Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Selasa, 15 Juni 2010

AGAMA SAMAWI dan BUDAYA


AGAMA SAMAWI dan BUDAYA
Kosmas Ambo Patan


Pengantar

Agama lahir dari kerinduan manusia untuk mengenal dan mengetahui sesuatu yang lebih dulu menyatakan diri kepada manusia. Oleh karena adanya kepercayaan akan hal yang menyatakan diri itu, maka munculah suatu tanggapan dari manusia. Agama dalam hal ini meliputi seluruh fenomena yang berkaitan erat dengan suatu relasi khusus antara manusia dengan yang mengatasi manusia atau dengan yang transenden. Agama sebagai suatu system kepercayaan memiliki karakter sebagai suatu cara pengungkapan religiusitas manusia. Karakter pertama ketergantungan manusia terhadap kekuatan yang melampui dirinya, karakter yang kedua pencarian akan kekuatan itu melalui pengalaman-pengalaman religius. Dalam agama Samawi diyakni ada relaitas transenden. Realitas tertinggi yang menyingkapkan diri melalui pengalaman manusia. Dari sinilah manusia sadar bahwa terdapat suatu kekuatan yang mengatasi dirinya yang patut diberi penghormatan secara istimewa. Kekuatan itu tunggal dan melampui kekuatan-kekuatan lainnya. Manusia merasa memiliki keterikatan dan relasi dengan kekuatan di luar dirinya itu. Kekuatan itu diyakini sebagai Allah Yang Esa atau Alah Yang Mahakuasa.

1. Agama Samawi dan pengertiannya

Karakter agama dengan demikian pertama-tama, dilihat sebagai sesuatu yang mencakup segala perwujudan dan bentuk hubungan manusia dengan yang Adikodrati. Kedua, Terhadap yang Adikodrati itu, manusia merasa diri kecil, dan menggantungkan diri kepada yang adikodrati tersebut. Yang Adikodrati membuat manusia takut atau takwa karena sifatNya yang dahsyat; tetapi sekaligus juga membuat manusia tertarik kepadaNya (tremendum et fascinoscum). Istilah Adikodrat dari suatu pengalaman para pendiri agama-agama, yang lazimnya dinamai wahyu. Wayhu ini mencakup pandangan tentang Yang Ilahi itu sendiri, asal-usulnya, tentang akhirat, tentang tuntunan akhlak/moral serta cara-cara beribadat. Biasanya apa yang diterima sebagai wahyu dicantumkan dalam Kitab yang dinamakan Kitab Suci. Dalam hubungan dengan hal tersebut kita dapat mengatakan bahwa agama samawi adalah agama yang benar-benar berasal dari Yang Ilahi tersebut, datang dari yang Adikodrati. Singkatnya datang dari Tuhan sendiri. Oleh karena agama Samawi itu berasal dari Tuhan, atau yang tansenden, atau yang Adikodrati maka sebagai pegangan iman, agama tersebut memiliki Kitab Sucinya.
Menurut pandangan Islam, agama Samawi adalah agama yang bertalian dengan langit atau agama langit. Agama juga adalah soal keyakinan. Agama Samawi berarti agama monoteisme yang menaruh keyakinan dan kepercayaan hanya kepada satu Allah. Y.W.M Bakker berpendapat bahwa dasar gerakan agama ialah suatu kepercayaan kepada yang datang dari yang Adikodrati. Agama tersebut berasal dari Tuhan. Agama samawi adalah agamanya murni dari Tuhan, benar-benar berasal dari Tuhan Oleh karena datang dari yang Adikodrati, maka agama tersebut bersifat Adikodrati.

2. Agama dan Budaya: Persoalan Sakral dan Profan

Letak persoalan antara agama ini dan budaya, adalah bahwa agama dengan demikian tidak bisa dicampuradukkan dengan budaya. Alasannya ialah agama dipandang sebagai yang tidak termasuk atau sesuatu yang diluar kebudayaan yang memfondasikan diri pada daya dan kekuatan manusia meskipun semua bentuk lahiriah dari suatu agama masuk dalam kriteria kebudayaan. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Edward Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Agama dan sistem kepercayaan lainnya seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia.
Dalam hal ini budaya di dalamnya terkandung kepercayaan. Kepercayaan merupakan bagia dari budaya manusia. Namun yang menjadi dasar perbedaannya dinyatakan dalam istilah sakral dan profan. Arti dari profan adalah benda dihasilkan oleh manusia untuk kepentingan manusia sehari-hari misalnya pakaian makanan, minuman pendeknya segala sandang, pangan, papan yang berasal dari alam nyata disekitar manusia. Sedangkan hal yang sakral benda yang asalnya dari kekuatan adikodrati, dan diperuntukan bagi kegiatan adikodrati, yang berasal dari yang Ilahi adikodrati. Pertanyaan selanjutnya kapan dapat dikatakan profanasi dan kapan dikatakan sakralisasi? Terjadi Profanasi kalau apa yang masuk kedaulatan Allah, dijadikan sesuatu untuk kepentingan otonomi manusia. Bagaimana hal ini bisa dipahami? Profanasi dalah sikap konkret. Ialah semua benda yang dianggap sakral dijadikan sebagai yang penting dalam hidup manusia. Kemudian terjadi sakralisasi kalau sesuatu yang profan diperlakukan sebagai adikodrati, misalnya kalau pakaian sehari-hari yang kita kenakan ditingkatkan nilainya, maka yang terjadi saat itu adalah apa yang disebut sebagai sakralisasi. Terjadi desakralisai bila semua nilai profan dipropagandakan dalam keagamaan semu.
Sekularime, arti dan mengapa terjadi sekularisme. Sekularisme adalah paham yang sama sekali tidak mementingkan nilai-nilai agama Sekularisme terjadi bila hidup di dunia ini tidak mengalami relasi yang intim lagi dengan keagamaan. Hidup manusia yang tergerak oleh semangat sekularisme tentu tidak akan mempedulikan apa dan bagaimana agama berperan dalam kehidupannya, artinya arah hidupnya tidak difondasikan pada ajaran agama atau kepada yang Adikodrati. Dengan demikian hidupnya terlepas dari kekangan norma agama.

3. Dampak yang Ditimbulkan Agama Samawi Terhadap Kebudayaan

Ada kalanya pengetahuan, pemahaman, dan daya tahan fisik manusia dalam menguasai dalam menguasai dan mengungkap rahasia-rahasia alam sangat terbatas. Secara bersamaan, muncul keyakinan akan adanya penguasa tertinggi dari sistem dunia ini, yang juga mengendalikan manusia sebagai salah satu bagian penghuni dunia ini. Sehubungan dengan itu, baik secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari religi atau sistem kepercayaan kepada penguasa alam semesta.
Selanjutnya, di dalam hubungan antara agama dan budaya secara kurang lebih dijelaskan bahwa peranan inspirasi religius yang bersendi adikodrati dapat menggerakkan imajinasi kreati manusia yang luar biasa dan menghasilkan karya seni, misalnya Kaligrafi dalam agama Islam. Di pihak lain, banyak budayawan menilai bahwa adanya unsur kebudayaan yang muncul dari inspirasi yang disebut religius memasukkan religi pula dalam lingkup kebudayaan. Dalam hal ini, pemahaman mereka tentang agama tidak lagi terbatas pada pengertian agama wahyu tetapi memasukkan semua kepercayaan terhadap semua kekuatan yang dianggap melebihi kemampuan manusia dan berasal dari sesuatu yang sacral sebagai agama, termasuk dalam budaya. Dari pernyataan tersebut, dapat dibedakan antara agama wahyu atau samawi dengan agama-agama tradisional atau agama suku-suku.
Dalam agama ataupun religiositas tradisional atau agama-agama suku, manusia diarahkan pada ungkapan kepercayaan yang bisa lebih dari satu. Misalnya dewa-dewi, sedangkan agama samawi ini membawa manusia pada yang Adikodrati. Segi lahiriahnya terpancar dalam berbagai cara-cara adat atau kebiasaan hidup mereka. Sedangkan agama samawi adalah agama wahyu, ada nabi atau pemimpinnya, dan tentu ada Kitab Sucinya.

4. Sikap Agama Samawi Terhadap Dunia yang Bukan Agama
Agama samawi memang diakui sebagai agamanya murni dari Tuhan, akan tetapi pada kenyataan, orang-orangnya sudah datang dan dan hidup dalam suatu budaya tertentu Lalu agama samawi tentu harus berhadapan dengan perkembangan keyakinan agama-agama suku. Walau demikian, persoalan budaya pun akhirnya menjadi persoalan agama. Namun adalah sangat berbahaya jika unsur religiositas asli masuk dan menghilangkan keotentikan agama Samawi. Orang-orang menganut sistem agama samawi perlu bermawas diri. Agama Samawi memang harus mengakui bahwa dalam hidupnya sehari-hari ia berelasi dengan unsur yang bukan unsur agama, ia berhadapan dengan unsur-unsur yang bukan berasal dari Tuhan, misalnya dalam praktek magis. Praktek magis memang tidak diminati oleh agama Samawi, bila ada unsur magis ini masuk ke dalam Agama Samawi berarti agama Samawi tersebut sudah menyimpang dari kepercayaannya yakni percaya pada satu Allah. Akhirnya sikap kita ialah bahwa kita perlu mawas diri. Bersikap hati-hati, dan senantiasa kritis. Kita juga bersikap intropeksi ke dalam diri dengan bertanya; religiositas kita mau mengarah ke mana? Apakah tertuju kepada Tuhan Yang Esa?.

5. Relasi Antara Iman dan Rasio dalam Agama Samawi.

Banyak pemikir yang menyatakan bahwa kebenaran atau ajaran religius mengatasi akal budi dan hanya bisa dicapai dalam penyerahan iman. Tertullianus mengatakan saya percaya karena tak masuk akal (Credo quia absurdum). Dengan kata lain akal budi tak cukup mengantar orang pada pengenalan dan pemahaman akan yang adikodrati jika tidak diikutsertakan dengan iman. Iman memiliki peranan yang sangat sentral dalam cara penghayatan umat yang memiliki Agama.
Akal budi tidak mungkin menjelaskan secara tuntas isi ajaran wahyu ilahi. Dipihak lain banyak pemikir menyatakan bahwa Kebenaran suatu ajaran atau kepercayaan seperti dalam agama Samawi ini yang notabene dari yang Adikodrati, memang sesuatu yang mengatasi akal budi dan hanya bisa digapai dalam penyerahan iman yang total kepada Allah. Dari perspekti Katolik Paus Yohanes Paulus II dalam Ensikliknya Fides et Ratio sangat menekankan pentingnya hubungan antara iman dan akal budi, karena yang satu tanpa yang lain menjadi miskin dan lemah. Bila dijauhkan dari apa yang diberikan oleh Wahyu, akal budi menjadi menyimpang dan akibatnya, menghadapi bahaya tidak dapat melihat lagi tujuan akhirnya. Agama katolik yang merupakan salah satu dari Agama Samawi yakin bahwa beriman itu tidak membabi buta.

Penutup.

Sebagai sebuah kesimpulan dari uraian kami mengenai Agama Samawi, bahwa Agama Samawi adalah agama yang yang berasal dari yang Adikodrati. Meskipun Agama Samawi telah diyakini banyak bangsa di dunia ini, hal ini bukan tanpa persoalan apalagi berhadapan budaya asli dan dengan dunia magis diluar. Namun yang dituntut adalah suatu sikap mawas diri. Agama Samawi juga dalam penghayatannya perlu suatu pertautan antara iman dan akal budi untuk mengerti dengan lebih baik Allah yang mendekatkan diri kepada manusia.

Kepustakaan

Reksosusilo, Stanislaus, CM, Filsafat Kebudayaan, Malang:STFT Wydia Sasana, 2006
Endang Saifuddin Anshari, H. Agama dan Kebudayaan, Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980.
Paus Yohanes Paulus II, Surat Ensiklik Fides et Ratio, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Suseno, Franz Magnis SJ. Filsafat Kebudayaan Politik; Butir-butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pusataka Utama, 1992.
Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001

Tidak ada komentar:

Posting Komentar