Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Selasa, 15 Juni 2010

IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja


IKONOGRAFI VERSUS IKONOKLASME; Historisitas Seni Beriman Gereja
Kosmas Ambo Patan

Pengantar

Ikon seringkali disebut sebagai seni teologis, oleh karena ikon tidak terlepas dari nuansa ajaran iman. Seiring dengan perkembangan peradaban seni sendiri, ikon menempati tempatnya sendiri. Ikon berbeda dengan aliran seni lukis lainnya. Alasannya karena ikon sarat dengan nuansa religius. Nuansa ini terkait erat dan karena itu menjadikan ikon berbeda dari lukisan yang bernuansa religius lainnya. Ciri ikon adalah keabadian yang membedakannya dari karya seni lain, sebab ikon memiliki tendensi pada pertanyaan pokok iman Kristiani; Siapa Yesus Kristus? Yesus Kristus yang adalah Allah manusia. Allah dalam wujud kemanusiaan . Ikon adalah seni menghayati iman. Ikon menampakkan dimensi kemanusiaan dan kailahian, menjadi corong dalam pengungkapan iman akan Yang Ilahi, maka ikon selalu terkait erat dengan Kitab Suci dan Liturgi.
Sedangkan Ikonoklasme adalah sebuah gerakan penghancur gambar-gambar atau ikon. Gerakan ini menentang penggunaan gambar yang dipakai sebagai sarana ibadat dalam Gereja Timur. Ikonoklasme berpendapat bahwa ikon lebih cocok sebagai sarana pengajaran iman dari pada sebagai sarana peribadatan. Pembelaan terhadap penggunaan ikon dalam peribadatan diperjuangkan oleh Yohanes Damaskus, bahwa penggunaan gambar-gambar itu dimungkinkan untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang kudus sebagai konsekuensi logis dari inkarnasi. Problem inilah yang mendatangkan krisis dalam Kristianitas zaman Gereja Bizantium.
Dalam tulisan ini penulis mencoba (secara singkat-padat) menelusuri kembali pokok permasalahan yang ada sebagai pemicu pertentangan ini. Pada poin pertama penulis ingin menampilkan latar belakang sejarahnya, melihat terminologi dan unsur teologis serta dimensi liturgisnya. Poin kedua menampilkan akar pemicu pertentangan. Poin penutup penulis ingin menampilkan upaya rekonsiliasi dengan redefinisi atau pengaturan secara wajar ikon dalam dunia penghayatan iman Gereja.

A. Ikon
1. Latar Belakang Sejarah
Pada abad ke-7, muncullah agama Islam di Timur tengah. Kota Konstantinopel diserbu pada tahun 678 dan 718. Kebanyakan dari propinsi Gereja timur termasuk patriakh Aleksadria, Yerusalem, dan Antiokhia, jatuh ke tangan Islam. Sebab mulai abad ke-6 bangsa Slavia yang belum Kristen memasuki daerah Balkan, maka seakan didirikan semacam tembok antara Roma dan Konstantinopel, yang menimbulkan persaingan antara Timur dan Barat. Di Konstantinopel bahasa latin diganti dengan bahasa Yunani sebagai bahasa resmi. Komunikasi dengan Barat berkurang. Maka mulai masa itu pula Bizantium menjadi kekaisaran Yunani.
Latar belakang budaya Yunani seperti penghormatan kepada patung dewa-dewi menginspirasikan suatu bentuk pengahayatan iman di kalangan Gereja Timur. Gagasan ini berkembang dan di adopsi oleh Gereja Timur karena dilihat sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual untuk menggambarkan Allah dalam wujud kemanusiaan. Patung atau gambar itu dibuat untuk menghadirkan Kristus dan orang-orang Kudus. Maka penghormatan ini diterima dan menjadi devosi umum dalam Gereja Timur. Pembuatan ikon ini dilakukan oleh Ikonografer , dengan pantang dan puasa khusus. Ditinjau dari pespektif kesusastraan, sumber literer Ikonografer adalah Kitab Suci, tulusan-tulisan Apokrif , teks-teks liturgis, hagiografi , dan manuskrif dari bapa-bapa Gereja. Dalam perkembangan selanjutnya ada banyak literer yang mempengaruhi pembuatan ikon.

2. Terminologi
Ikon berasal dari bahasa Yunaniyang berarti gambar. Kata ikon dalam pengertian umum biasa digunakan untuk menerangakan gambar yang dibuat diatas kayu. Gambar tersebut hendak mempresentasekan gambar Tuhan, Bunda Maria, dan santo-santa atau orang Kudus lainnya. Gambar yang disajikan bukanlah pertama-tama gambar nyata yang mendetail dan indah menurut kriteria seni murni, namun lebih mengungkapkan makna simbolik. Oleh karena itu, ikon dalam kerangka ini memiliki fungsi sebagai sarana untuk mengamini ajaran iman. Dalam Gereja Timur ikon dipakai sebagai sarana peribadatan, baik pribadi maupun publik.

3. Unsur Teologis
Ikon adalah gambar yang merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi. Ikon merupakan sarana manusia beriman untuk mengenal dan merepresentasekan kehadiran Yang Ilahi ke dalam lingkungan inderawi manusia. Ikon dilihat sebagai sarana yang mudah dan mengena dalam menghayati Kristus sebagai Allah dalam dalam rupa manusia. St. Theodorus mengatakan bahwa Sabda Allah yang tidak tampak berasal dari Bapa yang juga tidak tampak, sabda itu muncul dan menjadi jelas kala Yesus hadir ke dunia.
Unsur teologis ini ditentang oleh Ikonoklasme yang beranggapan bahwa mustahil merepresentasekan Kristus sebagai Allah dalam sosok manusia, Allah lebih besar dari gambaran yang bisa diberikan oleh manusia. Mustahil mereduksi Allah yang maha segala. Dasar biblis yang dipakai untuk menyerang adalah dari Kitab Suci, “Tidak pernah ada orang yang melihat Allah” (1 Yoh. 4:12).

4. Dimensi Liturgis
Liturgi adalah sarana manusia hadir dihadirat Allah. Dalam liturgi umat beriman merlakukan penyembahan, penyembahan itu sendiri mendapat tekanan pada Konsili Necea tahun 787. Penyembahan itu hanya ditujukan kepada Allah semata. Penyembahan kepada ikon hanya menjadi sarana manusia untuk masuk dalam suasana religius. “Penghormatan terhadap ikon tidak ditujukan pada gambar melainkan kepada tokoh yang digambarkan” atau kepada sosok yang direpresentasekan dalam ikon itu. Ikon dalam liturgi digunakan sebagai sarana manusia mengasah kepekaan inderawi akan kehadiran Allah.

B. Ikon versus Ikonoklasme
1. Ikonoklasme
Ikonoklasme berasal dari bahas Yunaniberarti menghancurkan gambar. Penghancuran gambar-gambar kudus /ikon. Kudus. Ikonoklasme melakukan gerakannya antara tahun 726-843. Latar belakang munculnya gerakan ini dipicu oleh semakin marak dan meluasnya penghormatan terhadap ikon, sehingga terkesan berlebihan. Sehingga muncullah pertentangan antara kaum Ikonoklasta dan kaum Ikonodoula. Ikonoklasta: golongan penentang ikon yang terdiri dari kaisar dan para pejabat tinggi, sebagian dari kalangan rohaniwan sekuler serta penduduk daerah Asia minor. Ikonodoula: golongan yang mempertahankan ikon, yakni para pemuja gambar-gambar ikon yang berlebih-lebihan, terutama para rahib, penduduk dan beberapa teolog.

2. Akar Konflik
Penghormatan terhadap patung, gambar telah menjadi devosi umum dalam Gereja Bizantium, tetapi seringkali dalam praktek, para penghormat ini kurang membedakan antara gambar dengan apa yang digambarkan sehingga sampai pada “pemujaan berhala” atau terjerumus ke idolatry . Hal itu menimbulkan kecurigaan kepada pimpinan Gereja. Tambahan lagi suatu argumentasi Kristologis dari kaisar konstantinus V (741-775), yang berpendapat bahwa sifat gambar sama dengan dengan apa yang digambarkan, dan bahwa membuat suatu gambar Kristus adalah bidaah, karena kedua kodrat Kristus tidak dapat dipisahkan.
Para penghormat patung berpendapat, bahwa suatu gambar pada hakekatnya berbeda dari apa yang digambarkan. Penghormatan patung itu bukan penyembahan atau pemujaan berhala; dapat dibandingkan dengan hormat yang diberikan kepada patung kaisar. Sumber kekuatan ikonoklas untuk menentang adalah dari teks Kitab Suci PL: “Janganlah engkau membuat patung pahatan atau gambaran apapun dari yang ada di langit di atas atau di bumi di bawah atau di dalam air di bawah bumi. Janganlah engkau bersembah sujud kepadanya atau berbakti kepadanya, sebab Aku yahwe Allahmu adalah Allah yang cemburu” . Yohanes Damascenus menitikberatkan hubungan antara arti patung-patung dan teologi inkarnasi; patung adalah tanda nyata bahwa yang jasmaniah disucikan karena Putera Allah yang menjadi manusia. Lagi pula ia menegaskan distingsi mutlak antara istilah “penyembahan” (Allah), dan penghormatan” (patung Kristus dan orang Kudus).

3. Masa Penghancuran
Pada masa kaisar Leo III (717-741), terutama tahun 726 dikeluarkan maklumat pelarangan penghormatan patung sehingga ikon Kristus yang sangat dihormati, dihancurkan. Tindakan ini menimbulkan kerusuhan di Konstantinopel dan terjadi pemberontakan di propinsi Yunani. Tahun 730 Leo III mengeluarkan perintah mengharuskan penghancuran patung-patung. Pada saat itu ikonoklasme dilegalkan. Patung-patung dikeluarkan dari Gereja. Banyak penghormat dihambat, dibuang dan dibunuh.
Tahun 754 atas prakarsa kaisar Konstantinopel V diadakan sinode Konstantinopel. Penghormatan patung dinyatakan sebagai bentuk pemujaan berhala sampai menghormati orang Kudus dan menghormati bunda Allah dilarang saat itu. Masa ini merupakan puncak penghambatan penghormatan ikon sekaligus merupakan puncak kejayaan bidaah ikonoklasme.

C. Upaya Rekonsiliasi
Pada tahun 787 diadakanlah Konsili Nicea II atas prakarsa Irene, janda kaisar Leo IV (775-780), yang menjadi wali putranya. Penghormatan patung dipulihkan kembali. Walaupun antara tahun 813 dan 843 pada masa kaisar Leo V (813-820) dan kaisar Teofilus (829-843), ikonoklasme sempat muncul kembali, namun gelombang kedua ini tidak sehebat yang pertama. Pada Tahun 842 gerakan ikonoklasme lumpuh. Pada tahun 843 diadakan sinode di Konstantinopel untuk memulihkan penghormatan terhadap ikon secara definitif.

Penutup

Setiap agama memiliki cara perspektif dalam mengaktualisasikan kegiatan berimannya. Kegiatan beriman lewat sistem peribadatan menentukan eksistensi agama atau sistem kepercayaannya. Apakah itu melalui simbol yang berupa karya seni, sejauh dilihat tak bertentangan dengan paham dan realitas yang disimbolkan dalam cara pengungkapannya itu. Maka sebagai sebagai penutup dari uraian ini harus dikatakan bahwa setiap manusia beriman telah dinyatakan dewasa menghayati kehidupan rohaninya. Salah satu cara orang masuk ke kedalaman imannya dalam liturgi adalah lewat seni dan mendalami makna simbolis yang sarat dengan makna dan simbol teologis. Ikon sebabagi suatu sarana peribadatan mau memberi tempat untuk itu.

Kepustakaan

ALKITAB
Haight, R., Christian Community in History 1; Historical Ecclesiology, London: Continuum, 2004

Gallatin, Harlie Kay., A Lion Handbook, The History of Christianity, England: Lion Publishing plc, 1977

Shadily, Hasan (ed)., Ensiklopedi Indonesia; edisi khusus, Jakarta: PT. Ichtiar Baru-Van Hoeve, (t.th.t)

Heuken, A., Ensiklopedi Gereja; Jilid III H-J, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar