Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Selasa, 08 Juni 2010

PERGESERAN PARADIGMA BAHASA PERSPEKTIF FILSAFAT POST-STRUKTURALIS Jean Jacques DERRIDA

PERGESERAN PARADIGMA BAHASA PERSPEKTIF FILSAFAT POST-STRUKTURALIS Jean Jacques DERRIDA
Oleh: Kosmas Ambo Patan

1. Pengantar
Para filsuf post-strukturalis mendekonstruksi segala primat yang diprioritaskan oleh kemodernan yang sangat dipengaruhi oleh zaman iluminasi. Pada tataran lebih lanjut, para Post-strukturalis merayakan kematian subjek. Bagi mereka, subjek atau manusia itu dibentuk dan diproduksi oleh struktur (sistem), dan struktur yang membentuknya itu tidak pernah disadarinya. Para post-strukturalis berusaha mematikan peran subjek. Pengaruhnya terhadap dunia sastra tidak disangkal lagi. Mereka menekankan otonomitas teks dihadapan sidang pembaca. Derrida adalah pembicara yang paling vokal sekaligus provokatif dari kaum post-strukturalis. Derrida membuka suatu kreativitas yang membawa kepada interese terhadap tulisan sebagai gramatologi yang akhirnya memiliki dampak praktis.
Dalam tulisan ini, penulis ingin menggagas sebuah pergeseran paradigma bahasa oleh Derrida. Penulis menyelidiki keterkaitan khusus antara peran sejarah dengan pergeseran bahasa dalam perspektif filsafat post-strukturalis, dalam hal ini Derrida sendiri. Adapun hal-hal pokok yang akan dikumandangkan adalah sebagai berikut: historositas dalam post-strukturalisme, relasi tak terpisah antara sejarah dan bahasa, bantahan Derrida terhadap fenomenologi Husserl, memperlihatkan pergeseran bahasa dari lisan ke tulisan. Di akhir tulisan ini, penulis mencoba menelusuri pengaruh logosentrisme Derrida dalam dunia jurnalistik di Indonesia.

2. Historisitas Perspektif Post-Strukturalisme Derrida
Historisitas turut menentukan nasib dari pemaknaan bahasa. Derida membicarakan intertekstual, karena suatu teks tak pernah terisolir tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain. Dalam hubungannya dengan hal tersebut, sejarah menempatkan diri pada pengaruhnya terhadap tulisan. Karena sejarah selalu terbentuk oleh pelbagai jaringan peristiwa yang tiada putusnya, sejarah turut menentukan diskursus linguistik yakni dari ekstrim bahasa lisan ke ekstrim bahasa tulisan. Sejarah dibentuk oleh rajutan diskursus yang kemudian diramu menjadi sebuah sejarah. Sejarah menentukan intertekstual pamaknaan kata. Historisitas berdampak pada gramatologi praktis yang digarap oleh Derrida.

2. 1. Pandangan Terhadap Sejarah
Sejarah selalu dipikirkan sebagai kumpulan peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau dengan waktu dan tempat yang jelas. Tugas seorang sejarawan memaparkan segala sesuatu yang pernah terjadi di masa lampau. Sejarawan adalah agen masa lampau itu. Bagi Derrida sebagai salah satu emblem pos-strukturalis, sejarah adalah jejak (trace). Hal ini sulit dimengerti karena Derrida memikirkan tanda sebagai trace (yang juga bisa disebut ‘bekas’, suatu kata yang sebelumnya pernah dipakai sebagai istilah teknis dalam filsafat, (mis. Plotinus, Heidegger, Levinas).
Derrida mengingatkan pula bahwa sebuah bekas atau jejak, tidak memiliki substansi atau bobot sendiri, tetapi hanya menunjuk. Bekas atau jejak tak dapat dimengerti sendiri, terisolasi dari segala sesuatu yang lain, tetapi sejauh menunjuk kepada hal-hal lain. Bekas atau jejak mendahului objek, karena ia bukan efek, melainkan penyebab. Maka masa lampau sebagai masa lampau tidak pernah ditangkap seratus persen. Sejarah dilihat sebagai jejak bukan sebagai masa lampau.

2. 2. Sejarah dan Linguistik
Dalam membicarakan sejarah, Derrida memperlihatkan bahwa sejarah itu tiada lain adalah “jejak” yang bisa dilacak. Jika sejarah adalah jejak, maka orang yang tidak memyaksikannya dapat berbicara apapun tentangnya. Jejak itu secara essensial adalah ‘bisu’, walapun ia meninggalkan bekas di atas peta. Menurut Derrida bahwa jejak yang murni adalah ‘Difference’. Bahasa sebagai konstruksi linguistik. Sejarah bukan seperti sebuah potret, yakni memuat objek secara lengkap segala sesuatu dari objek itu. Sejarawan bebas mengekspresikan dirinya, dia tidak terikat pada fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau, sebab masa lampau itu sendiri selalu masa lalu dalam perspektif masa kini. Namun uniknya bahwa imaginasi sejarawan mengisyaratkan peristiwa masa lalu itu sendiri sebagai hasil konstruksi imaginatif yang dibuatnya.

3. Bantahan Terhadap Fenomenologi Bahasa Edmund Husserl
Prospek pengembangan filsafat Post-strukturalisme adalah teori tentang bahasa. Derrida membangun teori bahasa post-strukturalisnya setelah melakukan dekonstruksi atas teori bahasa fenomenologis Husserl. Derrida berupaya membalikkan seluruh argumen Husserl.
Proyek filsafat fenomenologi bahasa ialah mencari taraf bahasa yang “sejati”, dari perspektif filsafat subjektivisme (“aku”). Bagi Husserl, bahasa “sejati” mutlak dan semata-mata bersifat manusiawi, dan karena itu ia, menarik suatu distingsi mutlak antara tanda-tanda manusiawi dan tanda-tanda natural. Bagi Husserl bahasa yang “sejati” terdapat dalam bentuk “tuturan”, di mana makna tuturan sesuai dengan kehendak dan maksud si penutur.
Pemikiran Husserl bahwa bahasa “sejati” mutlak dan bersifat manusiawi telah memungkinkannya untuk meniadakan eksistensi tanda-tanda verbal yang objektif dengan mengedepankan subjektif manusia. Dari perspektif filsafat “aku’ sebagai subjek, ini merupakan kesimpulan yang memuaskan, namun dari perspektif setiap orang yang hendak memikirkan bahasa sebagai sebuah realitas yang penting dengan segenap haknya, kesimpulan Husserl merupakan kesimpulan yang tidak memuaskan. Respon Derrida terhadap tesis Husserl cukup beralasan. Derrida mematahkan kesimpulan Husserl dengan berfokus pada sisi bahasa itu sendiri (in se). Bagi derrida, sejati atau tidaknya bahasa tidak terdapat pada sisi manusiawinya, melainkan terdapat pada sisi kebahasaannya itu sendiri. Oleh Derrida, bahasa diusahakan lepas dari intervensi manusia. Bahasa berfungsi sepenuhnya oleh dirinya sendiri dan bukan oleh yang lain yang mengatasi dirinya (per se). Jika Husserl menggiring bahasa terhadap monolog interior sebagai kasus bahasa lisan, sebaliknya Derrida menggiring bahasa terhadap ekstrem tulisan.

3. 1. Para Linguis Awal
Dari perspektif strukturalis, bahasa digagas dan dimengerti sebagai sebuah lembaga kolektif yang kaidah-kaidahnya harus ditaati oleh individu-individu yang diwariskan dengan cara paksa dari generasi ke generasi sejak adanya manusia dan yang dibentuk khusus, dari bentuk terdahulu mengalir tanpa putus sampai kepada bentuk sederhana.
Dalam memikirkan pemaknaan kata, Derrida mengeksplisitkan bahwa sebenarnya gagasan berpijak atas “jejak” atau sejarah, bukan sebaliknya. Arti atau hasil dari pemaknaan tidak begitu saja tampil, tetapi selalu dalam kondisi di mana arti terbawa oleh jejak. Hal inilah yang dimaksudkan oleh Derrida sebagai yang memberi arti terhadap bahasa. Dalam rangka inilah bahwa sejarah memengaruhi pergeseran paradigma metodologis pemaknaan realitas bahasa.


3. 2. Dari Lisan ke Tulisan
Gambaran sejarah sebagai “jejak” berperan dalam merekonstruksi gramatika. Gambaran yang dipaparkan oleh Derrida, sebenarnya hanya mau menyingkapkan sekaligus mengungkapkan tesisnya mengenai prioritas bahasa tulisan atas bahasa lisan. Sejarah sebagai “jejak” dimengerti selalu berada dalam relasi, diskursus, peristiwa. Inilah sebuah jaringan sejarah. Jaringan atau rajutan itu mengandung tanda. Jaringan atau rajutan tanda oleh Derrida disebut sebagai teks. Derrida memperlakukan segala realitas ada (“being”) sebagai yang memiliki status teks. Segala sesuatu ditandai oleh tekstualitas dan tak lepas dari koridor teks lain. Atas dasar itu, Derrida berbicara mengenai intertekstualitas demi meruntuhkan intersubjektivitas fenomenologis Husserl yang mengklaim filsafat subjektivisme (“aku”) dapat memantapkan bahasa lisan sebagai kilasan yang valid.

4. Bahasa Perspektif Filsafat Post-strukturalisme Derrida
Pergulatan Derrida mengenai permainan kata, menjadi sumber filosofis yang kreatif dan kritis telah mengukir sejarah perubahan dalam dunia sastra. Paham post-strukturalis mengenai bahasa lisan melampaui strukturalis. Derrida memperkenalkan daya kritiknya terhadap bahasa yakni dengan emansipasi teks. Dalam sejarahnya, pemahaman ini tentu bermula dari positivistik, yaitu pemikiran para filsuf yang melatarbelakangi pemikiran Derrida mendekati bahasa secara logosentris (menampilkan bahasa dalam fungsi logisnya). Misalnya, dalam bentuk penilaian (judgment), pernyatan (preposition), dan representasi. Bahasa yang digagas Derrida dalam fungsi logisnya menunjukkan karakter objektif dan real apa adanya dari bahasa itu sendiri.
4. 1. Bahasa Sebagai Tulisan
Derrida menekankan “logosentrisme” (berpusat pada logos) pemikiran yakni bahwa makna dipahami sebagai independensi bahasa yang dikomunikasikan Derrida sepakat dengan Saussure, bahwa bahasa merupakan produk yang berbeda antar penanda. Derrida percaya bahwa penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung ke dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking). Derrida menilai bahwa tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bagaimana bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified. Fungsi dua terminologi ini dimaksudkan untuk membantu memahami setiap kata yang dirangkaian membentuk suatu bahasa.

4. 2. Relevansi Bahasa Tulisan dalam Dunia Jurnalistik Indonesia
“Siapa yang menguasai informasi maka ia akan menguasai dunia.” Term ini seringkali diungkapkan untuk menekankan pentingnya informasi. Menguasai informasi tidak hanya melihat apa yang tertulis, tapi jauh dari itu, kita juga harus mengamati sesuatu yang tersirat dari tulisan yang disuguhkan kepada sidang pembaca. Reformasi bahasa yang dilancarkan oleh Derrida, tak bisa tidak telah menyentuh performa dunia informasi tanpa terkecuali juga di Indonesia. Dalam bagian yang akan ditampilkan ini, yakni jenis-jenis tulisan yang ada di media massa khususnya media cetak, dimaksudkan untuk melihat pengaruh perubahan sistem dalam pemaknaan bahasa itu sendiri dari perspektif logosentrisme Derrida.



Tajuk
Bahasa tak lagi terlihat sebagai rangkaian kisah (naratif), namun menunjukkan daya ilmiah (logos) dari suatu kata yang dibahasakan itu. Paling tidak pemikiran Derrida memengaruhi sistem penuangan bahasa tulisan dengan mengindahkan segi keilmiahan suatu bahasa tulisan. Dalam tajuk rencana suatu koran misalnya, mengalami kemajuan logika. Mungkin karena tajuk sering disebut induk karangan (berasal dari bahasa belanda “hoofd artikel”), editorial atau leader dipengaruhi Inggris misalnya the economist sedangkan istilah editorial umumnya dipakai oleh penerbitan Amerika). Tajuk juga seringkali dijadikan acuan kewibawaan sebuah media. Hal ini terjadi karena tajuk mewakili opini atau sikap media yang ada di baliknya. Bentuk tajuk juga dari tahun ke tahun mengalami perubahan yang signifikan. Banyak media cetak/koran yang memuat tajuk rencana, menekankan dimensi logos dari suatu kata.

Kolom
Kolom sebagai forum diskusi mempunyai tempat terpandang dalam pers Indonesia. Kolom ikut membentuk aliran utama pemikiran intelektual yang tengah berkembang dalam masyarakat. Sebuah kolom mungkin hanya memberikan sebuah pandangan atau penilaian, penekanan pada segi tertentu dan melihat kecenderungannya. Sumbangsi dekonstruksi Derrida ialah memberikan warna baik langsung maupun tak langsung misalnya penilaian (judgment).

Opini
Tulisan berupa opini berisi gagasan, ulasan, dan kritik terhadap sebuah permasalahan yang ditulis dalam bahasa ilmiah populer. Tulisan ini juga menyediakan solusi. Memilah perbedaan antara fakta dan opini melahirkan jurnalisme evaluatif. Opini yang ditampilkan oleh para penulis dari waktu ke waktu, didasarkan pada teori ilmiah dan syarat dengan memperhatikan metodologis, kelihatan semakin tajam seiring dengan kemajuan peradaban rasionalitas manusia.

Berita
Secara sederhana, berita mengandung unsur 5W + 1H (what, why, when, where, who dan how). Berita mengandung muatan nilai dan kepentingan dari pengasuh, sehingga setiap kelompok penerbitan punya visi dan misi tertentu, meski dikemas dengan label independen. Fungsi pemberitaan bukan untuk memperingatkan, menginstruksikan maupun membuat tercengang pembacanya. , tetapi bagaimana makna tiap kata dalam bahasa tulisan ini dimengerti.

5. Penutup
Derrida telah memberikan pengaruh yang luar biasa dalam dunia sastra zaman sekarang. Dimensi kesekarangan dari filsafat bahasa Derrida dirasakan dimana-mana. Geliat keterpesonaan akan kemajuan terhadap sistem pemaknaan kata dari perspektif filsup ini mengubah paradigma fungsi bahasa. Dari lisan ke tulisan, dari bersifat naratif ke logis. Hal ini juga berpengaruh dalam bahasa yang dipakai oleh para jurnalis. Tampak bahwa intersubjektivitas telah redup dari dunia ini, yang muncul adalah intertekstualitas dan menonjolkan fungsi logisnya. Begitu penting teks dari suatu bahasa sehingga media selalu ingin memberikan performa yang bagus, ilmiah terhadap tulisannya, seiring dengan perkembangan bahasa.

Kepustakaan

Al-Fayyadi, Muhhamad., Derrida, Yogyakarta: LKIS, 2008

Audi, Robert., The Cambridge Dictionary of Philosophy, New York-Melbourne: Cambridge University, 1995

Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Jilid II Prancis, Jakarta: Gramedia, 2006

Harland, Richard., Superstrukturalisme; Pengantar kepada Semiotika, Strukturalisme, dan Poststrukturalisme, Yogyakarta: Jalasutra, 2006

Lechte, John., 50 Filsuf Kontemporer; Dari Strukturalisme sampai Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2001

Piaget, Jean., Strukturalisme, (terje.), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995

Sumaryanto, E., Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1999

http://id.shvoong.com/social-sciences/1737743-berkenalan-dengan-post strukturalisme/ (diakses tgl 27 April 2008)

http://persmediadkm.multiply.com/journal/item/25 (diakses Tangal 27 April 2007)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar