Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Kamis, 23 September 2010

Misi dan Kearifan Lokal


Misi dan Kearifan Lokal
(Oleh: Cosmas Ambo Patan)

I. Pendahuluan

Misi Gereja adalah partisipasi aktif dalam misi Allah. Misi Allah di tengah dunia menjadi nyata sebagai misi Gereja. Gereja dikatakan sebagai “misi ”, sejauh ia melaksanakan rencana keselamatan Allah dan menghantar manusia kepada Allah. Dengan demikian Gereja pada hakekatnya adalah Gereja bersifat misioner . Gereja yang misioner tidak terlaksana dalam satu atau dua dimensi kehidupan manusia, tetapi terlaksana dalam keseluruhan dimensi yang terkait dengan manusia di dunia ini. Misi perlu semangat ’kerekanan’. Misi Gereja yang demikian adalah misi yang bersifat holistik. Misi Gereja yang bersifat holistik adalah juga misi yang bersangkut paut dengan kehidupan sosial. Namun ketika berbicara soal kehidupan sosial maksudnya adalah bagaimana menghubungkan misi Gereja dengan konteks sosial budaya setempat. Gereja yang bermisi bersentuhan dengan realitas misi yang tak lain adalah misi dalam perspektif Gereja lokal . Gereja bermisi di area lokalnya dan sedapat mungkin menggunakan cara-cara lokal. Gereja yang bermisi dalam budaya setempat tidak bermaksud mengadakan serangkaian gerakan untuk menarik orang-orang dari keterasingan budayanya, tetapi menariknya untuk menyadari arti pentingnya budaya dan dari sana Gereja hadir untuk mengajak masyarakat hidup sesuai dengan nilai-nilai Injil.
Karya misi Gereja bertemu dan bergaul dengan unsur-unsur yang berada di luar Gereja seperti agama-agama, kebudayaan-kebudayaan setempat, situasi sosial kemasyarakatan dan mengajak mereka itu berziarah menuju kepada Allah . Maka dalam hal ini yang mau diajak untuk berziarah bersama menuju Allah ialah masyarakat lokal sebagai umat Allah yang memiliki budayanya sendiri. Mengapa? Karena setiap masyarakat memiliki budayanya. Dan budaya itu membingkai kehidupan masyarakat yang memilikinya. Dari budaya itu sendiri lahir tata nilai, ukuran-ukuran dan kekayaan luhur hidup religius. Setiap kelompok masyarakat memiliki ide-ide kearifan lokal budayannya. Kearifan lokal biasanya lahir dari konteks budayanya, lahir dari cara pandang manusianya terhadap alam sekitar, terhadap sesama ciptaan, ataupun lahir dari ide-ide religius yang dihayati dalam hidupnya.
Kearifan lokal tentu memiliki tujuan yang mau dicapai antara lain nilai luhur kehidupan. Nilai yang hendak dicapai tentu juga akhirnya bermuara pada keutuhan sebagai ciptaan. Keutuhan ciptaan itu diperjuangkan dan itu identik dengan keselamatan dalam perspektif masyarakat lokal. Ide kearifan lokal inilah yang merupakan suatu visi dan misi sekaligus yang dijalankan oleh masyarakat lokal. Lantas bagaimana korelasi ide kearifan lokal ini dengan misi keselamatan Allah dalam Gereja?. Apakah ada kemungkinan bagi Gereja bermisi dari konteks kearifan lokal masyarakat? Dan apakah kearifan lokal dapat menjadi peluang sebagai rekan Gereja dalam bermisi?. Bagaimana praktek misi berangkat dari kearifan lokal masyarakat setempat?.
Tulisan ini pertama-tama bukanlah suatu usulan tetapi suatu upaya pencarian bagaimana merancang bangun misi secara kontekstual berangkat dari upaya pencarian cara baru menggereja dan memasyarakat. Misi yang hendak dicapai ialah misi yang integral yakni terarah kepada Allah sang pencipta yang merupakan tujuan seluruh ciptaan.

II. Konsili Vatikan II dan Anjuran Misi Melalui Budaya
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjumpaan antara ide kearifan lokal dengan Gereja yang bermisi, penulis akan mengulas terlebih dahulu kesadaran-kesadaran Konsili mengenai perjumpaan Injil dan kebudayaan sebagai suatu gerek misi yang diperbaharui. Kesadaran-kesadaran akan budaya bangsa-bangsa inilah yang menjadi latarbelakang kemungkinan adanya titik temu kearifan budaya sebagai arena ataupun rekan sekaligus bagi Gereja dalam melakukan karya misi yakni sesuai dengan cara-cara setempat.

2. 1. Gereja dan Pewartaannya Melihat Budaya Sebagai Medan Misi
Kesadaran mendalam Gereja mengenai pentingnya peran budaya bukan sesuatu yang sangat baru sama sekali. Gereja melihat pertama-tama bahwa Injil harus diwartakan ke seluruh bangsa kepada umat yang berkebudayaan lain . Keselamatan Allah menurut iman kristiani merupakan tugas perutusan Gereja, tujuannya ialah agar semua bangsa mengenal Yesus Kristus, Tampak bahwa misi memiliki identitas kerygmatis . Meski demikian pewartaan tidak berhenti pada bangsa-bangsa sebagai sasaran pewartaannya, tetapi perutusannya mencakup keseluruhan dimensi yang terdapat dalam bangsa-bangsa itu termasuk kebudayaannya termasuk apa yang mengalir dari budayanya itu. Dengan kata lain perutusan Gereja untuk mewartakan injil tidak mengenal batas-batas apapun dalam penyampaian keselamatannya menurut kepenuhan hidup yang dibawa oleh Kristus (RM. 31).

2. 2. Gereja Melihat Budaya Sebagai Rekan Misi
Anjuran Konsili Vatikan II yang sangat menonjol ialah bahwa Gereja mesti Menghargai, Membuka Diri, dan Bekerjasama dengan Budaya. Gereja dianjurkan untuk membuka diri terhadap budaya bangsa-bangsa. Dalam hal ini yang paling menonjol ialah soal bahasa, misalnya peranan bahasa tampak dalam konteks liturgi. Demikian juga bahwa bahasa sebagai unsur budaya yang berfungsi sebagai alat komunikasi sangat penting dalam karya misi . Budaya sebagai unsur yang melahirkan sarana bermisi. Bahasa sebagai sarana komunikasi dalam evangelisasi yang di dalamnya termasuk cara pendekatan yang mengajak misionaris atau pewarta firman harus memperhatikan dan berusaha memahami kata-kata dari bermacam-macam bangsa dan kebudayaan. Tujuannya ialah agar tidak hanya belajar dari masyarakat, tetapi juga membantunya untuk mengetahui dan menerima pewartaan. Gereja mendukung masyarakat lewat budayanya mencari tujuan hidupnya, lagipula bahwa Gereja harus mewartakan pesannya dalam suatu cara yang sesuai dengan setiap zaman dan kebudayaan dari masing-masing bangsa dan masyarakat secara istimewa melalui cara-cara lokal .
Dalam Liturgi, bahasa menempati peran yang sangat vital, seperti SC. 37 memberi penegasan prinsip Gereja berhadapan dengan pluralitas. Dengan kata lain, Gereja mengambil sikap hormat dan menyokong kekayaan kultural dari segenap masyarakat. Maka inkulturasi menjadi suatu kata yang cukup sering didengar dalam pembahasan mengenai teologi misi tarutama, misiologi, dan studi mengenai liturgis.
Dalam dokumen-dokumen resmi Gereja, kata yang sering digunakan merujuk pada inkulturasi adalah kata adaptasi. SC sendiri tidak menggunakan kata inkulturasi secara langsung. Di beberapa bagian, terdapat kata dalam bahasa Latin, adaptatio dan accomodatio, yang merujuk pada inkulturasi. Kata adaptatio sebagaimana digunakan dalam SC berarti penyesuaian. Sementara dengan kata accomodatio, ingin ditunjukkan usaha mengakomodasi unsur-unsur kebudayaan masyarakat setempat. Keduanya merupakan kata yang dipakai saling melengkapi sehingga tidak dimaksudkan satu sama lain saling mengeksklusifkan. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa dengan kata accomodatio, diskursus inkulturasi sampai pada simpulan sifat kompromi Gereja atas unsur-unsur kultural masyarakat setempat. Jika demikian, apakah ada kemungkinan bahwa perjumpaan Gereja dengan kearifan lokal bersifat akomodatif?. Pemahaman Konsili Vatikan II dapat diterima dalam arti bahwa dalam kata accomodatio ditunjukkan dinamika interaksi kultural yang lebih bersifat ’dibawa serta’, artinya perjumpaan unsur-unsur kebudayaan masyarakat seperti ide kearifan lokal dapat saja terjadi dengan misi Gereja dan saling membawa serta.

III. Konteks Misi Gereja Asia
Asia merupakan benua yang memiliki aneka suku bangsa dan budaya. Melalui budaya setiap gerakan kehidupan dan bagi permasalahan sosial terus diupayakan . Keputusan sidang FABC sebagai magisterium lokal di Asia mencapai kesepakatan bahwa misi di Asia menawarkan suatu cara bermisi khas Asia dalam mewartakan Injil. Cara itu berlangsung dalam dialog terus menerus, rendah hati, dan mencintai dengan masyarakat miskin di Asia, dengan kebudayaan setempat, dengan tradisi agama lain, mengakui keseimbangan yang saling melengkapi, yang terjadi di dalam masyarakat, kebudayaan, tradisi agama dan pandangan dunia . Lebih kompleks lagi potret misi dalam konteks situasi hidup masyarakat Asia merefleksikan ketertindasan ciptaan baik manusia maupun alam dan lingkungan hidup.
Misi merupakan kesaksian Gereja dalam konteks lokal. Setiap anggota Gereja melalui caranya menghayati iman Kristiani harus menjadi saksi bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Georg Kirchberger bahwa Gereja Asia harus menjadi bagian dan kenyataan aktual konkret bagi masyarakat . Begitu juga Gereja mesti masuk ke dalam inti sari atau jantung kehidupan sosial kemasyarakatan suatu umat yang dilayani.

3. 1. Misi Gereja Melalui Budaya Setempat
Masyarakat yang beragam di Asia masing-masing memiliki tradisi atau budaya harmoni sesuai dengan nilai luhur budaya yang dijunjung tinggi yang sebetulnya dapat disebut sebagai kearifan lokal. Setiap budaya memiliki nilai luhur yang dapat membantu umat yang dilayani sadar akan arti pentingnya nilai kehidupan itu. Tugas perutusan Gereja di sini adalah bagaimana melayani Allah melalui nilai luhur budaya setempat. Allah mesti dikenal melalui kebijakan lokal dan kejeniusan lokal yang telah dimiliki oleh masyarakat itu. Gereja menggunakan apa yang telah terkandung dalam budaya tertentu, yang dapat membantu manusia hidup lebih manusiawi sesuai dengan nilai luhur budayanya. Itulah tugas perutusan Gereja dalam budaya setempat.

3. 2. Misi yang dibangun atas Ide Kearifan Lokal
Masyarakat memiliki berjuta nilai luhur budaya berupa kearifan lokal yang daripadanya kehidupan dapat dihayati . Masyarakat Asia memiliki ciri khas hidup yang dibangun dari kearifan lokal. Dalam pelbagai dimensi kehidupan masyarakatnya, ciri-ciri itu tampak misalnya berupa ungkapan-ungkapan kearifan lokal sesuai dengan dimensi hidup yang ingin dihayati. Misi yang kontekstual adalah juga suatu model menggereja yang dibangun dari ide kearifan lokal masyarakat yang cinta akan budayanya. Melalui upaya membangun iman, Gereja harus hormat terhadap kearifan lokal budaya setempat. Zaman sekarang adalah zaman setiap gerakan untuk kembali menelusuri jejak-jejak kesuksesan masa lalu nenek moyang bangsa dalam menata peradaban hidupnya.
Para misionaris berpikir bahwa model misi yang dibangun dari kearifan lokal, akan membantu cara berteologi dan berpastoral yang dapat memberi isi dan kekayaan iman yang diwartakan. Karena kearifan lokal itu mengandung rasa percaya awal umat yang hidup dari budaya itu. Kearifan lokal menjadi lahan yang subur bagi berkembangnya iman yang diwartakan.

IV. Masyarakat dan Kearifan Lokal Budaya di Indonesia
Masyarakat dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Di Indonesia, kearifan lokal dikenal sangat beragam sesuai dengan keragaman suku-suku, adat dan kebudayaan serta religiusitasnya. Demikian juga terdapat aneka gerakan berdasarkan kearifan lokal tersebut sesuai dengan masalah yang dihadapi masyarakat. Misalnya perjuangan suatu organisasi seperti Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meyakini bahwa solusi terhadap semua persoalan kehutanan di Indonesia hanyalah kearifan adat. Kearifan lokal yang pro terhadap budaya atau adat yang berbasis komunitas ini merupakan potensi sosial-budaya yang sangat besar untuk direvitalisasi, diperkaya, diperkuat dan dikembangkan sebagai landasan baru menuju perubahan hidup masyarakat yang lebih baik .
Terdapat slogan kearifan lokal sebagai gambaran eksistensi hidup masyarakat itu sendiri. Kearifan lokal biasanya ditampilkan dengan ungkapan-ungkapan, slogan-slogan dan lebih banyak digunakan sebagai visi-misi suatu dari masyarakat dalam memperjuangkan pelbagai dimensi hidupnya Misalnya ungkapan masyarakat adat Dayak: ‘Adil Ka Talino, Bacuramin Ka Saruga, Basengat Ka Jubata’, mengandung nilai-nilai budaya leluhur. Jika diuraikan, kalimat ‘Adil Ka Talino’ mengandung makna terwujudlah keadilan di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan kalimat ‘Bacuramin Ka saruga’ mengandung makna semoga kiranya apa yang terjadi di Surga demikianlah juga di bumi, dimana tidak ada lagi orang yang bodoh dan dibodohkan, tidak ada lagi orang miskin dan dimiskinkan, tidak ada lagi orang sakit dan disakitkan, tidak ada segala kekurangan karena tolok ukur adalah kehidupan di surga. Kemudian kalimat ‘Basengat Ka Jubata’ mengandung makna sesungguhnya manusia hanya bergantung kepada Jubata atau Allah Yang Maha Esa.
Ada rupa-rupa ide kearifan lokal yang melahirkan suatu gerakan masyarakat di bidang pemberdayaan masyarakatnya seperti pemberdayaan ekonomi masyarakat. Gerakan ekonomi rakyat juga mengalir ide kearifan budaya sesuai dengan konteks situasi sosial ekonomi masyarakat lokal. Gerakan ini harus dipahami sebagai suatu proses misi di mana lembaga masyarakat adat dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya dan membentuk suatu pola kemitraan. Kebijakan Masyarakatdi bidang ekonomi seperti ini bercita-cita mewujudkan suatu kesejahteraan, jaminan sosial, dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi masyarakat. Contoh yang sangat aktual ialah seperti gerakan Credit Union (CU), CU membantu masyarakat untuk maju dalam tiga hal yakni Pendidikan, swadaya, dan solidaritas .

4. 1. Keragaman Budaya Masyarakat Indonesia: Tantangan dan Peluang Bagi Misi
Pembicaraan mengenai konteks masyarakat dan budaya di sini bukan terarah pada suatu penelusuran sejarah. Namun terarah pada potret keprihatinan yang belum diraba oleh Gereja yang missioner itu secara serius. Problem keprihatinan itu diangkat dalam pembahasan karena dilihat sebagai tantangan sekaligus peluang untuk menjalankan sebuah misi. Indonesia adalah bangsa yang kaya budaya masyarakatnya. Dari kekayaan budaya itu lahir kebijaksanaan-kebijaksanaan hidup. Demikian juga Gereja di Indonesia bersentuhan dengan kekayaan budaya masyarakat di wilayah misi. Aneka peristiwa sosial budaya merebak di Indonesia melatarbelakangi pemikiran cara baru menggereja sesuai dengan konteks kesepakatan lokal. Maka Gereja di Indonesia sepakat menbangun suatu Habitus Baru. Habitus Baru bertujuan mewujudkan cara-cara yang khas Indonesia, tentu semangat baru yang sesuai dengan nilai-nilai Injil dengan membentuk cara merasa, cara berpikir, cara memahami, cara mendekati, cara bertindak, dan cara berelasi.

4. 1. 1. Tantangan
Masyarakat Indonesia zaman sekarang ini sulit melestarikan budayanya. Suatu budaya kerap dilihat sebagai satu dari sekian banyak nilai-nilai. Generasi muda tidak lagi cinta terhadap budayanya sendiri. Kebudayaan massa lebih menarik dan akibatnya ia tidak memiliki identitas budayanya lagi. Karakter hidupnya sebagai manusia yang berbudaya menjadi lenyap, dengan demikian karakter hidupnya pun hilang. Karena tidak adanya perhatian yang mendalam terhadap keunikan yang lahir dari budayanya sendiri. Semangat kagum terhadap kekayaan budaya lokal menjadi tiada. Inilah problem tenggelamnya identitas yang mau ditonjolkan sebagai manusia yang memiliki identitas budaya . Situasi hilangnya minat dan kecintaan manusia dam masyarakat dengan semakin tenggelamnya karakter unsur budaya dan minat terhadap keunikan unsur budaya menjadi tantangan misi yang hendak dijalankan.

4. 1. 2. Peluang
Akan tetapi kalau diperhatikan dan disadari sungguh-sungguh, masyarakat atau dunia sekarang sedang berupaya untuk kembali berpegang pada kearifan lokal termasuk untuk mengatasi situasi yang dilihat sebagai tantangan. Banyak problem di dunia saat ini yang melatarbelakangi gerakan bangsa-bangsa kembali kepada kearifan lokal. Misalnya misi peyelamatan bumi dari efek pemanasan global, melihat kerusakan alam dan lingkungan setiap kelompok masyarakat kembali menghidupkan semangat harmoni dengan alam dan lingkungan, dan lain-lain. Dengan fenomena demikian, Gereja mesti memanfaatkan peluang ini. Gereja sebagai perwujudan misi Allah pertama-tama membawa kembali umat kepada kesadaran merangkul nilai budaya itu dan mengembangkannya sebagai identitas. Gereja tidak bisa menutup mata dengan nilai-nilai positif budaya seperti kearifan lokal yang dapat menjadi patnernya mewujudkan karya keselamatan Allah di dunia ini. Maka Gereja harus merangkul nilai-nilai luhur yang terkandung dalam setiap kerarifan lokal masyarakat itu. Setiap budaya yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat memiliki nilai luhur untuk membawa hidup masyarakatnya ke arah yang lebih baik pula.

4. 2. Kearifan Lokal Budaya Masyarakat Sebagai Rekan Misi
Setiap manusia dan budayanya itu memiliki kebijakan-kebijakan atau kejeniusannya (local wisdom atau local genius). Dari kebijakan lokal atau kearifan lokal lahir suatu kekuatan, suatu identitas, suatu cara untuk menghayati hidup. Sudah banyak para misionaris yang melakukan misi atas dasar kerjasama dengan masyarakat setempat yakni dengan kearifan-kearifan budaya lokal. Perlu disadari bahwa Injil dan pemginjilan tidak sama dengan kebudayaan dan bersifat independen terhadap demua kebudayaan, meskipun begitu kerajaan Allah yang diwartakan lewat penginjilan dihayati oleh manusia yang secara sangat mendalam terikat pada suatu kebudayaan. Maka perwujudan Kerajaan Allah tak dapat tidak, harus meminjam unsur-unsur dari kebudayaan masyarakat (bdk. EN. 20). Dengan demikian boleh dikatakan bahwa kearifan lokal sebagai salah satu unsur yang terdapat dalam kebudayaan itu.
Praktis misi yang berkolaborasi dengan kearifan lokal dapat berupa kepedulian terhadap alam dan lingkungan hidup. Dari sana tercermin pembangunan bagi mental kemanusiaan yang diharapkan bermuara pada semangat yang sesuai dengan Injil. Dalam hal ini ditampilkan sorang misionaris lokal yang peduli terhadap nilai-nilai kearifan budaya dan mempraktekkannya dalam pelayanan. Seorang tokoh yang menjadikan kearifan lokal sebagai arena misinya adalah Romo Vincentius Kirdjito. Sejak 2004, ia merintis program live in “Edukasi Berbasis Alam dan Budaya Merapi” . Berkat usahanya yang dibangun di Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang sudah 7000 orang yang datang belajar menghargai alam. Romo Vincentius Kirjito, PR berangkat dari ide mengenai kearifan lokal. Muatan kearifan itu bicara soal air, seni, dan budaya tani masyarakat lereng Merapi. Bersama masyarakat setempat, Romo Kirdjito membentuk Gerakan Masyarakat Cinta Air. Gerakan ini timbul dari kesadaran masyarakat sekitar Merapi akan pentingnya air sebagai sumber penghidupan . Rm Kirdjito berpendapat bahwa Sumber Air di pegunungan tidak boleh dieksploitasi. Dengan melestarikan kawasan sumber air dan sekitarnya, kita dapat menghirup udara bersih, tanah subur, dan lahan pertanian gembur. Keselarasan dengan alam itu perlu dibagikan seluas-luasnya pada masyarakat supaya kearifan lokal yang sudah ada seyogyanya dihidupi dan dihayati sebagai iman yang direfleksikan dalam budaya yaitu budaya seni, tani, dan religiusitas.
Misi juga mengalir dari budaya setempat yakni inkulturasi yang menyapa umat dengan kekayaan khasanah Jawa. Romo Kirdjito tidak hanya berhenti dengan memakai pakaian adat setempat, pun pula sarana prasarana lain; gamelan, wayang orang. Ia justru beranjak dari kekayaan khasanah Jawa tersebut untuk membantu umat menyadari bahwa kekayaan khasanah Jawa tersebut seharusnya mendorong umat untuk makin mencintai lingkungan, tempat mereka tinggal. Dengan demikian, liturgi yang dirayakan menyapa umat setempat dan mendorong perwujudan iman. Misi berkaitan dengan kontekstualisasi. Bahwa teologi lahir sebagai refleksi iman dari dinamika kehidupan. Dimensi pertama ialah adanya korelasi khasanah budaya Jawa, kearifan lokal, dan iman Katolik, yakni mengangkat pengalaman hidup masyarakat sehari-hari dalam terang Injil.
Melalui ide kearifan lokal yang sejalan dengan iman kristiani, umat diajak untuk memerangi fenomena penindasan yang dilakukan manusia terhadap alam yang merusak lingkungan hidup sekitar. Misi dilihat sebagai arena promosi keadilan lewat perayaan kehidupan menurut cara dan kolaborasi dengan ide kearifan lokal. Dalam cara ini masyarakat dimotivasi untuk mengenali nilai kehidupan yang lebih tinggi dari perjuangan melalui kearifan lokal, agar kehidupan yang diperjuangkan itu diresapi Injil dan Injil sendiri semakin subur dalam kehidupan umat. Kearifan lokal tidak hanya sebagai arena misi tetapi juga akhirnya sebagai ‘sahabat’ misi, karena di sini nilai-nilai hidup itu diperjuangkan dan iman diwartakan, dihayati, dan dihidupi.

V. Penutup
Gereja harus terus menerus melaksanakan perutusannya dengan semangat baru yang dituntun oleh Roh Kudus. Perjumpaan misi dan kearifan lokal sebagai suatu unsur budaya bukan tidak mungkin sebagai suatu ‘rekan seperjalanan’ dalam mewujudkan Kerajaan Allah. Tetapi soalnya adalah kesadaran bermisi bagi Gereja bersama dengan kearifan lokal belumlah mencapai kesempurnaannya. Tidak dapat dihindari bahwa nilai-nilai budaya yang hendak diwujudkan melaui kearifan lokal itu masyarakat itu kaya akan spiritualitas yang sejalan dengan Injil.
Pertautan misi dengan kearifan lokal budaya masyarakat ini dalam misi itu sendiri dapat diartikan sebagai; Pertama, Gereja bertugas merangkul nilai dari suatu unsure budaya dalam rangka misi itu. Gereja menjadi aktor yang melakonkan suatu gerakan yakni menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya dan jati diri kebudayaan. Kedua, Gereja menjadi pengejahwantahan berbagai wawasan dan nilai kehidupan yang diperjuangkan masyarakat melalui kearifan lokalnya. Ketiga, Gereja harus menjadi agen perubahan bagi kehidupan masyarakat bersama masyarakat untuk masyarakat sesuai dengan Injil mengarahkan hidup kepada keselamatan Allah.
Dari pihak masyarakat dituntut adanya keterbukaan akan nilai Injil yang membawa terang bagi kearifan budaya lokalnya terutama dalam memperjuangkan hidupnya. Dengan hanya demikianlah misi dapat menemukan rekan seperjalanan, sebaliknya kearifan lokal masyarakat diresapi oleh semangat Injil. Jika hal itu diperhatikan, jelas bahwa misi Gereja dan kearifan lokal itu dapat saling ‘membawa serta’, dengan demikian dapat menjadi rekan satu sama lain.


KEPUSTAKAAN
Dokumen:

Ad Gentes (AG), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Kegiatan Misioner Gereja

Evangelii Nuntiandi (EN), Imbauan Apostolik Paus Paulus VI Tentang Karya Pewartaan Injil dalam Zaman Modern

Sacrosanctum Concilium (SC), Konstitusi Kosili Vatikan II Tentang Liturgi Suci

Inter Mirifica (IM), Dekrit Konsili Vatikan II Tentang Upaya-upaya Komunikasi Sosial

Redemptoris Missio (RM), Ensiklik Paus Yohanes Paulus II tentang Amanat Misioner Gereja

Eclessiae in Asia (EA), Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II Pasca Sinodal

Buku:
Campbell, E. Robert, The Church in Mission, New York: Orbis Books, 1965.

Eilers, Franz Josef, Berkomunikasi dalam Pelayanan dan Misi, Yogyakarta: Kanisius, 2008

Hardawiryana, R, dan Siswoyo, Sumartara, (Ed), Dokumen Sidang FABC 1995-1998, Jakarta: DokPen KWI-Obor, 1998

Isharianto, Rafael CM (Ed), Pergumulan Iman Kristiani di Tengah Pasar Budaya, Malang: Widya Sasana Publication, 2010

Kirchberger, Georg, Gereja Berwajah Asia, Flores-NTT: Nusa Indah, 1995

Kroeger, James H, Living Mission; Challenges in Evangelization Today, New York: Orbis Books (Publications by Claretian Publications Quezon City Philippines), 1994

Sa’u, Andreas Tefa, Etnologi dan Tugas Perutusan, Ende Flores: Nusa Indah, 2006.

Prior, John M, dan Pa, Patris, (Ed), Kisah Yesus di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Jakarta: Komisi Karya Misioner KWI, 2007

Woga, Edmund, Dasar-Dasar Misiologi, Yogyakarta: Kanisius, 2002.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar