Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Jumat, 11 Juni 2010

Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral



Bom Bunuh Diri: Kejahatan Hati Nurani
dalam Prinsip Actus Humanus Perspektif Filsafat Moral.

Oleh: Kosmas Ambo Patan

1. Pengantar

Dalam tradisi agama semit, pembunuhan dipandang sebagai kejahatan. Kejahatan ini mendapat tekanan secara menonjol. Dalam Kej. 4:1-16, anak manusia pertama membunuh adiknya sendiri. Pembunuhan saudaranya itu adalah kejadian pertama yang diceritakan sesudah Adam dan Hawa jatuh dalam dosa. Alkitab, dari perspektif ini melihat realitas kejahatan memiliki keterkaitan erat antara pembunuhan dengan dosa. Bahkan, pembicaraan mengenai relalitas kejahatan semacam ini langsung bersentuhan dengan hati nurani. Lalu bagaimana dengan kasus membunuh diri sendiri?.

Dari sejarah peradaban kehidupan manusia di dunia ini baik peradaban di masa lalu maupun peradaban zaman ini pelbagai kasus bunuh diri dapat kita temui. Tindakan membunuh diri sendiri merupakan fenomena yang sulit digeneralisasikan. Manusia sulit melacak berbagi problema yang dihadapi oleh orang yang membunuh diri. Pandangan dan penilaian terhadap tindakan bunuh diri inipun bermacam-macam. Jika kasus mengkakhiri hidup dengan cara bunuh diri dipandang sebagai sesuatu yang terhormat atau demi kehormatan, maka dari perspektif moral, penilaian seperti apakah yang dapat diberikan?.

2. Kasus Bom Bunuh Diri.

Sebagai contoh, dalam tulisan ini akan digunakan kasus teroris dengan cara bom bunuh diri. Salah satu hal yang menarik dari kasus terorisme dengan menggunakan bom sebagai alat utamanya diatas adalah pemboman itu dibarengi juga dengan pelakunya yang turut meledakkan dirinya bersama-sama dengan bom yang dibawanya. Bom Bali 1, bom JW Mariott, bom Kedubes Australia, dan bom Bali 2 adalah contoh dari bom bunuh diri dimana pelakunya turut meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya (bom Bali 1 dan 2) atau dengan menggunakan mobil (bom Mariott dan Kedubes Australia). Adakah suatu motif khusus yang dialami oleh para pelaku bom bunuh diri itu sehingga nekad untuk melakukan hal tersebut?. Tentunya tidak semua orang mampu untuk melakukan hal itu, karena kesadaran bahwa dirinya ikut mati bersama dengan meledaknya bom tersebut pasti telah melekat di benak pelakunya.

2. 1. Bom Bunuh Diri Perspektif Filsafat Etika: Sebuah Prinsip Umum.

Terorisme bom bunuh diri yaitu kesiapan dan kesediaan untuk membunuh dan terbunuh. Dalam proses melakukan tindakan, terorisme bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan dan kejahatan sekaligus. Di Indonesia, contoh nyata dari terorisme bunuh diri adalah bom Bali 1 dan 2, bom JW Mariott, dan bom Kedubes Australia. Di luar negeri misalnya adalah tragedi Menara WTC New York, dan kasus bom London, dan maraknya bom bunuh diri di beberapa negara di Asia-timur tengah yang mengatasnamakan kelompok atau aliran tertentu. Dari contoh kasus bom bunuh diri yang telah dibeberkan tersebut di atas, dapat dilihat sebagai contoh kasus yang masuk dalam pembunuhan sebagai kejahatan terbesar.

Menyerang orang atau kelompok lain dengan cara mengorbankan diri juga di dalamnya merupakan tindakan yang langsung berseberangan dengan norma dasar terpenting dari kehidupan manusia yakni soal martabatnya. Bukan hanya itu, tetapi juga langsung bersentuhan dengan hakekat harga diri maupun nilai hidup manusia. Serangan terorisme bom bunuh diri melenyapkan martabat diri orang lain (yang diserang) dan martabanya sendiri (pelaku). Sebab manusia tak lepas dari martabatnya yakni hidupnya, karena itu mutlak dihormati. Tindakan terorisme bom bunuh diri dipandang sebagai salah satu realitas kejahatan karena melawan kodrat kehidupan manusia.

2. 2. Bom Bunuh Diri Cara Memperoleh Kehormatan?: Sebuah Prinsip Khusus.

Bunuh diri merupakan perbuatan membunuh diri sendiri dengan berdasar pada otonomitas pribadi yang bersangkutan. Ini berarti bahwa tindakan bunuh diri dilakukan oleh dan atas kehendak sendiri, yakni masuk dalam tindakan rasional pelaku (actus humanus). Inilah yang menjadi dasar tindakan kejahatan manusia yang mengikuti prinsip subjektif, yakni bahwa manusia memikirkan eksistensi mereka sendiri tanpa memikirkan eksistensi orang lain. Jika ditelisik bahwa prinsip objektif dari manusia jauh lebih penting sebab memikirkan dimensi humastis. Inilah sebuah kewajiban yakni prinsip tersebut memikirkan humanistis secara total.

Dalam kaitannya dengan soal moral, pertautan prinsip ini dengan kasus bom bunuh diri, akan muncul pertanyaan sebagaimana juga dilontarkan oleh seorang filsuf Emmanuel Kant: Apakah orang yang memikirkan bunuh diri bertanya pada diri sendiri, apakah perbuatannya bisa cocok dengan ide humanitas sebagai tujuan dalam dirinya sendiri?, agar bisa melepaskan diri dari situasi yang menjadi beban ia menghancurkan diri, ia menggunakan dirinya sebagai alat untuk mempertahankan kondisi yang dapat ditoleransi sampai ke tujuan hidupnya?.

Biasanya, dalam banyak kasus, bunuh diri sering disebabkan oleh perasaan tertekan (perspektif psikologis), menganggap diri tak berguna, putus asa. Manusia jatuh pada ketidakmampuannya mengendalikan diri, manusia terseret kepada disposisi irasional, ia tak mampu lagi berpikir secara jernih. Hal ini dikarenakan ketidaksanggupannya menghadapi realitas kehidupan. Kehidupan secara kasat mata tak lagi berharga. Hati manusia telah tumpul dan tak bisa membedah nilai yang mana yang harus diperjuangkan dan nilai mana yang harus dipertahankan.

Salah satu kesulitan dalam menerangkan terorisme bom bunuh diri adalah masalah dalam mendefinisikan tindakan bunuh diri yang mereka lakukan. Setidaknya ada tiga sumber permasalahan yaitu: pertama, masalah pembedaan antara kesiapan atau kesediaan untuk mati dan mencari kematian, kedua, kesulitan membedakan antara orang-orang yang ingin mati dan orang-orang yang kematiannya diartikan sebagai bunuh diri tetapi sebenarnya ditipu oleh orang-orang yang mengutusnya ketiga, keragaman konteks situasional yang melatarbelakangi tindakan bunuh diri.

Dalam tradisi Jepang, misalnya, bunuh diri dianggap sebagai jalan untuk mempertahankan kehormatan. Hal ini jelas dipengaruhi oleh sistem kultur yang telah mentradisi secara turun temurun. Lain halnya dengan terorisme bom bunuh diri yang sampai sekarang masih menyimpan ambiguitas perspektif dan cara pemahaman terhadapnya. Terdapat dikotomi paradigma yang belum jelas. Apakah aksi terorisme bom bunuh diri benar dilatarbelakangi oleh otentisitas ajaran agama ataukah langkah yang salah dari penafsiran sebuah keyakinan?.

3. Analisis Moral Kasus Bom Bunuh Diri Dalam Prinsip Actus Humanus.

Keinginan atau cita-cita hidup yang dihayati atau dianut mendorong penganutnya untuk bertindak mewujudkan hal tersebut. Keinginan atau cita-cita tersebut bisa bersifat individu bisa bersifat kolektif. Keinginan itu memaksa manusia untuk bertindak demi mendapatkan sesuatu yang menurutnya bernilai sampai mengorbankan nyawa orang lain dan diri sendiri. Pilihan mendasar hidup manusia (optio fundamentalis), dalam perspektif moral kristiani jelas mengarahkan diri kepada kehendak Sang Pencipta. Allah Sang Khalik merupakan tujuan tertinggi dari tindakan manusia. Karena itu, setiap tindakan manusia merupakan pertanggungjawabannya kepada Allah.

Dalam kasus serangan terorisme bom bunuh diri ini terdapat dua nilai yang bertentangan satu sama lain. Sekaligus bertentangan dengan prinsip optio fundamentalis manusia. Nilai kehidupan yang seharusnya dijunjung tinggi bertentangan dengan nilai kehormatan yang diperjuangkan melalui tindakan bom bunuh diri. Mengapa Manusia berkewajiban memperjuangkan dan mempromosikan nilai kehidupan? Karena kehidupan seringkali diartikan sebagai anugerah terbesar yang diberikan Allah kepada manusia. Kehidupan merupakan sebuah pemberian dan karena itu, kehidupan mengimplikasikan undangan Allah kepada manusia untuk berpartisipasi dalam kehidupan ilahiNya. Paus Yohanens Paulus II dalam ensikliknya Evanggelium Vitae menegaskan bahwa sekalipun kehidupan di dunia ini bersifat sementara oleh karena terikat pada ruang dan waktu, kehidupan tetaplah merupakan nilai tertinggi yang dimiliki manusia semasa di dunia ini.

Pada umumnya semua agama monotheisme mengutuk dan tidak memperbolehkan tindakan bunuh diri. Yahudi, misalnya, mengutuk tindakan bunuh diri sampai tidak memperbolehkan pelaku bunuh diri dimakamkan di tempat pemakamam. Filosofi orang Yahudi menetapkan bahwa mempertahankan hidup (piku ‘akh nefesh) menyisihkan semua pertimbangan agama dan sosial dengan tiga pengecualian, yaitu bunuh diri, incest, dan menyembah tuhan palsu. Bunuh diri dilarang dan bahkan lebih baik dibunuh oleh orang lain daripada melakukan dosa itu. Pada agama Kristen, bunuh diri dianggap sebagai dosa besar, karena mendahului kehendak Tuhan atas hidup manusia. Adapun upaya mencermati tindakan bom bunuh diri ini dalam perspektif moral kristiani di bahas sebagai berikut:

3. 1. Syarat “Tahu”
3. 1. 1. Pelaksanaan Perbuatan.

Pelaku bom bunuh diri meledakkan dirinya sendiri. Bom-bom tersebut dibawa oleh pelaku dengan cara dilekatkan pada tubuhnya. Contoh yang paling jelas adalah kasus bom Bali 1 dan 2. Atau dengan menggunakan mobil dalam kasus bom Mariott dan Kedubes Australia di Jakarta. Jadi, secara sadar bahwa si pelaku bom bunuh diri ini memikirkan semua apa akan terjadi.

3. 1. 2. Obyek Tindakan.

Si Pelaku bom bunuh diri, sadar dan tahu tindakannya akan menghilangkan nyawanya sendiri. Tujuan utama serangan bom bunuh diri jelas bukan pertama-tama bermaksud bahwa dengan cara itu ia/mereka membunuh diri, tetapi tujuan utamanya adalah menghabisi nyawa orang lain. Tindakan menghabisi nyawa orang lain memiliki konsekuensi kesadaran bahwa dirinyalah yang pertama menjadi korban dari tindakannya itu. Ketika saatnnya tepat, si pelaku dengan sadar menekan tombol aktivasi Bom. Saat melakukan tindakan menekan tombol aktivasi bom itu juga si pelaku sadar bahwa tindakan inilah yang akan menghabisi nyawanya dan nyawa orang lain yang menjadi sasaran serangannya.

3. 1. 3. Sifat Perbuatan Moral Terorisme Bom Bunuh Diri.

De fakto bahwa dari tindakan si pelaku bom bunuh diri jelas mau menghabisi sasaran. De fakto pula bahwa si pelaku dari sendirinya akan mati dengan tindakannya itu. Dari perspektif ini, si pelaku seakan tidak tahu (Ignorantia facti) kenyataan yang akan terjadi. Berkaitan dengan itu pula bahwa si pelaku seakan tidak tahu hukum (Ignorantia iurir). Bom bunuh diri pilihan tindakan si pelaku karena dari awal pelaku telah bertekad melakukannya, bukan karena ketidaktahuannya akan akibat bom bunuh diri dan norma yang melarang perbuatan itu, tetapi karena tujuan dari tindakannya harus memiliki konsekuensi demikian, demi sebuah kehormatan.

3. 2. Syarat “Mau Secara Bebas”
3. 2. 1. Voluntarium (Kehendak)

Perbuatan si pelaku sepenuhnya dikehendaki, diingini, dikuasai dan disebabkan oleh pelaku sendiri terlepas apakah si pelaku sebagai suruhan atau tidak (terpaksa). Tetapi dalam kasus bom bunuh diri yang dilakukan ini harus sepenuhnya bersumber dari kehendaknya sendiri yakni tahu akibat dan tujuan perbuatannya.

3. 2. 2. Obyek /Sasaran Tindakan
Sasaran utama pembunuhan ialah “warga asing” di Club malam Legian Bali dan warga Australia di Kedubes Australia di Jakarta. Si pelaku Bom bunuh diri bukan tujuan yang bersifat in se, tetapi akibat in se. Meskipun dengan segala kesadaran dan kemauan serta kehendak, siap melakukan tindakan bom bunuh diri dengan cara meledakkannnya di tengah kerumununan warga asing yang pada saat itu menikmati malamnya di Club malam Legian Bali.

3. 2. 3. Deskripsi Keadaan Pelaku Bom Bunuh Diri.

Pelaku bom bunuh diri (Quis) adalah teroris. Obyek (Quis) perbuatan adalah membunuh, mematikan diri sendiri dengan cara meledakkan bom yang diracik sendiri. Pelaku meledakkan bom (Ubi) dari dalam mobil. (bom Mariott dan Kedubes Australia). Pelaku bermaksud (Cur) menghancurkan sasaran dan diri sendiri dengan dengan bom racikan yang diledakkan (Quibus auxillius). Teroris bom bunuh diri ini melakukan (Quomodo) peledakan bom dengan kejam, tak berperikemanusiaan. Serangan (Quando) dilakukan tanpa terdeteksi oleh pihak keamanan, dilancarkan dengan tiba-tiba tanpa diketetahui oleh semua orang yang menjadi sasaran utama kecuali oleh komplotan terorisme dan pelaku bom bunuh diri.

3. 2. 4. Finis Operantis Pelaku Bom Bunuh Diri

Terorisme (si pelaku) bom bunuh diri mengetahui bahwa tindakannya lahir dari kehendak hati nuraninya. Finis operantis bunuh diri dari teroris adalah pembuktian pada kesetiaannya menjalankan perintah ajaran yang dianutnya. Si pelaku ingin bahwa dengan kematiannya yakin bahwa akan mendapat kehormatan , pahala, dan sebagainya. Akibanya adalah bahwa paham yang dianutnya diwujudkan dengan tindakan yang menghantar dirinya kepada kematian mengenaskan bagi sasaran terornya dan dirinya sendiri.

4. Penilaian Moral: Benar Salahnya Tindakan Bom Bunuh Diri

Pertama, Tindakan terorisme bom bunuh diri adalah bentuk perbuatan susila yang salah oleh karena dalam kehendak bebasnya si pelaku memilih melakukan perbuatan yang pada hakikatnya bertentangan dengan norma umum yang diketahui sebelum membunuh melancarkan serangan bomb bunuh diri. Kedua, Bom bunuh diri merupakan salah satu bentuk yang mutlak harus dikatakan sebagai tindakan moral Voluntarium Direktum. Meskipun Finis operantis-nya baik, yakni demi sebuah nilai kehormatan, tetapi obyek tindakannya tidak bisa dibenarkan karena jelas mematikan dirinya sendiri dan memusnahkan kehidupan orang banyak.

5. Penutup

Dari kasus bom bunuh diri ini, penulis merefleksikan sebuah keprihatinan moral yang nyata dalam kehidupan dunia sekarang ini. Orang kristiani, dituntut untuk mempromosikan sebuah prinsip yang nilainya lebih agung, mulia, sesuai dengan prinsip kebenaran iman. Gereja, dalam peziarahan refleksi moralnya semakin ditantang oleh pelbagai macam tindakan yang mengarah kepada realitas kejahatan (malum), yang seringkali sulit untuk dipikirkan dan dicari jalan keluarnya. Namun di balik itu semua hanya satu nilai yang mesti dijunjung yakni kehidupan. Kehidupan mengandaikan kedamaian, rasa aman, dan sebuah tindakan keberimanan yang benar.


Kepustakaan

Chang, William., Pengantar Teologi Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia, 2005
¬¬¬¬¬¬
________., Keprihatinan Moral, Yogyakarta: Kanisius, 2003

Go, Piet., Teologi Moral Fundamental, Malang STFT, 2003

________., Moral Konkret 2; Kehormatan, Kebenaran, Kesetiaan, Malang STFT, 1980
Kant, Immanuel., Dasar-Dasar Metafisika Moral (terj),Yogyakarta: Insight Reference, 2004

Paus Yohanes Paulus II, Evanggelium Vitae, Dok Pen KWI: Jakarta, 1996

Peschke, Karl-Heinze., Etika Kristiani Jilid III; Kewajiban Moral Dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003

Tidak ada komentar:

Posting Komentar