Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Jumat, 11 Juni 2010

MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH); MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA


MENGUAK KELUASAN MAKNA CINTA-(KASIH);
MEMBUKA RUANG KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK (OMK) DALAM HIDUP MENGGEREJA
(Dibawakan dalam acara malam Valentine’s Day OMK se-Paroki St. Montfort Poco-Keuskupan Ruteng,14 April 2008)
Marcel Lobi & Cosmas Ambo Patan

Pengantar

Mengulas mengenai kata “cinta” tak pernah habis, dalam istilah Latinnya, Per Amor Num Quam Satis. Berbicara tentang “cinta” itu tak pernah selesai. Sejak keabadian yang tak bisa ditentukan baik secara kronos maupun secara kairos, tak bisa tidak, ia memiliki historisitas, peradaban, dan dinamika, bahkan ritmenya sendiri seiring dengan zaman yang diarungi manusia. Cinta, sebagaimana manusia hidup dalam arus zaman yang mengalami pergeseran paradigma. Dan dari setiap zaman, “cinta” dialami dan dimaknai secara berbeda. Dewasa ini, kata “cinta” sudah begitu tercemar, rusak dan salah digunakan, sehingga orang nyaris takut mengucapkannya dengan mulut sendiri. Namun demikian” cinta” sesungguhnya kata primordial, ungkapan menyataan primordial. Kita tidak begitu saja membuangnya, kita harus memkainya lagi, memurnikannya dan mengembalikan semarak aslinya sehingga menerangi hidup kita dan membimbing kita ke jalan yang benar.

1. Cinta Dari Perspektif Psikoanalisa

Seorang psikoanalisis ternama Erich Fromm, dalam bukunya the Art of Loving, menguraikan bahwa cinta adalah bagaikan seni,yang pengetahuan tentangnya bertambah dan dilaksanakan dengan tekun, agar orang dapat mencintai dengan baik. Cinta atau kasih sayang adalah terutama aktivitas untuk memberi, bukan menerima. Namun banyak yang berpendapat bahwa dalam soal cinta,yang perlu adalah agar dirinya dicintai, bukan mencintai. Agar orang dicintai, orang menggunakan berbagai jalan. Bagi putra, yang umumnya dilakukan adalah berusaha menjadi orang sukses agar banyak uang dan kekuasaan. Bagi yang putri, memperindah tubuh dan penampilan. Baik putra maupun putri berusaha meningkatkan tata cara, percakapan dan daya tarik seksualnya agar laris dicintai. Ada pula yang berpendapat bahwa tak perlu mempelajari cinta. Yang perlu adalah mencari obyek yang tepat. Jika ketemu, barulah bisa mencintai. Tambah baik obyeknya tambah hebat pula cintanya. Ada pula yang membaurkan cinta yang lebih langgeng yang tidak menggebu-gebu dengan rasa jatuh cinta, di mana bahagia yang dahsyat terasa ketika dua pribadi asing jadi satu, sehingga ia merasa kehilangan cintanya di saat si dia sudah jadi biasa. Akibatnya, ia mencari yang baru lagi dan lagi-lagi akan mengalami kekecewaan.

Erich Fromm melihat bahwa sikap menggampangkan cinta ini seringkali menjadi sumber kekecewaan. Cinta bukanlah sesuatu yang mudah. Oleh karena itu perlu usaha yang sungguh-sungguh untuk menjalankannya dengan baik. Cinta yang paling jelas adalah perilaku seorang ibu pada anaknya yang masih kecil. ia memberinya makanan dan minuman, memenuhi kebutuhannya, merawat dengan lembut, memandikannya dan menjaga agar anaknya tetap senang. Semua ini dilakukan tanpa mengharapkan apa-apa, bukan sikap akal-akalan agar dapat imblan yang lebih baik. Itulah sebabnya cinta ibu pada anakanya seringkali dijadikan ukuran cinta yang sempurna, yang total. kepedulian aktif untuk kehidupan dan perkembangan orang yang dicintai, itulah cinta. Jika ada orang mengatakan bahwa ia mencintai tanamannya atau ternaknya, tetapi membiarkan tanamannya layu atau hewan piaraannya kelaparan, itu bukan cinta.

Cinta adalah akitivitas yang terutama memberi, bukan menerima. Dalam memberi itu, seseorang merasa bahagia, sebab merasakan bahwa dirinya mempunyai kekuatan, kemampuan dan merasa hidup. Yang biasa memberi hanya orang yang mempunyai, bukan yang tidak mempunyai. apa saja yang diberikannya? Fromm menyebut empat unsur dalam cinta, yaitu kepedulian (care), tanggungjawab (responsibility), penghargaan (respect) dan pengetahuan (knowledge) seperti kepedulian seorang ibu pada anaknya.

Pada orang dewasa, kepedulian ini lebih bersifat memenuhi kebutuhan psikologis. Dengan memberikan perhatian, mencoba mengerti sudut pandangannya, peduli pada perjuangan dan usahanya. kepedulian ini sampai dirasakan sebagi tanggungjawabnya, bukan tanggungjawab sebagai beban, namun tanggungjawab yang lahir dari kasih sayang, sebagai ungkapan rasa cinta. namun jika kurang hati-hati kepedulian dan tanggungjawab ini bisa menjadi usaha untuk mendominasi, karena merasa dirinyalah yang paling tahu tentang subyek yang dicintai. untuk menghindari ini perlu adanya penghargaan, yakni menghargai keunikan orang yang dicintai dan tidak mengubah dia seperti apa yang dikehendaki baru bisa mencintainya. orang yang dicintai perlu dapat mengembangkan potenisnya tanpa dieksploitasi. Cinta sama sekali tidak sama dengan seks. Cinta lebih agung daripada seks. seks sendiri perlu dibingkai dengan cinta. tanpa cinta, seks hanyalah mengakibatkan penderitaan.

2. Cinta Dari Perspektif Kristiani

Paus Bendiktus XVI menguraikan dengan sangat mendalam, makna cinta yang sesungguhnya, dalam ensikliknya “Deus Caritas Est”. Bagian pertama berbicara tentang hakikat cinta, hubungan eros dan agape, sedangkan bagian kedua mengupas cinta Gereja sebagai komunitas, lewat organisasi karitatif.

Dewasa ini, tulis Paus, istilah cinta (terj.dari love dari bah. Inggirs dan amor dalam bah. Latin) telah menjadi salah satu kata yang paling sering digunakan dan disalahgunakan, suatu kata yang diberi beragam makna yang berbeda. Ada cinta pada negara, atau profesi, ada cinta antara sahabat, ada cinta akan kerja, ada cinta antara orangtua dan anak, antara sesama anggota keluarga, terhadap tetangga, dan cinta pada Tuhan. Dalam keragaman arti ini, terutama satu yang paling menonjol: kasih antara lelaki dan perempuan, di mana jiwa raga saling terkait secara tak terpisahkan dan tampil kepada manusia sebagai satu-satunya contoh kasih, sehingga semua jenis kasih lainnya memudar.

Kasih antara pria dan wanita, yang tak berasal dari pemikiran dan kemauan, melainkan menimpa manusia, oleh orang-orang Yunani diberi nama eros. Dalam perjanjian Lama, kata eros hanya digunakan dua kali, sedangkan Perjanjian Baru sama sekali tak memakainya. Dari ketiga kata untuk kasih- eros, philia (kasih persahabatan), Agape-tulisan PB lebih suka memakai kata terakhir ini, yang dalam penggunaan bahasa Yunani kurang penting. Dalam dunia Yunani, agama-agama sikap ini mengambil bentuk upacara kesuburan, yang mencakup prostitusi “suci” yang berkembang di banyak kenisah (kuil-kuil). Dengan demikian eros dirayakan sebagai kuasa ilahi, sebagai persatuan dengan yang ilahi.

Perjanjian Lama dengan tegas menolak atau melawan agama semacam ini yang sebagai godaan amat kuat melawan iman akan Allah yang esa. ia tak menolak eros sebagi eros, melainkan memerangi kekuatannya yang membinasakan. Karena mengilahikan eros yang terjadi di sini salah, merampas martabatnya dan melecehkan kemanusiaannya. Para pelacur di kenisah yang harus memberikan kemabukan ilahi, tidak diperlakukan sebagai manusia, melainkan hanya sebagai obyek untuk mendatangkan kegilaan ilahi. Mereka itu bukan dewa-dewi, melainkan manusia yang disalahgunakan. Karena itu eros yang mabuk dan tanpa kendali bukan kemajuan, ekstasi menuju keilahian, melainkan kejatuhan manusia. Dengan demikian menjadi nyata bahwa eros membutuhkan pengendalian, pembersihan, untuk memberi kepada maunsia, bukan kenikmatan sesaat, melainkan prarasa kehidupan yang tinggi-kebahagiaan yang kita rindukan.

Dua hal yang perlu diketahui tentang eros dalam sejarah dan masa kini. Pertama, bahwa kasih sedikit banyak berkaitan dengan yang ilahi. Ia menjanjikan keabadian. Namun juga jelas bahwa jalan ke situ (keabadian) tidak dapat dicari begitu saja dalam penguasaan oleh hawa nafsu. Diperlukan penjernihan dan pendewasaan, yang juga dapat melalui jalan pantang. Ini tidak menolak eros, tidak “meracuninya”, melainkan tindakan memulihkan keagungannya. Kini, di tengah dunia yang mendewakan tubuh, eros dilecehkan menjadi seks menjadi barang, benda, yang dapat dijualbelikan. Manusia sendiri dalam pada itu menjadi barang. Ini jelas bukan sikap positif manusia terhadap tubuhnya. Sebaliknya. ia menganggap tubuh dan seksualitasya semata-mata sebagai kejasmanian yang dimanfaatkannya dan dipakainya dengan perhitungan. Sikap ini bukanlah tanda kebebasan, melainkan tanda kesewenangan memperlakukannya sebagai sumber kenikamatan dan sekaligus pelecehan. Sebenarnya kita berhadapan dengan pelecehan tubuh manusia yang tidak diintegrasikan dalam keseluruhan kebebasan hidup kita, bukan lagi ungkapan hidup keseluruhan eksistensi kita, melainkan dimerosotkan menjadi hal biologis belaka, penghargaan semu terhadap tubuh dapat cepat berubah menjadi kebencian terhadapnya. Sebaliknya iman kristiani senantiasa memandang manusia sebagai dwitungal, padanya roh dan materi saling meresapi dan dengan demikian, keduanya mengalami keluhuran baru. Eros ingin menarik kita kepada yang ilahi, membawa kita mengatasi diri sendiri.

3. Bagaimana Cinta Harus Dihayati?

Petujuk penting yang dikenal dalam PL, Kidung Agung. Cinta suami isteri dijunjung tinggi. Berbeda dengan kasih yang masih mencari dan tak menentu, dalam kata agape diungkapkan pengalaman kasih, yang kini sungguh berarti menemukan sesama dan dengan demikian mengatasi segala unsur egiostis. Kasih kini menjadi keprihatinan dan perhatian bagi orang lain. Ia tak lagi mencari diri sendiri, yakni tenggelam dalam kemabukan dan kebahagiaan, melainkan apa yang baik bagi yang dikasihi. ia menjadi pantang, ia bersedia berkurban, ia menghendakininya.

Pertumbuhan kasih menuju tingkat tang lebih tinggi dan pemurnian batinnya berarti bahwa kasih menghendaki keadaan defenitif, dalam dua arti, yakni ekslusivitas “hanya orang satu ini” dan dalam arti “untuk selamanya”. Seluruh eksistensi dicakupnya dalam semua dimensisnya, juga menyangkut dimensi waktu. Kasih menghendaki kebabaidan. Ia keluar dari kungkungan diri sendiri ke penganugerahan diri, untuk penyerahan. “Barang siapa menyelamatkan nyawanya, akan kehialangan nayawanya, tetapi barangsiapa kehilanganya nyawanya, ia akan menyelamatkannya. (Luk 17:33). Dengan kata-kata itu Yesus melukiskan jalanNya sendiri, yang melalui salib sampai kepada kebangkitan-jalan biji gandum, yang jatuh ke dalam tanah dan mati dan dengan demikian menghasilkan buah melimpah. Dengan itu Ia melukiskan juga hakikat kasih dan esksitensi manusia pada umumnya dari pusat KurbanNya sendiri dan di dalamnya kasih yang menuntaskan diri.

3. 1. Hakikat Cinta dalam Iman Alkibiah

Eros dimengerti sebagi kasih duniawi, sedangkan agape sebagi ungkapan yang berdasarkan iman dan diresapinya. Keduanya seringkali dipertentangkan. eros sebagai kasih dalam garis yang menaik, kasih yang mengingini, agape, kasih dalam garis yang menurun, kasih yang memberi.

Dari sudut padang kristiani, kedua jenis kasih, eros dan agape, kasih yang menaik dan kasih yang menurun, tak pernah dapat dipisahkan satu sama lain. Semakin keduanya tampil menyatu sewajarnya dalam dimensi yang berbeda dalam realitas kasih yang sama, semakin terwujudlah hakikat kasih sejati. Bila eros pada permulaan terutama menuntut dalam pada garis menaik, pesona oleh janji besar kebahagiaan, maka maka mendekati orang lain, makin sedikit memperhatikan diri sendiri, makin menghendaki kebahagiaan orang lain, makin memperhatiakannya, makin menganugerahkan dirinya, mau “berada baginya”.

Sebaliknya, manusia tak dapat hidup dalam kasih yang menurun saja. Barang siapa mau menganugerahi kasih, ia sendiri harus dianugerahi. Memang manusia bisa seperti kata Tuhan kepada kita- menjadi sumber, dari mana arus air mengalir, (bdk.Yoh 7:37-38). Namun agar ia menjadi sumber seperti itu, ia sendiri harus selalu minum dari sumber asli- pada Yesus Kristus- dari hatiNya yang terbuka mengalir kasih Allah sendiri (bdk. Yoh. 19:34).

Pada akhirnya, kasih merupakan satu realitas, tetapi dengan pelbagi dimensi- setiap kali hanya satu yang dapat lebih menonjol Namun di mana kedua dimensi sama sekali terpisah, timbullah karikatur atau paling sedikit bentuk kekurangan kasih.
Iman alkitabiah tidak menolak kasih manusiwi (eros) melainkan menerimanya secara utuh, namun ia memurnikan dan membuka dimensi baru. kebaruan iman alkitabiah ini terutama tampak dalam dua butir yang patut dikemukanan; dalam gambaran tentang Allah dan manusia.

3. 2. Kebaruan Iman Alkitabiah

Pertama, gambaran baru tentang Allah. Allah itu satu, Pencipta seluruh realitas, bahwa realitas ini berasal dari kuasa sabdaNya yang menciptakan. Ini berarti ciptaanNya ini dikasihiNya, karena dikehendakiNya sendiri, dibuat” olehNya. Allah ini mengasihi manusia. ia mengasihiNya dan kasihNya ini dapat diesbut eros, yang sekaligus seutuhnya agape. Kasih Allah kepada mansia tempak dalam hubunganNya dengan Israel allah setia terhdap umatNya, meskipun mereka tidak setia. kasih Allah dianugerahkan. Cuma-Cuma dan tanopa jasa sebelumnya, juga kasih itu mengampuni.

Kedua, gambaran tentang manusia. Manusia diciptakan Allah sebagai laki-laki dan wanita. Keduanya diciptakan Allah untuk saling melengkapi, bukan saling menguasai. manusia menjadi “utuh” hanya dalam kebersamaan pria dan wanita. Itulah sebabnya” pria meninggalkan ibu-bapanya dan bersatu dengan isterinya dan keduanya menjadi satu daging” (kej. 2:24)

4. Yesus Kristus Cinta Allah yang Menjelma Menjadi Manusia

Kasih Allah. Allah yang mengasihi, bukan dengan berkata-kata. Kasih Allah terungkap dlam bertindak. Tindakan Allah sebagai wujud kasihNya mengambil bentuk dramatis dalam hal bahwa Allah dalam Yesus Kristus sendiri mencari “domba yang hilang” umat manusia yang menderita dan hilang. Dalam wafatNya di salib terwujudlah sikap Allah terhadap diriNya sendiri- Ia menganugerahkan diri untuk mengangkat dan menyelamatkan manusia-kasih dalam bentuk paling radikal. Itulah sebabnya Yoh. menulis “Allah adalah Kasih” ( 1Yoh. 4:8) dan dari situ kini dapat didefisnisikan, apa kasih itu. Kasih: penyerahan diri, penganugerahan diri.

Tindakan penyerahan diri ini oleh Yesus dilestarikan dengan pengadaan Ekaristi pada malam perjamuan malam terakhir. Kristus, dalam ekaristi, melalui roti dan anggur memberikan diriNya, Tubuh dan darahNya kepada manusia. Ia menjadi santapan bagi kita-sebagai kasih. Ekaristi melibatkan kita dalam tindakan penyerahan diri Yesus. kita tidak hanya secara statis menerima Logos (Kristus) yang menjelma, melainkan diikutksertakan dalam dinamika penyerahan diriNya.

Persatuan dengan Kristus sekaligus persatuan dengan semua lainnya, yang dianugerahi diriNya. Aku tidak mempunyai Kristus hanya bagi diriku, aku dapat menjadi milikNya atau mau menjadi milikNya. Komuni mencabut aku dari diriku kepadaNya dan dengan itu sekaligus persatuan dengan semua orang kristiani. Kita menjadi satu tubuh”, eksistensi yang terlebur menjadi satu.

Kasih akan Allah dan akan sesama sunguh menyatu. Allah yang menjadi, manusia menarik kita kita semua kepada dirinya dari situ menjadi jelas bahwa agape kini juga menjadi sebutan untuk Ekaristi. Di dalamnya agape Allah menjeman bagi kita untuk bekerja terus dalam dan melalui kita. Hanya dengan berpangkal pada dasar kristologis-sakramental ini orang dapat memahami dengan benar ajaran Yesus tentang kasih.

4. 1. Kasih akan Allah dan Akan Sesama

Dapatkah kita mengasihi Allah yang tidak kita lihat? Dan dapatkah kasih diperintahkan?. Tak seorangpun pernah melihat Allah-bagaimana kita dapat mengasihiNya. Kasih kepada Allah hanya dimungkinkan dengan mencintai sesama ”barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah yang tidak dilihatnya (1 Yoh. 4:20). Di sini ditegaskan keterkaitan tak terpisahkan antara kasih akan Allah dan akan sesama. Keduanya merupakan kesatuan sedemikian rupa, sehingga mengatakan mengasihi Allah tetapi menutup mata atau dirinya kepada sesama atau bahkan membencinya menjadi dusta.

4. 2. Kasih Bukan Hanya Soal Perasaan

Perasaan datang dan pergi. Perasaan dapat menjadi pemicu yang dahsyat, tetapi bukan keseluruhan kasih. Kasih yang matang melibatkan semua kekuatan manusia, mengintegrasikan manusia dalam keseluruhannya. Kasih tak pernah selesai dan tuntas, kasih berubah melalui perjalanan hidup, menjadi matang dan justeru karena itu tetap setia pada dirinya sendiri. Kasih membuat orang semakin mirip satu sama lain, yang membawa kepada kebersamaan kehendak dan pemikiran.

Kasih yang diwartakan Kitab Suci berarti bahwa aku mengasihi juga sesamaku yang tidak kusukai atau bahkan tidak kukenal, dengan berpangkal pada Allah. Itu hanya mungkin terjadi berdasarkan pertemuan batin dengan Allah, menjadi persekutuan kehendak dan menjangkau sampai pada perasaan. Maka aku belajar melihat orang lain itu tidak lagi hanya dengan mata dan perasaanku, melainkan dari perspektif Yesus Kristus. SahabatNya adalah sahabatku.

Dengan melihat dengan Kristus, aku dapat memberi kepda orang lain itu lebih daripada hanya hal-hal yang secara lahiriah perlu: pandangan kasih yang dibutuhkannya. Bila sentuhan dengan Allah sama sekali tak ada dalam hatiku, maka dalam orang lain aku hanya dapat melihat orang lain dan tak dapat mengenal gambaran ilahi dalam dirinya. Kasih akan Allah dan akan sesama tak terpisahkan. Keduanya hanya satu perintah. Namun keduanya hidup dari kasih Allah yang menyongsong dan mendahului. maka itu bukan lagi pernitah dari luar, yang memerintahkan sesuatu yang mustahil, melainkan pengalaman kasih dari dalam yang dianugerahkan, yang menurut hakikatnya harus terus memberi. Kasih tumbuh oleh kasih. kasih itu ilahi, karena berasal dari Allah dan menyatukan kita dengan Allah, membuat kita dalam proses penyatuan ini menjadi kita, yang mengatasi perpecahan dan menyatukan kita, sehingga pada akhirnya Allah menajdi semua di dalam semua( 1Kor 15:28).

5. Gereja Sebagai Agen Cinta

Gereja yang diimaksudkan adalah umat beriman, orang-orang yang telah dibaptis dalam nama Kristus. Gereja yang dimaksudkan adalah persekutuan orang-orang-orang yang percaya kepada Kristus, terikat oleh satu iman, satu Pembaptisan. Kepada Gereja ini, diberi tugas oleh kristus untuk melakukan perintah untuk mencinta dan mengasihi. “Hendaklah kamu saling mengasihi, sama seperti Aku telah mengasihi kamu.” Tugas kasih Gereja ini terungkap dalam hakikat Gereja itu sendiri yakni: koinonia, diakonia, leiturgia, martiria. Kepada semua umat beriman diberi keempat tugas gereja yang mengungkapkan karya kasih Gereja. Gereja yang dimaksudkan adalah mencakup semua umat beriman, juga Orang Muda Katolik (OMK).

5. 1. Orang Muda Katolik (OMK): Agen Cinta

Kaum muda, secara khusus orang muda katolik, merupakan harapan Gereja. Masa depan Gereja berada ditangan generasi muda sekarang ini. Namun seringkali kenyataan menunjukkan bahwa kaum muda kurang menunjukkan gairah dalam hidup beriman. Hal ini bisa terjadi karena pertama dari pihak kaum muda yang kurang menyadari perannya dan panggilannya sebagai orang beriman (yakni menyangkut empat tugas Gereja di atas), Kedua, dari pihak Gereja (terutama para pemimpin) yang kurang mengakomodir kaum muda dalam kehidupan menggeraja yang mengakibatkan kaum muda merasa diabaikan, disisihkan dari keterlibatan untuk membangun kehidupan Gereja. Namun di sini kita tidak perlu mempersalahkan pihak mana yang salah dan benar. Sebab saling mempersalahkan bukan solusi. Hal yang paling penting untuk disadari bahwa kedua belah pihak perlu saling membuka diri untuk bekerja sama. Kamu muda diharapkan dengan menemukan kesadaran baru bahwa kasih atau cinta tidak hanya menyangut eros, tetapi menyangkut juga agepe yang dapat diungkapkan dalam keterlibatan dalam kehidupan Gereja, bersama orang lain, sesama, bukan individual, egoistis. Sebaiknya, Gereja perlu menyadari bahwa dalam diri kaum muda, terdapat kekuatan-kekuatan positif yang perlu dirangkul, seperti semangat, idealisme, cita-cita, harapan, untuk memperoleh ruang bagi keterlibatan dalam hidup menggereja sebagai wujud pelaksanakana perintah kasih dari Tuhan yang mengalir dari pengalaman dikasihi oleh Allah.

Gereja perlu memiliki sikap terbuka dan mendengarkan aspirasi kaum muda, tentang apa yang mereka butuhkan untuk dapat bertumbuh dalam kasih dan melibatkan diri dalam tugas-tugas gereja. Sebaliknya, dalam diri kamu muda hendaknya mempunyai keterbukaan untuk menerima (tetapi dengan sikap kritis) dorongan dari pihak Gereja entah melalui himbauan, nasehat, pewartaan untuk terlibat dalam kehidupan menggereja.
Hanya dengan demikian, kaum muda dapat bersama-sama dengan semua umat beriman lain, menjadi agen-agen kasih, penebar cinta di dunia yang semakin diwarnai oleh persaingan, iri hati, kekerasan, kebencian, kecemburuan, dan aneka bentuk kejahatan yang merendahkan martabat manusia, dan merusak tatanan ekologis.

6. Keluarga Sebagai Sekolah Cinta

Keterlibatan dalam kehidupan menggeraja merupakan wujud cinta kasih kepada Allah dan kepada sesama. Keterlibatan ini merupakan suatu proses belajar untuk menyatu dengan orang lain, untuk mempunyai empati, perhatian, keprihatinan kepada sesama.
Proses belajar ini mestinya berawal dari keluarga, sebab setiap orang lahir dan dibesarkan dalam keluarga tertentu. Di dalam keluarga, seseorang belajar untuk mencintai-mengasihi. Suami mengasihi isteri dan sebaliknya, orangtua mengasihi anak-anak dan juga sebaliknya.

Keluarga merupakan tanda pertama dan paling penting bagi pertumbuhan kasih (cinta). Keluarga merupakan suatu jalan yang biasa bagi semua orang, namun merupakan suatu jalan yang khusus, unik dan tidak pernah dapat diulangi lagi. Keluarga merupakan jalan yang tak dapat ditarik kemabali oleh seorang manusia, dan dapat dikatakan bahwa kenyataan hadirnya seorang individu adalah karean keluarganya. Bila seorang manusia tidak mempunyai keluarga, maka orangterebut akan tumbuh menjadi seornag yang gelisah, sedih dan merasa kehilangan dan ini akan menjadi beban seumur hidupnya. Keluarga merupakan cakrawala keberadaan seseorang, komunitas dasar di mana seluruh jaringan hubungan sosialnya dibangun. Hubungan yang berdasarkan kasih yang tulus mendorong orang untuk bertumbuh secara sehat. Sebaliknya, hubungan yang mengedepankan kekerasan menjauhkan orang dari kasih. Hubungan antara angota keluarga perlu dibangun berdasarkan sikap saling menghormati, peduli, bertanggung jawab satu sama lain, berdialog, saling memberi dan menerima. Untuk menumbuhkan kasih itu, maka perlu mengembangkan kebiasaan untuk berkumpul bersama, berdoa bersama, makan bersama.

Keluarga sebagai persekutuan kasih. Tanpa kasih, persekutuan itu goyah, bahkan berantakkan. Kita tak bisa menutup mata terhadap kenyataan yang menunjukkan bahwa banyak orang bercerai, berselingkuh, kekerasan karena di dalamnya tak ada kasih, tak ada komitmen untuk setia dalam mengasihi. tentu akhirnya diperhadapkan pada soal bagaimana penghayatan hidupnya. Bisa saja karena kesalahan dalam mengartikan dan mamaknai serta menghayati cinta dalam hidupnya. Jika kesalahan itu karena egoisme diri,itulah yang melahirkan fatalisme cinta. Cinta tak boleh dipandang sebelah mata, jika demikian halnya ia akan menjadi boomerang dan bahkan menjadi momok yang menghatui dan hidup tidak akan pernah utuh sesuai dengan sejatinya kodrat cinta itu.

6. Penutup

Cinta itu holistik. Cinta itu make a whole, namun cinta itu membutuhkan komitmen. Komitmen menuntut pengurbanan diri. Kasih ini tak lain adalah pemberian diri yang tulus. Mengasihi berarti memberikan dan menerima sesuatu yang tidak dapat dibeli maupun dijual, tetapi hanya diberikan dengan bebas dan secara timbal balik, bersifat tetap dan tak dapat ditarik kembali. Singkatnya adalah bahwa peradaban kasih hanya dapat dimulai dalam keluarga. Dari keluarga seseorang belajar menjadi agen kasih. Keluarga sekaligus pusat dan jantung dari peradaban kasih.

Congratulation!!!!!!...have a nice valentine’s day...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar