Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Rabu, 09 Juni 2010

Pendidikan: Energi yang Memerdekakan Tinjauan Filsafat Pendidikan

Pendidikan: Energi yang Memerdekakan
Tinjauan Filsafat Pendidikan

Oleh: Kosmas Ambo Patan


I. Pengantar
Peradaban manusia senantiasa berjalan dari situasi singular menuju situasi yang plural, dari ranah yang sederhana menuju ranah yang kompleks. Arus perjalanan peradaban ini tidak pernah melepaskan kiprah manusia di dalamnya. Manusia menjadi bagian dari perjalanan peradaban itu. Berhadapan dengan perjalanan peradaban yang semakin kompleks dan plural ini maka diperlukan pendidikan yang bermutu, yaitu pendidikan yang berorientasi memerdekakan setiap orang dari kungkungan arus peradaban dengan memberi ruang gerak diri yang otonom. Dengan kata lain, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang mampu memberi ketegasan pribadi seseorang dalam menentukan langkah hidupnya demi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan bangsa dan negara.

II. Makna Pendidikan
Pendidikan memiliki makna yang begitu luas. Dalam bahasa latin, kata educatio yang artinya pendidikan, memiliki dua makna sebagai manifestasi dari akar katanya educare dan educere . Pertama, kata educare berarti melatih, memperlengkapi seseorang dengan ketarampilan tertentu, baik ketrampilan fisik (seperti kemampuan mengendarai mobil) maupun mental (seperti kemampuan berhitung, berlogika dan berbahasa). Dalam konteks ini pendidikan berarti memberikan pengetahuan (ketrampilan) yang menunjang perkembangan intelektualitas dan kreativitas seseorang. Kedua, kata educere berasal dari kata ducere (memimpin, mengantar) dengan awalan ex menjadi educere yang berarti mengantar ke luar, mengangkat atau menghasilkan. Maka pendidikan dalam arti kata ini berarti menumbuh-kembangkan potensi dan kemampuan yang ada di dalam diri seseorang. Melalui pendidikan seseorang dimungkinkan untuk mengenal dan mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya.
Berdasarkan kata educatio ini maka pendidikan berarti proses pemenuhan diri dengan pengetahuan dan pengembangan potensi yang ada di dalam diri. Melalui pendidikan seseorang (secara khusus mahasiswa) dibawa kepada posisi profesionalitas sehingga ia dapat/mampu mengatasi hidup yang dijalaninya sebagai ego, sebagai anggota masyarakat sosial pada suatu lingkungan dan sebagai warga yang berbangsa dan bernegara.
Seiring dengan pandangan educatio di atas, Plato mengungkapkan makna pendidikan dalam kaitannya dengan bakat dan potensi yang ada dalam diri seseorang. Baginya pendidikan adalah suatu bentuk persiapan untuk suatu peran (politik) dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya: yang berbakat menjadi pemimpin hendaknya dididik pada tataran yang lebih tinggi.
Berbeda dengan Plato, J. J. Rousseau berpendapat bahwa pendidikan itu bertujuan untuk melindungi budi dari kekeliruan dan hati dari kejahatan yang terbentuk karena adanya relasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Makna pendidikan Rousseau ini lebih ditekankan pada nilai moral atau nilai etis. Dengan kata lain, pendidikan membentuk wacana pengetahuan moral dan etika dalam diri seseorang (mahasiswa). Berkaitan dengan ini pula, John Dewey memfokuskan perhatian pada wacana praktis. Menurut Dewey makna pendidikan terbentuk melalui tindakan praktis; belajar dengan berbuat (learning by doing). Hal ini dikarenakan bahan baku atau metoda itu akan berfungsi menggugah pengalaman edukatif pada individu-individu tertentu di saat tertentu.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas maka dapat dikatakan bahwa pendidikan itu mencakup seluruh integritas diri manusia, baik pengembangan intelektual dalam konteks IPTEK, maupun pengembangan “hati” dalam konteks nilai moral dan etis.

III: Tujuan Pendidikan: Orientasi Nilai
Pendidikan adalah gerak emansipasi, suatu proses yang menuntun orang untuk menjadi manusia yang merdeka, beradab dan otonom. Kemerdekaan dalam konteks ini adalah realitas yang “multi facets”.
Pertama, kemerdekaaan yang harus diraih oleh manusia adalah kemerdekaan dari tirani alam. Manusia membutuhkan alam demi kelangsungan hidupnya. Kelangkaan alam adalah ancaman yang serius bagi manusia. Di sinilah terletak peran pendidikan akal budi. Tanpa adanya pengembangan intelektual, maka manusia akan menjadi ‘budak’ perubahan alam yang tidak menentu, yang lolos dari kendalinya. Oleh karena itu, tujuan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah membebaskan manusia dari rintangan serta keterbatasan-keterbatasan alam tersebut, dengan jalan menguasai hukum-hukum rahasia yang mengaturnya.
Dalam proses pemerdekaan ini, dunia ilmu pengetahuan dan teknologi pun dituntut agar tidak hanya memerdekakan manusia dari alam tetapi juga harus memerdekakan alam dari ancaman-ancaman kerusakan, kepunahan, dan kehancurannya. Dengan kata lain, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak hanya mengeksploitasi tetapi juga mengkonservasi alam.
Kedua, memerdekakan dirinya dari dominasi orang lain. Inilah tugas pendidikan kemasyarakatan. Setiap manusia dituntun untuk menggenggam nasibnya sendiri dan bukan digenggam oleh orang lain. Maka ia harus melepaskan dirinya dari kungkungan dan dominasi orang lain. Di samping itu, ia pun berkewajiban untuk memerdekakan sesamanya. Artinya, ia bertanggung jawab pula dalam mengangkat martabat dan taraf hidup sesamanya ke tingkat yang lebih tinggi. Dengan demikian, tujuan mulia pendidikan adalah membawa manusia agar memiliki rasa wajib dan tanggung jawab sosial terhadap berjuta-juta rakyat. Dan akan menjadi lebih sempurna dengan memprioritaskan sikap ini kepada masyarakat yang paling “miskin” (option for the poor). Sebab di sanalah jeritan perubahan nasib paling lantang dikumandangkan.
Ketiga, memerdekakan dirinya dari “dirinya sendiri”. Pendidikan dalam ranah ini adalah transfer of values yang berguna untuk membina budi pekerti seseorang yang seringkali menimbulkan gap antara kesadaran dan perbuatan. Dengan demikian, dapat terjadi pemberdayaan pribadi manusia secara utuh dalam menyerap dan mengamalkan nilai-nilai moral.
Ketiga tujuan diatas senantiasa saling berkorelasi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan itu berhubungan erat dengan keseluruhan integritas diri manusia.

IV. Posisi Eksistensi Mahasiswa
Perjalanan peradaban suatu bangsa (dalam hal ini bangsa Indonesia) hendaknya senantiasa terdeteksi oleh mahasiswa. Hal ini bertujuan agar mahasiswa mampu menuntun bangsa dan negara ini ke arah yang benar, ke haluan yang sesuai dengan cita-cita bangsa yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (pembukaan UUD ’45). Cita-cita itu akan terwujud jika aktivitas mahasiswa selaras dengan makna /arti dan tujuan pendidikan. Oleh karena itu, hal ini bukanlah menjadi beban dan tanggung jawab pada masa yang akan datang (futurum) tetapi sekarang dan di sini (hic et nunc), di lingkungan kampus (Universitas).
Pertama, kemerdekaan terhadap ketergantungan kita pada “alam” dapat kita alihkan dengan realitas kita sebagai mahasiswa. Kita kerap belajar hanya pada saat menjelang ujian/kuis dan menjelang pertandinga/perlombaan tertentu. Selain waktu-waktu tersebut kita tidak belajar. Oleh karena itu, kita harus memerdekakan diri dari ketergantungan itu. Sebab kita belajar bukan untuk sekolah tetapi untuk hidup (Non Scholae Sed Vitae Discimus). Kedua, kemerdekaan dari dominasi orang lain. Dalam konteks kampus kita diarahkan untuk bisa menampilkan diri, bahwa kita pun mampu untuk mandiri dan berprestasi, dan bukan hanya berdiri di bawah bayang-bayang orang lain. Untuk itu, ada banyak pilihan di Universitas, baik pendidikan formal maupun non formal. Di sinilah terungkap makna/arti educere. Ketiga, kemerdekaan dari diri sendiri. Sebagai mahasiswa, kita pun dituntut untuk sadar bahwa eksistensi kita tidak terlepas dari orang lain. Kita hidup dalam suatu lembaga pendidikan yang situasi dan kondisinya memungkinkan kita untuk berelasi dengan orang lain. Bersamaan dengan itu nilai moral dan etis pun dikenakan. Misalnya: sopan santun dalam berhubungan dengan orang lain. Singkatnya kita “dipaksa” untuk mengahargai dan menghormati orang lain. Berkaitan dengan ini, makna pendidikan menurut J.J. Rousseau di atas dapat menjadi cerminan.
Konteks pendidikan yang ditawarkan di atas bukanlah semata-mata menjadi pajangan, tetapi harus dilakukan pada saat ini dan di sini (hic et nunc), di lingkungan kampus (Universitas). Sebab sebagai generasi penerus cita-cita bangsa, kita akan mampu membawa bangsa ini apabila kita telah terbiasa untuk itu. Dalam hal ini kita belajar dengan berbuat (learning by doing) seperti yang dikatakan oleh John Dewey di atas. Kita belajar sebagai “anak-anak” bangsa untuk menjadi “pemimpin” bangsa dan negara di masa yang akan datang (children today, leader tomorrow).

V. Penutup
Harapan bagi peningkatan peradaban intelektualitas menunjukkan perkembangan yang signifikan. Oroentasi nilai yang dikejar varians menuju pendidikan yang pluralistik. Kesadaran akan nilai yang diraih menuntun pada suatu nuansa education society, masyarakat berpendidikan. Pendidikan menjadikan manusia yang berkembang terarah secara holistic dalam pelbagai dimensi hidupnya. Tak sedikit problem yang berganti menghantui peradaban ‘kebodohan’. Pendidikan bukan kata baku untuk memerangi kebodohan itu. Namun secara metafisis pendidikan ada bukan untuk dirinya sendiri tetapi hadir sebagai preambule, ibarat bidan yang melayani lahirnya sebuah keindahan, kebaikan, kesatuan dan bagi kehidupan.
Manusia yang pada dasarnya ingin tahu, makhluk intelektual. Memiliki kapasitas akal budi yang mengalit dari kodratnya sebagai ciptaan Allah. Pendidikan menyadarkan manusia secara pribadi sesuai dengan kodratnya yang tercipta menurut akal budi ilahi. Oleh manusia itu sendiri pendidikan kin terarah dan berbasis pembangunan karakter masyarakat. Terdapat kesadaran hakiki manusia yang bahwa pendidikan dapat memerdekakan. Dengan demikian mengantar manusia pada martabat ilahi. Pendidikan yang diharapkan yakni pendidikan yang menuntun pada kesesuain prinsip akal budi ilahi.

Kepustakaan

Dua, Michael., Pendidikan: Antara Otorisasi dan Proses Otonomisasi, Bandung: Melintas No. 30, Desember 1993

Dewey, John., Menggugat Pendidikan (Fundamentalis, Konservatif, Liberal, Anarkis); Kriteria Pengalaman, Diterjemahkan Oleh: Omi Intan Naomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001

Rahmat, Agus, OSC., Filsafat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Inspirasi dan Tantangan bagi Pendidikan Nasional, Bandung: Melintas No. 14, Agustus 1988

Widodo, Johanes., Panggilan dan Tanggung Jawab Pendidikan dalam Proses Transformasi Kehidupan, Bandung: Melintas No. 27, Desember 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar