berupa sapi atau kerbau. Jika keluarga tersebut mambalas atau dengan kata lain mamole’ jarat tangan, dalam kombong sakampungan ini dijelaskan kepada siapa keluarga yang hendak mengadakan pesta Gawai tersebut mambalas dan berupa apa. Apakah berupa kerbau atau sapi dan dalam jumlah berapa. Jika sebelumnya ia mendapat utang dua ekor kerbau maka iapun harus menyediakan dua ekor kerbau.
Pihak yang akan mengadakan upacara Gawai dalam musyawarah se desa ini meminta petunjuk dari para pemuka adat (Toa-toa adat) dan pemuka masyarakat ( Toa-toa soo) mengenai penyelenggaraan Gawai tersebut. Pada saat yang sama, pihak yang akan menyelenggarakan Gawai meminta tenaga dan dukungan moril dari seluruh masyarakat sekampung demi suksesnya pelaksanaan Gawai raa tersebut.

3. 4. 1. 1. 4. Mantaat atau Mamole’ Jarat Tangan
Kalau keluarga yang akan menyelenggarakan upacara Gawai raa tersebut mambalas, maka dia harus mamole’ atau mengembalikan jarat tangan. Tetapi kalau keluarga tersebut manjuluang katiyo’an atau memberikan jamuan atau piutang kepada pihak keluarga tertentu yang nantinya akan menombak hewan kurban ( muno’ katiyo’an), maka jauh sebelumnya sudah harus dijejeki. Maksudnya adalah apakah orang tersebut bersedia atau tidak untuk ijului. Untuk maksud manjuluang kepada siapa akan ditujukan jarat tangan, diperlukan pendekatan yang sangat hati-hati. Pendekatan yang demikian dimaksudkan untuk menghindari sikap yang menyalahi hukum adat yang berlaku.

3. 4. 1. 1. 5. Mala Pandung
Persiapan selanjutnya adalah mengambil kayu pandung atau mala pandung, artinya mengambil kayu untuk kandang hewan kurban. Pengambilan kayu pandung dilakukan secara bergotong royong. Kegiatan mengambil kayu pandung ini biasanya hanya dilakukan oleh pihak laki-laki. Kayu pandung dapat diambil di rimba (ton) atau di hutan (timpungan).

3. 4. 1. 2. Persiapan Dekat
Adapun acara-acara untuk mempersiapkan pelaksanaan upacara Gawai raa sebagai persiapan dekat meliputi dua tahap sebagai berikut: tahap pertama meliputi acara Mantaat Buun (mengantar undangan), Pandannang baras (membagikan beras), Mimber Kulambu (menebas kubur). Sedangkan tahap kedua meliputi acara Padeng Pandung (Mendirikan kandang hewan kurbau), menyombaang (upacara doa), Mapis Ka tiyo’an (memasukkan hewan kurban).
3. 4. 1. 2. 1. Mantaat Buun
Persiapan selanjutnya, setelah semua maksud dan rencana mendapat klarifikasi dari semua pihak, adalah acara mantaat buun. Acara mantaat buun adalah acara mengantar undangan kepada setiap desa orang Daya Taman. Setiap desa diberikan undangan agar berkenan hadir atau tampiir pada saat hari jadi. Acara mantaat buun biasanya dilakukan selama satu hari satu malam dan disambut dengan upacara penyambutan yang meriah. Adapun acaranya ialah untuk menyampaikan maksud dan rencana sekaligus undangan resmi oleh rombongan yang diutus oleh pihak keluarga yang mengadakan Gawai raa.

3. 4. 1. 2. 2. Pandannang Baras
Pandannang baras merupakan sebuah acara yang tak kalah pentingnya sebagai bagian dari persiapan upacara Gawai raa. Pandannang baras adalah acara mengantar atau membagikan beras dari pihak yang akan menyelenggarakan Gawai raa kepada setiap warga Taman di desa yang terdekat. Adapun inti dari acara ini adalah membagikan beras kepada setiap kepala keluarga (KK) yang ada di Rumah Betang desa yang terdekat. Maksud dari acara ini adalah untuk menghargai waktu dan restu yang diberikan warga sedesa selama persiapan dan pelaksanaan Gawai raa.

3. 4. 1. 2. 3. Mimber Kulambu
Kegiatan yang harus diselesaikan sebelum memasuki hari jadi atau hari “H” ialah mimber kulambu. Mimber kulambu artinya menebas (membersihkan, menyiangi) kuburan para leluhur terutama yang berada dalam desa yang bersangkutan. Sedangkan menebas atau membersihkan kuburan para leluhur yang berada di luar desa keluarga yang melaksanakan Gawa raai, dilakukan sehari sebelum acara penutupan Gawai raa (acara iyum babari). Iyum babari ialah acara penutupan atau pembubaran sebagai tanda berakhirnya seluruh rangkaian kegiatan pelaksanaan Gawai raa.

3. 4. 2. Padeng Pandung
Padeng Pandung artinya mendirikan kandang hewan yang akan dibunuh dengan cara ditombak sebagai kurban dalam upacara Gawai raa. Ada dua acara yang dirangkaikan dalam pendirikan pandung yaitu Mamaban tana’ dan Marere’ tana’.

3. 4. 2. 1. Mamaban Tana’
Pandung adalah kayu untuk kandang hewan kurban. Mendirikan pandung atau padeng pandung untuk hewan kurban dilakukan terlebih dahulu dengan memukul-mukul tanah atau mamaban tana’. Acara mamaban tana’ dilakukan oleh beberapa toa adat yang dianggap memiliki dedikasi untuk melakukan ritual tersebut. Mamaban tana’ dilakukan di sekitar lokasi didirikannya pandung tersebut.
Acara mamaban tana’ ini disertai dengan doa-doa yang didaraskan oleh tiga orang perempuan tua untuk memohon kepada penguasa bumi. Doa yang diucapkan saat acara mamaban tana’ dilakukan bertujuan agar penghuni bumi berkenan pindah karena tempat tersebut akan dipakai untuk mendirikan Pandung. Doa itu juga bertujuan agar nenek moyang atau penguasa bumi berkenan merestui upacara Gawai yang akan diselenggarakan. Dengan mengucapkan doa-doa itu diharapkan hari-hari penyelenggaraan upacara gawai terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan dan yang dapat menghambat kegiatan Gawai raa itu sendiri.

3. 4. 2. 2. Marere’ Tana’
Setelah ritual memukul-mukul tanah selesai, ritual selanjutnya adalah marere’ tana’. Marere’ tana’ adalah membuat garis empat persegi panjang panjang di lokasi akan didirikan pandung, yang juga dilakukan oleh beberapa Toa adat. Doa-doa yang didaraskan sama halnya dengan doa dalam ritus sebelumnya. Doa dibawakan oleh seorang Toa adat, dan diikuti oleh Toa-toa adat yang lainnya. Di akhir ritus ini seorang Toa adat secara khusus memanggil roh nenek moyang dengan cara menumpahkan air tuak atau maram yang disebut acara mambolongi.

3. 4. 2. 3. Manyombaang
Manyombaang adalah ritual untuk memohon kepada sang pencipta atau Alaatala, makhluk halus penghuni tanah, penghuni air, dan matahari dan lain sebagainya. Acara ini dilakukan dengan tujuan agar mereka semua merestui pemakaian lokasi tempat pandung didirikan. Acara manyombaang dilakukan oleh pihak perempuan yang biasanya dengan cara menyanyikan permohonan secara bersama-sama. Namun secara khusus ialah agar Sang Pencipta atau Alaatala dan arwah leluhur atau roh nenek moyang serta seluruh makhluk halus yang ada, berkenan merestuai dan memberkati pelaksanaan Gawai raa.
Melalui doa yang dinyanyikan ini, dimohonkan agar pelaksanaan Gawai raa tidak terhambat atau terhalangi oleh hal-hal yang tak diinginkan seperti kematian, malapetaka, hujan, banjir, angin badai atau topan selama diselenggarakannya upacara ini. Secara khusus lagi dimohonkan agar sanak keluarga tidak jatuh sakit, ataupun jangan sampai ada yang meninggal dunia.

3. 4. 2. 4. Padeng Pandung
Setelah acara menyombaang dilakukan, acara selanjutnya adalah mendirikan pandung atau pandeng Pandung. Pandung adalah kandang khusus hewan kurban yang akan dibantai dengan cara ditombak pada hari “H”. Setelah didirikan maka Pandung tersebut dirapikan atau disebut dengan mapas Pandung agar apik dan kuat.

3. 4. 2. 5. Padeng Toras
Toras adalah sebutan orang Taman untuk patung yang dibuat dan dipahat dari kayu. Patung ini dibuat menyerupai manusia untuk menghadirkan kembali sosok kurban yang sebenarnya. Dalam upacara Gawai terdahulu yang dikurbankan adalah manusia. Manusia yang dijadikan kurban itu ialah hamba atau budak belian dari kelurga yang mengadakan upacara adat Gawai raa. Namun sejak perjanjian Tumbang Anoi yang antara lain berisi kesepakatan penghapusan tradisi mengayau dari sendirinya tidak diperkenankan mengurbankan manusia sebagai kurban.
Mulai pada saat pendeklarasian kesepakatan bersama untuk berdamai di antara orang Daya dengan menghentikan saling mengayau (sikayo), saat itu pula lahir kesepakatan bersama di antara para petinggi suku Taman bahwa manusia sebagai kurban dihapus. Atas dasar kesepakatan petinggi adat suku Daya Taman saat itu kurban diganti dengan hewan dengan satu syarat bahwa dalam setiap upacara Gawai raa mesti didirikan patung atau yang disebut Toras. Toras berfungsi untuk merepresentasikan kurban asli dalam tradisi upacara Gawai raa.
Dalam budaya Daya Benuag patung juga dikenal dalam upacara ritual adat. Upacara itu disebut Tiwah. Tiwah berfungsi untuk merepresentasikan leluhur yang dikenal dengan nama Hampatong. Hampatong adalah nama yang diberikan kepada patung-patung kayu yang dipahat yang menggambarkan seorang manusia. Dalam versi suku Daya Benuag, Patung kayu tersebut diberi nama sesuai dengan tujuan dan fungsinya dalam kehidupan religi orang Daya. Dalam tradisi suku Daya Taman patung tersebut bukan sebagai representasi para leluhur tetapi reperesentasi manusia sebagai kurban aslinya yang sekarang diganti dengan hewan kurban.

3. 4. 2. 6. Mapis Katio’an
Setelah pendirian Pandung dan pendirian patung selesai, maka diselengarakan acara mapis katiyo’an. Mapis katiyo’an artinya memasukkan hewan kurban. Acara memasukkan hewan kurban sesuai dengan tempat yang dikehendaki dan ditentukan sebelumnya. Setelah pendirian kandang hewan (pandung) dan pendirian patung (Toras) selesai dilakukan, maka hewan (sapi atau kerbau) yang akan dijadikan kurban dapat dimasukkan. Acara memasukkan hewan kurban ke dalam kandang (mapis katiyo’an) diiringi dengan membunyikan Kangkoang yang disebut taba’ jaum.

3. 4. 2.7. Bumbulan
Acara bumbulan ini dilakukan selama tiga hari tiga malam berturut-turut menjelang hari pelaksanaan Gawai raa. Beberapa orang ibu atau perempuan tua yang dianggap memiliki dedikasi untuk mumbulan didatangkan untuk melaksanakan acara ini. Inilah salah satu syarat mutlak yang harus dijalankan sebelum hari jadi Gawai raa. Tujuan diadakannya acara ini adalah untuk mengisahkan kembali sejarah penciptaan alam semesta dan manusia.

3. 5. Hari Palaksanaan Gawai Raa
3. 5. 1. Aso Dari (Hari ”H”)
Hari jadi atau hari ”H” adalah hari yang dinantikan oleh setiap warga Taman. Tamu datang dari berbagai kampung orang Taman. Selain itu juga tamu kehormatan yang mendapat undangan secara khusus, misalnya rombongan Uskup, Bupati, Muspida, Gubernur atau kedutaan dan konsulat hadir mengikuti prosesi Gawai raa. Tamu atau undangan (tuu tampir gawai) datang dengan menggunakan perahu hias (Paru tambe).
Para tamu atau undangan yang hadir menggunakan pakaian adat khas orang Taman. Selama perjalanan perahu hias dimeriahkan dengan tabuhan khas (taba’ gulembang) dan tarian (mandaria’i Paru tambe, Bedil atau yang biasa disebut Bading dibunyikan (timbak Bading) sebagai tanda kedatangan Paru tambe.



Gambar 4. 1. Perahu Hias Gambar 4. 2. Tamu Perempuan

3. 5. 1. 1. Sisialo atau Siarung
3. 5. 1. 1. 1. Manyialo Paru Tambe
Setibanya di tepian rombongan tamu yang datang dengan Paru tambe disambut, dieluk-elukan, dengan acara timbak bading, dan menaburkan beras kuning (mamborang baras tantamuan). Penaburan beras kuning dilakukan bertujuan memohon keselamatan dan berkat untuk para tamu dan tuan rumah yang melaksanakan Gawai raa. Kedatangan Paru tambe juga disambut dengan tarian dan pekikan. Antara penari yang berada di atas perahu hias dengan penari yang berada di tepian, berpekik bersahut-sahutan. Tamu yang datang dengan Paru tambe disapa dengan ramah. Pakaian dibawakan oleh pihak panitia (among tamu) yang telah ditunjuk. Diupayakan agar acara penerimamaa atau penyambutan tamu ini dilaksanakan dengan baik supaya menimbulkan kesan baik bagi para tamu.

3. 5. 1. 1. 2. Maliliti Pandung
Orang-orang tua dari rombongan undangan dipersilahkan mengitari kandang hewan kurban (maliliti Pandung). Acara maliliti Pandung dilakukan dengan cara berjalan mengelilingi kandang hewan kurban (Pandung) dengan membawa Mandau untuk memantap setiap tiang penyangga Pandung sambil menari dan berpekik. Maliliti Pandung hanya dilakukan oleh orang tua sedangkan anak-anak dan remaja yang tergabung dalam rombongan tidak diperkenankan. Di setiap sudut Pandung ada orang yang telah dipersiapkan secara khusus untuk memberi minuman khas atau dengan istilah palanggar tu maliliti Pandung.
3. 5. 1. 1. 3. Manyapa Umpang
Setelah melakukan acara maliliti Pandung, rombongan tamu atau undangan naik menuju rumah Betang. Mereka berkumpul menunggu giliran pemotong kayu palang (manyapa’ umpang). Manyapa’ Umpang adalah acara pemotongan kayu yang dipalangkan di jalan menuju ke rumah Betang tempat dilangsungkan acara Gawai raa tersebut.
Pemotongan kayu Umpang dilakukan oleh kepala rombongan dengan menggunakan ‘Mandau. Sebelum melakukan pemotongan, orang tersebut disuguhi secuil minuman keras yang dikenal dengan istilah palancar (untuk memperlancar). Tujuannya ialah agar pemotongan kayu tersebut dilakukan dengan lancar. Pemotongan Umpang menandai bahwa para tamu atau rombongan diterima secara resmi oleh tuan rumah. Begitu acara pemotongan Umpang selasai, para tamu atau rombongan dipersilahkan langsung masuk dan duduk di bilik (Tindo’an) untuk menikmati hidangan penganan atau kue khas pesta orang Taman (Tiyangan kaan) dengan berbagai jenis dan citarasa.

3. 5. 1. 2. Acara Tambar dan Baris
3. 5. 1. 2. 1. Tambar
Tambar adalah salah satu acara yang penting untuk mengawali acara-acara selanjutnya dalam upacara Gawai raa. Acara tambar dilakukan pada malam hari dan dipimpin oleh penatua adat (Toa adat). Ada empat tujuan yang hendak disampaikan kepada para tamu dalam acara tambar ini. Pertama, untuk mengucapkan selamat datang kepada para tamu. Kedua, untuk mengucapkan terima kasih dan ucapan permohonan maaf kepada para tamu bila ada kekhilapan tuan rumah dalam penyambutan. Ketiga, Penjelasan kepada para tamu mengenai siapa yang mengadakan Gawai dan apa maksud dan tujuan dari keluarga yang mengadakan Gawai itu. Keempat, Ajakan kepada para tamu untuk tetap mentaati adat istiadat dan mengikuti upacara Gawai raa dengan tertib.
Sebagai akhir dari acara Tambar ini pemimpin menghamburkan beras kuning memohon kepada Alaatala dan arwah para leluhur. Tujuannya ialah memohon agar keluarga yang mengadakan gawai, para tamu, dan seisi rumah Betang memperoleh berkat dan kesehatan selama berlangsungnya upacara Gawai raa.

3. 5. 1. 2. 2. Baris
Baris adalah acara menghidangkan atau memberi minuman kepada para tamu yang dipandu oleh beberapa orang dewasa. Acara Baris ini dilakukan sebagai ungkapan kehormatan kepada tamu. Secara berturut-turut minuman yang diberikan adalah minuman keras dengan nama Maram, Tuak, dan Arak.

3. 5. 1. 3. Acara Pasiap
Pasiap adalah acara menghidangkan atau memberikan penganan atau kue khas orang Taman kepada para tamu dengan cara disuapi. Pasiap dilakukan oleh para ibu dan para gadis dengan berpakaian adat. Mereka berjalan secara teratur berkeliling menyuguhi dan menyuapi para tamu. Acara pasiap ini diiringi dengan tabuh-tabuhan.

3. 5. 1. 4. Acara Taba’ dan Daria’ So’soak
Taba’daria’ so’soak artinya adalah acara tarian gembira dengan diiringi tabuhan tradisonal. Setelah acara pasiap dilakukan, dilanjutkan dengan acara taba’ dan daria’ so’soak. Sementara seluruh tamu menikmati tari-tarian itu, panitia bersiap-siap mengkoordinir acara penombakan hewan kurban

3. 5. 1. 5. Munoo’ Katiyo’an
Acara membunuh hewan kurban atau muno’ katiyo’an merupakan acara penting kerena di sinilah inti dari upacara Gawai raa. Hewan yang ditombak darahnya dibiarkan tumpah ke tanah (dara’ tambor). Darah hewan inilah yang diyakini menyampaikan kabar kepada para leluhur bahwa anak cucu mereka telah melakukan upacara penghormatan dan penghargaan kepada mereka.

3. 5. 1. 6. Manyapa’ Pandung
Manyapa Pandung adalah acara memotong Kayu Pandung. Pemotongan Kayu Pandung ini dilakukan oleh orang yang diberi kehormatan. Biasanya tugas ini dilakukan oleh kepala rombongan dari yang ijului atau ibalas serta tua-tua adat undangan lainnya yang diberi kepercayaan. Acara pemotongan Kayu Pandung ini diharapkan berjalan lancar sambil mengucapkan doa-doa atau niat-niat pribadi yang ditujukan kepada leluhur berisi harapan akan kehidupan mendatang. Dari sinilah leluhur mengetahui harapan dan niat yang masih hidup di dunia dan diharapkan niat ini disampaikan oleh leluhur kepada Alaatala.

3. 5. 1. 7. Upacara Mamasi
Mamasi artinya memberi mahkota berwarna kuning keemasan kepada orang yang dihormati. Mamasi adalah acara penghormatan tertinggi dari seseorang kepada orang yang ijului atau ibalas dalam Upacara Gawai raa tersebut. Namun penghormatan tertinggi itu juga dapat diberikan kepada orang-orang yang dianggap berjasa, ksatria, seorang tokoh yang arif dan bijaksana, hartawan, dermawan.
Upacara mamasi dilakukan pada malam hari. Prosesi mamasi ini dipimpin oleh penatua adat. Beberapa perempuan atau gadis yang bersedia membawakan perangkat pemahkotaan duduk berhadapan muka dengan orang-orang yang akan diberi mahkota penghargaan. Caranya ialah dengan mentahtakan anyaman daun enau muda yang dihiasi dengan bulu burung Engang atau sebagai mahkota kebesaran yang disebut dengan indulu amas-amas.

3. 5. 2. Iyum Babari
Iyum babari ialah istilah untuk acara minum yang menandai berakhirnya pelaksanaan upacara Gawai raa. Iyum babari juga dilakukan untuk melepas pantangan-pantangan yang tidak boleh dilakukan selama prosesi Gawai raa. Setelah acara ini dilakukan para tamu undangan dipersilahkan dengan hormat kembali ke tempat masing-masing dengan membawa oleh-oleh khas pesta Gawai raa. Oleh-oleh itu berupa beras, penganan, dan daging hewan kurban, diharapkan juga diicipi oleh mereka yang tidak bisa hadir dalam upacara Gawai raa.

3. 6. Gawai Raa; Identitas Kultural dan Ritual Keselamatan Orang Daya Taman
3. 6. 1. Identitas Kultural
Unsur religius merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu budaya tertentu. Sebab, unsur religius ikut menentukan identitas suatu masyarakat tertentu. Gawai raa sebagai upacara sentral dalam kehidupan religiositas Daya Taman diapresiasi menjadi salah satu identitas kebudayaan Daya Taman. Identitas fisik dari kebudayaan Daya Taman yang masih tersisa adalah Rumah Betang.
Selain identitas fisik, terdapat pula identitas rohani yaitu upacara kultis yang mengungkapkan kepercayaan asli yang dilaksanakan melalui upacara adat Gawai raa. Bersamaan dengan pelestarian Rumah Betang, upacara adat Gawai raa orang Taman sampai sekarang tetap dipelihara dan dilestarikan. Upacara Gawai raa ditonjolkan karena menyisakan identitas kultur asli sebagai ungkapan religiositas Daya Taman.
3. 6. 1. 1. Identitas Fisik
Identitas kultur yang diwariskan oleh nenek moyang secara turun temurun tidak semua dapat dipelihara dan dilestarikan. Suku Daya Taman memiliki kekayaan identitas fisik seperti Rumah Betang. Rumah Betang atau Rumah Panjang (So Langke), bagi orang Taman sangat penting untuk mempertahankan identitasnya sebagai orang Daya. Selain Rumah Betang, ada pula identitas fisik lain yang eksotik dan unik yaitu busana adat. Dari berbagai ragam busana tradisional yang dimiliki masyarakat Dayak Taman, baju buri’ king buri’ dan baju manik king manik, paling populer sehingga hampir setiap keluarga Daya Taman memilikinya. Terutama baju buri’ king buri’, yang kerap digunakan pada peristiwa-peristiwa penting seperti upacara adat Gawai raa dan pesta lainnya seperti pesta perkawinan.
Identitas fisik lain yang berada dalam arus kepunahan adalah tradisi daun Telinga panjang. Ada pula tradisi menaruh jenazah di atas rumah (Kulambu), masih dilakukan terutama Taman di desa Ariyung Mandalam, namun di beberapa desa orang Taman lainnya perlahan jenazah-jenazah itu mulai dikuburkan. Sedangkan ornamen-ornamen berupa ukiran-ukiran masih digeluti oleh generasi muda, namun ukiran-ukiran yang dibuat tersebut mengalami pergeseran makna. Banyak generasi muda yang pandai mengukir, tetapi tidak mengerti makna religi yang tersirat dalam ukiran tersebut. Ukiran itu berada pada nilai estetik, bukan lagi pada nilai religius.

3. 6. 1. 2. Identitas Rohani
Identitas kultur tradisional sebagai ungkapan religiositas yang diwariskan oleh nenek moyang, tidak semua dipelihara dan dilestarikan. Sebaliknya, dilupakan atau dihapus karena generasi muda Daya Taman mulai meninggalkan paham tradisional dan tidak lagi fanatik dengan adat istiadat. Uniknya bahwa di tengah-tengah arus transformasi budaya Daya Taman itu, masih ada beberapa upacara yang bersifat rohani yang mengungkapkan keyakinan asli. Antara lain upacara memanggil leluhur, (Pamindara), memanggil roh padi (Kalaman), mohon keselamatan (Gawai).

3. 6. 2. Ritual Keselamatan
Upacara atau ritual adat Gawai raa merupakan upacara yang mengintensikan keselamatan. Upacara ini diselenggarakan sebagai wujud partisisipasi manusia dalam tata keselamatan. Partisipasi manusia yang berupa ritual adat Gawai raa ini merupakan cara penyesuaian perbuatan atau tindakan dengan tata kosmis yang mengatasi segala realitas dunia. Keselamatan yang diinginkan lewat upacara upacara Gawai raa di dalamnya memuat dimensi vertikal dan horizontal.
Secara vertikal ialah relasi antara manusia dengan Allah sebagai Sang Pencipta. Artinya bahwa Sang penciptalah yang bekuasa memberi keselamatan atas kehidupan manusia di dunia ini. Secara horizontal ialah relasi dengan sesama dan alam. Dalam arti bahwa keselamatan hidup manusia dapat dirasakan dan dialami jika terjadi keharmonisan antara manusia dengan alam. Paham yang terkandung di dalam ritual ini ialah bermaksud untuk rekonsiliasi kosmik. Kedua dimensi tersebut menjadi satu intensi yang dibawa dalam upacara adat Gawai raa. Ungkapan religiositas ini mengandung pengertian bahwa segala ujud permohonan ditujukan kepada Allah lewat leluhur sebagai pengantara, untuk keselamatan anak cucu. Manusia yang masih hidup di dunia, menginginkan keselamatan dalam hidupnya. Keselamatan hidup yang dimaksud ialah kehidupan yang bebas dari segala marabahaya serta kejahatan kosmis yang membuat manusia hidup dalam penderitaan.
Upacara Gawai raa diadakan agar Alaatala sebagai Sang Pencipta dunia mendamaikan semua mahkluk ciptaan supaya hidup harmonis dan tidak saling mengganggu kehidupan. Maka upacara Gawai raa ini suatu upacara kultis untuk memohon kepada Alaatala sebagai pencipta agar tata kosmos hidup secara harmonis. Manusia, secara khusus keluarga, memohonkan kepada Alaatala lewat leluhur agar Alaatala menghindarkan dari mereka bahaya dan malapetaka sekaligus memohonkan keselamatan, kesejahteraan, berkat, dan ketentraman hidup.
3. 6. 2. 1. Upacara Adat Gawai Raa Sebagai Upacara Keselamatan
Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai budaya, norma-norma dan aturan; yang satu berkaitan dengan yang lain dan membentuk suatu sistem. Bagi suku Daya Taman, adat mempunyai arti lebih luas dari pada sekadar pengertian tentang peraturan, kebiasaan, cara dan tata susila. Menurut orang Taman, adat mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dan sesamanya, manusia dengan makhluk lain, dan manusia dengan penciptanya. Adat berfungsi mengatur hidup dan relasi antara manusia dengan Sang Pencipta, sesama dan alam ciptaan. Jadi, salah satu intensi adat adalah memelihara keharmonisan tata kosmos. Upacara adat menuntun seluruh hidup dan pemikiran dan semua relasi manusia dengan kosmos. Upacara adat dianggap sebagai sesuatu yang sakral, sebab berhubungan dengan Sang Pencipta sendiri sebagai pemberi keselamatan. Upacara adat Gawai raa sebagai awal dari peristiwa keselamatan, mengajak manusia untuk menaruh harapan hanya kepada wujud tertinggi (Alaatala). Meskipun upacara adat Gawai ini bermaksud pemuliaan (glorifikasi) untuk para arwah leluhur, seluruh rangkaian upacara Gawai raa memiliki intensi atau gagasan teologis yang bermuara pada Allah. Upacara ini mengajak segenap manusia beriman kepada Sang Pencipta.
3. 6. 2. 2. Relasi antara Allah, Leluhur, dan Manusia dalam Gawai Raa.
Relasi antara Allah, leluhur, dan manusia (keluarganya) dalam upacara Gawai raa, menunjukkan relasi yang bersifat hirarkis-subordinatif. Allah (Alaatala) diimani sebagai pribadi yang superior, yang menguasai alam semesta dan menyelamatkan manusia dari malapetaka, yang dapat memberikan kesejahteraan dan ketentraman hidup. Leluhur diyakini sebagai pribadi yang dapat menjadi fasilitator atau pribadi yang menyampaikan niat keluarga kepada Alaatala. Leluhur sangat dihormati karena dianggap sebagai “orang suci”, yang memohonkan keselamatan, kesejahteraan, berkat, ketentraman kepada Alaatala bagi manusia yang masih hidup di dunia ini. Adapun relasi konstan antara Alaatala, leluhur, dan manusia (keluarga) dapat digambarkan sebagai berikut:

Gbr. 5. Relasi Konstan Antara Alaatala, Leluhur, Manusia dalam Upacara Gawai raa

3. 7. Kesimpulan
Gawai raa adalah upacara kultis penting sebagai identitas religiositas orang Taman. Upacara Gawai raa merupakan upacara keselamatan. Keragaman acara dalam Gawai raa menunjukkan nilai-nilai penting yakni keselamatan. Dalam ritual adat Gawai raa terdapat tiga pribadi, yaitu Alaatala, leluhur, manusia. Mereka berelasi secara konstan untuk mewujudkan keselamatan. Dalam pembahasan selanjutnya ditampilkan upaya Gereja mencari titik temu, mencermati, mengkontekstualisasikan ide-ide teologi yang muncul ke permukaan dari upacara Gawai raa ini, dengan mendialogkannya dengan iman Gereja.

PANORAMA KEHIDUPAN RELIGIOSITAS ORANG TAMAN



2. 1. Pengantar
Pokok-pokok gagasan yang akan diuraikan dalam Bab II ialah mengenai Panorama Kehidupan Religius Orang Daya Taman. Hal ini dibahas karena menampilkan latar belakang dan corak yang mewarnai kehidupan religiositas orang Daya Taman dalam konteks kebudayaan lokal. Adapun sub-sub bagian yang akan diuraikan dalam Bab II ini dibagi sebagi berikut: Pengertian religi, gambaran singkat lingkungan alam-fisik sebagai ruang yang memengaruhi sistem religiositas, Selayang Pandang Suku Daya Taman; Asal Mula Manusia dan Alam Semesta, Adat Istiadat Orang Taman; Sistem Religi yang memberi ciri khas bagi kehidupan Daya Taman.

2. 2. Pengertian Religi
Religi muncul dari adanya bermacam-macam perasaan orang dalam menghadapi, mengalami peristiwa tertentu: perasaan kagum, hormat, segan, takut, tegang, terkejut, mual, tak berdaya, heran, cinta, benci, asmara. Orang mendapat kesan seakan-akan perasaan itu tidak timbul dari dalam diri manusia yang bersangkutan, melainkan diaktifkan oleh peristiwa dari luar, seperti misalnya kelahiran, kematian, anak menjadi dewasa, bencana alam, halilintar, bentuk ganjil sebuah batu. Kekuatan, kekuasaan, atau ‘Gaya Misterius’ dari luar memengaruhi manusia sehingga aneka perasaan timbul dalam dirinya. Kemudian perasaan dipikirkan sampai menghasilkan pelbagai khayalan. Iman yang demikian diberi bentuk cerita yang disebut mitos. Mitos didramatisasi dalam upacara dan dihayati dalam tata susila.
Dari perspektif ahli ilmu perbandingan agama, tidak ada kesepakatan definisi istilah religi. Van Schie menarik kesimpulan istilah religi berdasarkan hipotesa riwayat munculnya religi pada awalmulanya dan tanpa memutuskan definisi yang paling tepat. Ia mengatakan bahwa religi adalah keseluruhan mitos, ritus, dan tata hidup yang merupakan pernyataan serta pengungkapan kepercayaan manusia, dan bahwa ‘Gaya Misterius’ mempengaruhi semua aspek kehidupannya.
Disamping gejala yang spesifik yang memotivasi perasaan itu, juga muncul gejala yang secara keseluruhan memotivasi perasaan, sekaligus tindakan. Gejala itu lahir dari alam semesta, dari lingkungan alam di mana suatu masyarakat berdiam dan menjalani kehidupannya. Untuk menggagas religiositas orang Taman, penulis mengikuti pengertian religi sebagaimana diungkapkan Van Schie tersebut.

2. 2. Gambaran Singkat Mengenai Lingkungan Yang Memengaruhi Religiositas Orang Taman
Hakikat yang terkandung di dalam sistem religi menuntun masyarakat Daya untuk senantiasa berperilaku serasi dengan dinamika alam semesta, sehingga terwujud keseimbangan hubungan antara manusia dengan lingkungan alam. Lingkungan alam dalam kehidupan religi orang Taman merupakan ruang kehidupan religiositasnya. Alam berada pada urutan yang pertama dalam perannya sebagai yang memengaruhi keseluruhan sistem religi yang dianut oleh orang Taman. Gambaran mengenai pengaruh lingkungan terhadap kehidupan religiositas ini akan diuraikan sebagai berikut: pertama, hubungan lingkungan fisik kekuatan supranatural; kedua, relasi alam dan kehidupan orang Taman serta letak wilayah dan pola pemukiman.

2. 2. 1. Lingkungan Fisik
Kepercayaan tradisional yang dianut oleh orang Daya Taman umumnya dipengaruhi oleh keadaan alam sekitarnya. Kekuatan supranatural yang ada di sekitar mereka yang keberadaannya di luar jangkauan akal budi manusia menimbulkan pertanyaan. Hal inilah yang mendorong manusia Daya Taman melakukan berbagai upacara yang beraneka ragam untuk mencari hubungan dengan kekuatan supranatural itu. Upaya mencari hubungan dengan sesuatu yang supranatural itu melahirkan aktivitas religius manusia Daya Taman sebagaimana juga dalam suku-suku lain dengan kekhasan regiositasnya. Inilah aktivitas manusia yang berkaitan dengan kepercayaan atau religi yang didasarkan pada suatu getaran jiwa yang disebut emosi keagamaan atau religi.
Dari getaran jiwa itu manusia mengalami adanya gejala-gejala yang muncul di luar kemampuan akal budi manusia sehingga manusia meyakini adanya sesuatu yang lebih tinggi. Manusia yang pada awalnya kagum akan adanya gejala-gejala dan kejadian-kejadian yang luar biasa dalam hidup dan alam sekitarnya, menjadi tergugah untuk memiliki sistem kepercayaan kepada kekuatan supranatural yang melampaui dirinya itu.
2. 2. 1. 1. Keadaan Alam
Alam adalah tempat manusia bersama ciptaan lain berdiam dan hidup. Dari lingkungan alam itu pula manusia dapat menemukan kekuatan-kekuatan yang berada di luar dirinya. Lingkungan alam turut menentukan pola kehidupan. Bukan hanya secara mental tetapi juga secara spiritual. Pola kehidupan yang demikian dilatarbelakangi oleh alam lingkungan tempat tinggal.
Secara geografis, alam tempat orang Daya Taman tinggal adalah sebagian besar terdiri dari dataran rendah dengan permukaan tanah rata dan di sana-sini terdapat rawa-rawa. Lingkungan alam di tepi sungai Kapuas, sungai Mendalam, dan sungai Sibau yang merupakan daerah pemukiman orang Taman. Di sepanjang daerah aliran Sungai (DAS) Kapuas, Mandalam, Sibau, terdapat hutan lebat beriklim sub-tropis. Selain tiga sungai tersebut, terdapat pula banyak anak sungai yang melintas di hutan rimba yang termasuk dalam wilayah teritorial tanah adat orang Taman. Tidak jauh dari perkampungan, terdapat perkebunan atau yang disebut dengan kobon bua’ , dan hutan belantara yang disebut dengan timpungan.

2. 2. 1. 2. Letak Wilayah
Orang Taman, sejak dahulu selalu membuat rumah tempat bermukim di pinggir sungai. Sungai sangat vital dalam kehidupan orang Daya Taman. Sungai bukan hanya sebagai sarana perhubungan lalu lintas air, tetapi juga sebagai tempat mencari kebutuhan hidup, yakni lauk pauk untuk dimakan sehari-hari. Selain itu sungai juga digunakan untuk mandi, cuci, kakus (MCK).
Orang Taman bermukim di penghuluan sungai Kapuas, sungai Mandalam dan sungai Sibau. Tiga nama sungai ini oleh orang Taman digunakan untuk menyebut komunitas orang Taman yang tinggal berdasarkan sungai yang berbeda itu. Orang Taman yang bermukim di sungai Kapuas disebut orang Kapuas, demikian juga dengan orang Taman yang bermukim di sungai Mandalam disebut orang Mandalam dan orang Taman yang bermukim di sungai Sibau disebut orang Sibau.
Orang Taman yang berdiam di wilayah penghuluan tepi sungai Kapuas terbagi lagi dalam beberapa kampung dan menyebut diri berdasarkan nama kampungnya. Kampung tersebut adalah kampung Lunsa (orang Usa) memiliki dua Rumah Betang terletak paling hulu. Di hilir kampung Lunsa terdapat kampung Sayut (orang Sayut). Orang Sayut memiliki enam Rumah Betang. Di hilir kampung Sayut terdapat kampung bernama Ingko Tambe (orang Ingko Tambe). Ingko Tambe yang dalam bahasa Taman berarti ‘ekor panji’, memiliki tiga Rumah Betang. Di hilirnya ada kampung bernama Malapi (orang Malapi). Orang Malapi memiliki lima Rumah Betang. Satu diantaranya, yakni rumah betang Malapi 1 merupakan Rumah Betang antik tempat para peneliti atau turis lokal maupun mancanegara mengadakan penelitian tentang adat istiadat orang Taman. Kemudian kampung yang berada paling hilir dari perkampungan orang Taman Kapuas ialah Sauwe (orang Sauwe). Orang Sauwe hanya memiliki satu Rumah Betang yang biasanya disebut ‘So tunggan’ yang artinya rumah tunggal. Demikiam halnya juga orang Taman yang bermukim di tepi sungai Mandalam disebut orang Mandalam atau orang Ariyung Mandalam. Orang Mandalam memiliki tiga Rumah Betang. Dan orang Taman yang berdiam di sungai Sibau sering disebut orang Banua Sio, memiliki enam Rumah Betang.


Gambar 2. Peta Pemukiman Orang Taman dan Sekitar.

2. 2. 1. 3. Pola Pemukiman Orang Taman
Rumah tempat bermukim orang Daya Taman ialah Rumah Betang atau dalam bahasa Taman disebut So Langke yang artinya Rumah Panjang. Inilah yang menjadi kekhasan orang Daya pada umumnya dan orang Daya Taman khususnya. Tidak ada perkampungan orang Daya Taman yang tanpa Rumah Betang. Rumah Betang menjadi tempat bersatunya orang Daya Taman. Mentalitas kolektif dan komunal lahir dari adanya Rumah Betang ini. Rumah Betang disebut oleh orang Taman sendiri maupun oleh kalangan di luar orang Taman ialah rumah adat. Sebab tidak ada acara adat tanpa diselenggarakan di Rumah Betang.
Kerterkaitan yang erat antara adat dan Rumah Betang sangat menonjol, sehingga pendirian Rumah Panjangpun mematuhi aturan adat yang berlaku secara turun temurun. Pendirian Rumah Betang juga mengindahkan unsur kepercayaan asli. Misalnya sebelum orang mulai membangun Rumah Panjang, orang harus mengamati tanda-tanda atau bunyi-bunyi dari burung-burung. Pada saat tanda baik didengarkan, hari berikutnya lokasi rumah tempat didirikannya Rumah Panjang yang baru dapat dibersihkan. Itupun bila pada malam hari itu tanda-tanda tersebut tidak dirintangi oleh mimpi yang buruk. Adapun rumah sebagai tempat tinggal lain selain rumah betang adalah rumah kebun yang disebut So Pambutan. So Pambutan berfungsi sebagai tempat kediaman sementara. Biasanya So Pambutan tersebut dibuat untuk tujuan keleluasaan beternak (mamiara katiyo’an) atau berkebun (bakobon).

2. 3. Selayang Pandang Suku Daya Taman
2. 3. 1. Asal Mula Manusia dan Alam Semesta dalam Pandangan Orang Taman
Orang Daya Taman sebagaimana juga orang Daya sebagai keseluruhan, tidak memilki tradisi tertulis dalam sejarah peradabannya. Mereka hanya memiliki tradisi lisan, dan tradisi lisan itupun sekarang hampir terlupakan karena orang Daya telah mengenal tulisan. Pengenalan akan tulisan ini lahir dari pengaruh masuknya misi agama Katolik dan pendidikan formal pemerintah. Dalam sejarahnya, tradisi lisan sangat vital bagi masyarakat Daya. Inilah satu-satunya cara untuk menyampaikan detil-detil tradisi atau aturan-aturan hidup kepada anak cucu secara turun temurun. Dalam cerita yang disampaikan secara turun temurun itu diketahui bahwa manusia dan alam semesta memiliki awal kejadian yang tak lepas dari adanya wujud tertinggi.
Asal mula alam semesta dan manusia dalam pandangan orang Daya Taman dapat diketahui dalam kisah penciptaan yang dituturkan tiga malam berturut-turut dalam acara bumbulan yang disebut cerita kalimongonan. Kalimongonan adalah acara penuturan kembali peristiwa kejadian asal mula alam semesta dan manusia. Menceritakan kembali persitiwa penciptaan merupakan bagian inti dari acara bumbulan. Upacara bumbulan merupakan upacara penting menjelang pesta Gawai raa. Dalam cerita tersebut dikatakan bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Alaatala.
Alaatala menciptakan alam semesta yakni langit dan bumi beserta isinya dengan kuasa mujizat atau disebut dengan panyunyua. Panyunyua adalah cara Alaatala menggunakan kehendaknya untuk mengadakan segala sesuatu menjadi ada seketika tanpa bahan dan alat. Setelah Alaatala menciptakan langit dan bumi beserta isinya, Alaatala memberi tugas kepada Piang Sampulo untuk membuat manusia sesuai dengan rupa Piang Sampulo sendiri. Piang Sampulo inilah yang kemudian mengajarkan cara hidup kepada manusia pertama yang ia ciptakan. Manusia pertama yang diciptakan oleh Piang Sampulo dan Bai’ Kunyanyik bernama Bai’ Idi’langilangsuan dan Piang Tina.

Gambar 4. Penciptaan Manusia.

2. 3. 2. Adat Istiadat
2. 3. 2. 1. Kerajinan
Kerajinan tangan menunjukkan kekhasan budaya dan kreativitas adat suatu suku bangsa yang berbudaya. Masyarakat Daya Taman pun mengenal teknik menenun untuk membuat busana. Bahkan hingga kini masyarakat Dayak Taman dikenal sebagai penenun yang terampil. Kerajinan tangan atau kreativitas adat orang Taman adalah menenun atau dalam bahasa Taman dinamakan manyee. Kegiatan manyee lain sama sekali dengan kegiatan menenun kain, sebab menenun kain murni benang yang ditenun sehingga menjadi kain. Manyee adalah aktivitas menusukkan benang ke dalam lubang manik dan merangkaikannya menjadi satu kesatuan sehingga dari aktivitas ini terbentuk pakaian adat seperti baju atau topi atau selendang dan aneka busana adat dari manik-manik. Sehingga aktivitas ini terkenal dengan sebutan manyee bulang manik atau manyee indulu manik. Kegiatan manyee ini lazimnya dilakukan oleh kaum perempuan. Pakaian adat Daya Taman sangat unik dan indah, karena terbuat dari manik-manik yang bermotif dan memiliki kombinasi warna yang khas serta memiliki nilai dan makna religius tersendiri.

2. 3. 2. 2. Kesenian
Dalam masyarakat Daya, tari-tarian dilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan seremonial. Namun ada juga tarian yang sifatnya untuk kepentingan umum. Pada hakekatnya tari-tarian ini merupakan selebrasi kehidupan. Ragam tarian itu menunjukkan pula identitas khas suku. Misalnya tarian Burung Enggang simbol kedekatan suku Daya dengan ciptaan. Tarian tersebut sebagai ciri bahwa suku Daya identik dengan orang yang mencintai ciptaan. Demikian halnya dengan suku Daya Taman. Mereka memiliki ragam tarian selain sebagai simbol identitas kesukuan, juga sebagai ungkapan setiap dimensi kehidupan sesuai dengan konteks ritual yang dirayakan. Misalnya daria’ so’soak. Daria’ so’soak artinya tarian gembira. Tarian gembira atau daria’ so’soak ini seringkali ditampilkan dalam upacara perkawinan.
Selain tarian dan seni merangkai manik-manik menjadi pakaian adat, juga terdapat seni menabuh aneka alat musik tradisional. Alat musik orang Taman adalah Kulintang atau Galentang ialah gong kecil atau Babandi ataupun gong yang berukuran besar yang disebut Tawak. Selain itu ada juga alat musik yang terbuat dari kayu keras yakni kayu Tuleen atau kayu Panyoo, disebut Kangkoang. Ada pula alat musik gendang atau yang disebut Tung.
Masing-masing alat musik ini memiliki jenis tabuhannya dan setiap tabuhan memiliki makna religius tersendiri. Misalnya Taba Palong ialah gong besar atau Tawak yang dibunyikan dengan birama 3 x 3 artinya ada seseorang yang akan meninggal dunia. Pembunyian gong dengan birama 3 x 3 itu maksudnya mengiringi proses penghembusan napas terakhir dari orang yang hendak meninggal dunia tersebut. Demikian halnya juga dengan alat musik seperti Kangkoang, Tung dan lain-lain, memiliki makna dan dari cara membunyikannya.

2. 4. Sistem Religi
Masyarakat Daya Taman memiliki sistem religi asli yang sangat kompleks. Mulai dari sistem religi tingkat rendah sampai tingkat yang paling tinggi. Pengertian religi atau kepercayaan dalam masyarakat Daya Taman adalah kepercayaan kepada setiap ciptaan yang di dalamnya diyakini memiliki roh (anima), yang dapat memberikan kekuatan dan kehidupan. Pengertian ini berbeda dengan religius dalam konteks teologi yang artinya sama dengan keagamaan atau kesalehan. Dalam Gereja seringkali artinya menjadi sempit yaitu segala apa yang berhubungan dengan anggota-anggota dan kongregasi.
Dari perspektif antropologi sistem kepercayaan atau religi timbul dari kesadaran umat manusia akan adanya jiwa. Sistem religi ini berevolusi dari tingkat yang paling rendah, seperti kepercayaan kepada adanya makhluk-makhluk halus, roh-roh atau hantu-hantu, ke tingkat yang paling tinggi, seperti kepercayaan kepada dewa-dewa yang menggerakkan alam, akhirnya ke tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan ini menggerakkan jiwa manusia untuk melakukan tindakan yang mencerminkan kepercayaannya itu.

2. 4. 1. Kepercayaan Kepada Wujud Tertinggi ( Alaatala)
Alaatala adalah sebutan orang Taman untuk Tuhan. Apakah sebutan Alaatala dari orang Daya Taman untuk Tuhan ini aslinya berasal dari orang Taman sendiri ataukah berasal dari luar?. Menurut Rahmat Subagyo, bahwa diantara suku-suku Daya, disamping nama-nama Tuhan yang jelas berasal dari luar seperti Sangiang, Bathara, Pohatara, Iswara, Mahatala dan Alatala, terdapat nama asli juga. Misalnya Maharaja Kulung Rahun, Datu kumahing langit, Ile Tungka Kahiangan, Tuhan Nguasa, Alaktala Ngaburiat, Raja Tontong Matanandan, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan, Ting, Datu Tantaya, Tame Tinge, Lahtala Ju’us Tuha, Lalun-nganing Singkar Olo, Tata Manah Tuah Wuka dan lain-lain. Menurut H. M. Baroamas Jabang Balunus, orang Taman menyebut Tuhan atau wujud tertinggi itu dengan sebutan Alaatala atau dalam bahasa budaya narasi orang Taman disebut Iyang suka. Alaatala merupakan sebutan asli untuk Tuhan yang berasal dari orang Taman sendiri, dan bukan sebutan yang diambil dari bahasa Arab.
Menurut Rahmat Subagyo, orang Daya termasuk suku yang menganut paham teistis (Theos-Yunani=Tuhan) yaitu mengakui Tuhan sebagai asal mula dan pemilik dunia. Tuhan dilihat sebagai wujud tertinggi yang aktif mengurus dan membimbing alam dunia dan manusia. Sejalan dengan paham itu, orang Taman mengakui Tuhan sebagai asal mula dan pemilik dunia. Tuhan atau Alaatala adalah penguasa tertinggi yang menciptakan alam semesta dan manusia.
Menurut Y. C. Thambun Anyang, kepercayaan terhadap Alaatala sudah ada jauh sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, Katolik, dan Protestan. Orang Taman percaya bahwa tujuan hidup manusia ialah Alaatala. Alaatala itu berupa roh kekal dan dianggap sebagai sumber keselamatan bagi manusia. Meskipun dianggap sebagai sumber keselamatan, orang Taman tidak memiliki upacara yang dipersembahkan secara istimewa kepada Alaatala, kecuali doa untuk meminta agar hidup selamat, terhindar dari segala penyakit dan marabahaya. Upacara untuk penghormatan dengan kurban atau sesajen diadakan untuk para arwah leluhur atau roh-roh nenek moyang. Upacara adat sebagai ungkapan religiositas asli selalu melibatkan leluhur. Upacara adat Gawai raa permohonan keselamatan bagi kehidupan manusia dialamatkan kepada Alaatala, melalui leluhur.

2. 4. 2. Kepercayaan Kepada Arwah Leluhur
Menurut H. M. Janting Baroamas Jabang Balunus, bahwa alasan penghormatan dan penghargaan yang diberikan kepada para arwah leluhur pertama-tama agar relasi dengan para leluhur dan dengan para anggota keluarga tetap hidup dan terpelihara. Kedua penghormatan dan penghargaan terhadap arwah leluhur mengandung pengertian bahwa di satu pihak para leluhur menjadi pembicara dan pengantara di rumah dan di hadapan Sang Pencipta dan Penguasa Yang Maha Tinggi demi kebaikan dan kesejahteraan para anggota keluarga yang masih hidup.
Lebih lanjut H. M. Janting Baroamas Jabang Balunus mengatakan bahwa leluhur itu diyakini sebagai yang telah bersatu dengan Alaatala maka para leluhur berperan sebagai pembicara dan perantara dari pencipta dan penguasa tertinggi yang ditugaskan untuk menjaga dan menyampaikan segala perintahnya kepada anak cucu yang masih hidup.
Hubungan spiritual antara nenek moyang dan anggota keluarga yang masih hidup bukan hanya ada dalam religiositas orang Daya Taman tetapi dapat dijumpai dalam religiositas suku bangsa lain seperti misalnya suku bangsa di pulau Timor. Nenek moyang, selain menjadi sumber motivasi, nenek moyang juga menjadi sumber kualitas religiositas yang tinggi bagi pemeliharaan dan kelanjutan serta pembaruan semangat religius anggota keluarga.
Menurut A. Daling Asdi peranan leluhur dalam kepercayaan orang Taman sangat kuat. Maka tidak mengherankan bahwa ada upacara adat yang sangat besar dan meriah dalam orang Taman yang disebut Gawai raa untuk menghormati leluhur. Kepercayaan ini dipegang teguh oleh orang Taman sampai sekarang. Dalam setiap kegiatan, para leluhur tidak pernah dapat dilupakan. Para leluhur selalu dilibatkan oleh anak cucu yang masih hidup. Selain dalam kegiatan pertanian, merantau, dan upacara inisiasi lainnya, leluhur juga dilibatkan dalam kehidupan sosial budaya dan kemasyarakatan, misalnya gotong royong membangun atau memugar Rumah Betang sebagai tempat tinggal bersama.

2. 4. 3 Kepercayaan Akan Adanya Roh
Orang Daya Taman meyakini adanya eksistensi roh. Roh dalam kepercayaan tradisional sangat berpengaruh kuat dalam kehidupan. Roh dalam bahasa Taman ialah Sumangat. Keberadaan Sumangat ini tidak hanya pada manusia tetapi juga ada pada makhluk-makhluk lain, seperti binatang dan juga pada benda-benda hidup maupun benda mati yang ada dalam alam semesta ini. Roh-roh yang ada pada setiap makhluk dan benda itu berasal dari Sang Pencipta atau Alaatala, sebab roh yang ada tersebut merupakan ciptaan Alaatala. Alaatala dengan kuasanya menciptakan langit dan bumi serta manusia bersama ciptaan lain untuk hidup dan tinggal di dalamnya.
Kepercayaan tertinggi orang Taman adalah kepercayaan kepada Alaatala. Mula-mula Alaatala dengan kuasaNya, menciptakan Sampulo, kemudian Sampulo diberi kuasa oleh Alaatala untuk menciptakan manusia. Maka, atas dasar kuasa Alaatala itu pula Sampulo diberi tugas untuk membuat manusia sesuai dengan citra Sampulo yang diciptakan oleh Alaatala sendiri. Manusia yang diciptakan Sampulo atas kuasa Alaatala itu memiliki roh yang berasal dari Alaatala sendiri. Roh yang ada pada manusia dimasukkan oleh Sampulo lewat kepala pada saat Sampulo menciptakan manusia pertama. Kepala merupakan tempat Sampulo meniupkan nafas kehidupan sehingga manusia dapat hidup, bergerak, berbicara dan berjalan. Maka ubun-ubun di kepala manusia merupakan pintu keluar masuknya roh itu.
Orang Taman meyakini keberadaan roh yang disebut Sumangat itu. Selain roh yang berasal dari Alaatala, diyakini pula keberadaan roh-roh lain sebagai lawan dari roh yang hidup dalam ciptaan Alaatala itu, yakni roh halus yang suka menangkap jiwa manusia. Dalam bahasa Taman roh halus itu disebut Sai. Dalam kepercayaan orang Taman, munculnya penyakit yang diderita oleh manusia merupakan perbuatan dari Sai yang suka menangkap jiwa manusia tersebut. Maka untuk menyembuhkan orang dari penyakitnya ialah dengan mengambil kembali roh (Sumangat) orang tersebut dari cengkraman roh halus (Sai). Untuk itu diadakanlah upacara penyembuhan pengambilan kembali Sumangat yang telah ditangkap oleh Sai itu. Upacara ini disebut dengan upacara bermanang atau Balian (bahasa Melayu) atau upacara arabalien (bahasa Taman). Upacara bermanang atau arabalien itu dikerjakan oleh Manang (Melayu), Balien (Taman). Manang atau Balien adalah orang yang memiliki kharisma tertentu dan bisa berkomunikasi dengan Sai, maka hanya merekalah yang dapat melakukan upacara penyembuhan.

2. 4. 4. Kepercayaan Terhadap Kekuatan Gaib
Orang Taman sudah sejak zaman dahulu menganut kepercayaan asli, baik animisme maupun dinamisme. Mereka percaya akan adanya makhluk-makhluk halus yang hidup di sekeliling mereka dan roh-roh yang dianggap dapat memberikan perlindungan.
Suku Daya Taman sebagaimana juga suku Daya yang lain, meyakini bahwa alam semesta didiami oleh berbagai macam makhluk. Selain manusia dan makhluk-makhluk lain yang dapat dilihat, alam semesta didiami juga oleh makhluk-makhluk yang tidak kelihatan. Makhluk-makhluk itu disebut roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib. Roh-roh halus ini dianggap memiliki kekuatan yang dapat membahayakan manusia. Kekuatan yang terdapat dalam benda-benda juga diyakini sebagai yang melebihi kekuatan manusia.

2. 4. 5. Kepercayaan Terhadap Tanda-tanda dan Fenomena Alam
Orang Taman juga menaruh kepercayaan terhadap tanda-tanda dan pratanda dari alam. Kepercayaan terhadap tanda-tanda dan pratanda dari alam dalam kehidupan mereka merupakan hal yang wajar. Meskipun demikian, tidak semua orang Taman memiliki kepandaian untuk mengartikan tanda-tanda itu. Biasanya hanya generasi tua yang bisa mengartikannya.
Pesan yang disampaikan oleh alam merupakan pernyataan dari Sang Penguasa terhadap manusia. Dari pesan itu manusia religius Taman dapat menentukan apakah suatu pekerjaan dapat dilakukan atau tidak, bahkan dihentikan, atau ditunda ke waktu berikutnya yang lebih tepat. Tanda-tanda tersebut dapat diketahui dari perilaku atau suara burung, pohon tumbang, atau dahan kayu patah. Tanda-tanda ini menghadirkan dualisme makna. Di sisi lain pertanda baik, di sisi lain pertanda buruk.

2. 4. 5. 1. Burung Bengkok
Jika orang sedang berpergian atau hendak memulai suatu pekerjaan tiba-tiba terdengar suara burung bengkok di sebelah kiri jalan dengan suara nyaring, itu berarti suatu pertanda buruk bagi perjalananya atau pekerjaannya. Selalu ada pilihan, apakah orang tersebut membatalkan perjalanan atau menghentikan pekerjaan kalau tidak mau menerima resiko yang fatal. Ataukah orang tersebut tetap melanjutkan perjalanan dan pekerjaannya tanpa mengindahkan tanda tersebut. Jika suara itu terdengar di sebelah kanan, itu berarti pertanda baik bagi pekerjaannya, maka orang ia dapat melanjutkan perjalanan atau pekerjaannya.

2. 4. 5. 2. Burung Antis
Jika orang mendengarkan suara burung antis secara tiba-tiba dengan suara yang nyaring dan terdengar di sebelah kiri, itu berarti pertanda bahaya atau berita buruk. Hal tersebut diyakini bahwa akan ada bahaya yang menghadang atau akan ada sanak keluarga yang meninggal dunia dan sebagainya. Maka lebih baik orang tersebut membatalkan seluruh kegiatannya hari itu dan segera pulang ke rumah. Jika suara burung antis itu terdengar di sebelah kanan, itu berarti pertanda baik, mujur, dan akan datang berkat berlimpah atas rencana dan pekerjaannya.

2. 4. 5. 3. Burung Elang
Pada saat perjalanan membawa orang yang sakit ke rumah sakit, ternyata ada burung elang (burung bau) yang terbang melintas di udara dan terbang melawan arah tujuan dari mereka yang berpergian, itu pertanda bahwa orang sakit tersebut tak akan terselamatkan atau pertanda bahwa ia akan meninggal dunia. Jika arah terbangnya searah perjalanan mereka, pertanda bahwa orang yang sakit tersebut dapat sembuh.

2. 5. Situasi Hidup Yang Melatarbelakangi Diadakannya Upacara Religi
Setiap upacara pasti memiliki faktor yang melatarbelakangi diadakannya upacara tersebut. Situasi hidup yang dialami oleh manusia menjadi sumber motivasi pengakuan adanya eksistensi dan karya yang berasal dari Sang Penguasa kehidupan. Pengalaman akan realitas dan kehidupan religius menjadi satu kesatuan dan tak terpisahkan, maka lahirlah aktivitas religius sebagai ungkapan pengalaman akan realitas itu seperti bersyukur dan memohon.

2. 5. 1. Bersyukur
Upacara syukur atau bersyukur dilakukan karena manusia mengalami perlindungan, pertolongan (keselamatan) dari kekuatan yang lebih tinggi daripadanya. Rasa bersyukur ini dapat diungkapkan dan diekspresikan dengan upacara-upacara besar dan istimewa ataupun secara sederhana dengan mengucapkan kata-kata atau doa, tanpa ada ungkapan yang secara lahiriah dan meriah. Misalnya orang mengucapkan syukur kepada Alaatala atas perlindunganNya selama dalam perjalanan menuju ke satu tempat dengan keadaan selamat.
Orang Taman meyakini bahwa kelayakan hidup dan kekayaan harta benda merupakan usaha manusia atas berkat atau restu Alaatala. Oleh karena itu setiap kekayaan atau harta benda yang banyak serta kedudukan yang tinggi yang telah diperoleh merupakan sesuatu yang berasal dari Alaatala. Maka wajar untuk disyukuri dengan tindakan atau upacara keselamatan.

2. 5. 2. Memohon
Orang Taman selalu memohon agar hal-hal yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia itu memberikan pertolongannya dan perlindungannya serta memberikan rezeki yang berlimpah kepada manusia yang sedang menjalani kehidupan. Hal lain yang melatarbelekangi diadakannya upacara religi ialah untuk memohon agar keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan alam semesta tetap terjaga.
Manusia senantiasa merindukan keharmonisan. Oleh karena itu ia merasa perlu menjaga relasi dengan Penguasa Tertinggi agar kehidupan di dunia ini berjalan secara harmonis. Maka intensi dibalik diakannya upacara itu ialah agar tidak terjadi malapetaka bagi manusia melainkan keselamatan. Keselamatan yang diharapkan itu dapat hadir dan dialami oleh manusia jika manusia membangun relasi yang harmonis atau mendamaikan diri dengan makhluk dan kekuatan ‘Gaya Misterius’ alam semesta ini. Setiap upacara selalu dalam maksud untuk memohonkan keselamatan.

2. 6. Ruang dan Waktu Upacara Religi
Pada umumnya upacara religi memiliki ruang dan waktu yang sakral. Upacara religi orang Taman dapat dilakukan kapan saja menurut kepentingannya. Upacara religi orang Taman tidak memiliki ruang sakral yang pasti sebagaimana layaknya dalam agama-agama resmi, melainkan di alam sekitar yang berwujud benda-benda. Alam sekitar dalam wujud benda-benda adalah tempat yang sakral untuk mengadakan upacara religius. Misalnya pohon-pohon besar, sungai sebagai tempat menyucikan diri. Alam dipandang sebagai ruang yang sakral. Maka alam dapat menjadi tempat sakral untuk pemujaan atau penghormatan kepada Penguasa Tertinggi atau kepada arwah leluhur.
Demikian halnya juga dengan waktu atau sakralitas waktu. Tidak ada waktu khusus yang secara formal ditetapkan sebagai hari besar atau hari suci dalam religiositas orang Taman. Hal ini dapat difahami sebagai acara pengungkapan religius orang Taman yang dilakukan berdasarkan kepentingan upacara tersebut. Adapun bentuk-bentuk religi itu ialah ritual pemujaan dan ritual penghormatan.

2. 6. 1. Ritual Pemujaan
Pemujaan terhadap Alaatala dilakukan dengan kata-kata. Pemujaan semacam ini lebih menekankan unsur batin, yakni kepercayaan kepada Wujud Tertinggi. Pemujaan kepada Alaatala dalam tradisi kepercayaan asli orang Taman tidak didasarkan pada pewahyuan diri Tuhan dalam sejarah lewat orang-orang pilihanNya , melainkan bertumbuh dari pengalaman hidup, yakni hari-hari gembira dan hari-hari sedih. Dalam kegembiraan dan kesedihannya, orang Taman selalu menyapa Alaatala. Karena dalam hati mereka merasakan adanya kekuatan yang menaungi hal ihkwal insaninya.
Kata-kata untuk memuja dan menjunjung kebesaran dan keagungan Alaatala diucapkan ketika bernasib mujur, mendapat rezeki, atau selamat dari bahaya atau peristiwa kelahiran. Kata-kata mengeluh dan meminta pertolongan diucapkan ketika bernasib sial mendapat penyakit dan tertimpa musibah, bencana alam dan kematian salah seorang anggota keluarga dan lain-lain.
Alaatala diyakini sebagai pencipta dan sumber keselamatan bagi kehidupan manusia. Meskipun demikian, tidak ada bentuk ritual yang secara khusus dilakukan untuk memuja Alaatala sebagai pencipta dan sumber keselamatan bagi manusia tersebut. Pemujaan yang dilakukan hanya berbentuk doa yang diucapkan atau diserukan, namun tidak memiliki rumusan yang pasti. Seruan diucapkan secara spontan, misalnya ketika ada yang mengalami kesulitan hidup, ia mengucapkan kata; O, Alaatala, mondokngo, kamanse’i jajinam. (O, Tuhan Allah, datanglah segera, kasihanilah kami ini).

2. 6. 2. Ritual Penghormatan
Rahasia kehidupan dalam dunia ini dalam pandangan kepercayaan asli tidak dipikirkan secara teoritis ilmiah untuk menyusun suatu tata kosmik. Manusia yang hidupnya masih menjiwai unsur kepercayaan asli, menemukan bahwa hidupnya bergantung dari alam, dan bila ia selaras dengannya hidupnya akan beres. Maka dalam hal ini keselarasan itu ditentukan oleh ritual sebagai bentuk penghormatan kepada penguasa alam.
Dalam tradisi religius orang Taman, Alaatala-lah yang menjadi penguasa atas alam ini, namun yang berperan sebagai perantara antara manusia dengan Alaatala adalah leluhur. Oleh karena itu pemujaan dan penghormatanpun secara istimewa lebih tertuju kepada para leluhur untuk memohonkan keselamatan hidup bagi anak cucu. Penghormatan kepada leluhur dilakukan pula sebagai ungkapan syukur karena mereka telah berhasil menjadi pengantara antara Alaatala dengan manusia yang masih hidup.
Manusia yang hidup, telah mengalami apa yang diharapkan dari Alaatala berkat peran yang dijalankan secara baik oleh para leluhur bagi kehidupan manusia. Upacara Gawa raa merupakan satu dari sekian banyak upacara penghormatan, khususnya untuk menghormati leluhur terkait dengan perannya menyampaikan permohonan keselamatan kepada Alaatala.

2. 7. Kesimpulan
Uraian diatas menegaskan bahwa kepercayaan dan keyakinan tradisional orang Taman bukan pembawaan atau jiplakan dari ajaran-ajaran Hindu, Budha, dll. Kehidupan religiositas orang Taman murni lahir dari konteks kehidupan orang Taman. Kehidupan religius yang bersumber dari kepercayaan asli menjadi dogma dari para leluhur yang dianut turun-temurun. Beragam corak yang melatarbelakangi kepercayaan asli itu oleh orang Taman dijadikan dasar kehidupan religiositasnya. Selanjutnya dibahas mengenai upacara adat Gawai raa yang merupakan identitas kultural dan upacara keselamatan dalam kehidupan religiositas orang Taman.