Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'

Rumah Betang (So Langke) Identitas filsafat orang Daya'
Rumah Betang (So Langka) Spiritualitas harmoni orang Daya' . Dari So langke mengalir peradaban, budaya, tradisi, adat istiadat. So Langke simbol dari kompleksitas dan religiositas orang Daya turun temurun. Simbol keharmonisan hidup orang Daya' bersama ciptaan.

Azimat Kehidupan

Keharmonisan adalah tepat, mungkin jika tak usah mengharapkan orang lain berotak cerdas secerdas dirimu, akan tetapi dapat diwajibkan untuk memiliki hati yang peka melihat suatu hal positif dalam hidupnya. benar bahwa hidup adalah untuk menjadi orang baik. Setiap peradaban manusia di dunia ini sebenarnya ingin mencari yang jauh lebih baik karena sadar bahwa kebaikan hati merupan surga dan dan pokok utama kebijaksanaan Ilahi yang hadir di dunia ini. Namun usaha manusia terpatri pada anugerah yang diberikan oleh Sang Kebijaksanaan. Manusia bukan hanya mampu untuk takut dan membenci tetapi juga untuk berharap dan berbuat baik. Hati orang bodoh ada di mulutnya, tetapi mulut orang bijaksana ada di hatinya. Untuk itu menghormati sesama manusia merupakan syarat utama peradaban.

"Aselong balu' mata' aso, bauling balu' dano'

Datang! dan nikmatilah....

Hidup itu dipikirkan dan dijalankan, serta dihayati dalam spiritualitas:
Aselong balu' mata aso', bauling balu' dano
(hendaklah hidupmu tampak jernih laksana cahaya mentari, dan damai laksana telaga)
Mulai kini, saat ini, dan dimanapun kamu berada.

Laman

Rabu, 02 Juni 2010

Menatap Allah-Merangkul Sesama (Refleksi antropologi-teologis atas Centesimus Annus Artikel 58).

Menatap Allah-Merangkul Sesama (Refleksi antropologi-teologis atas Centesimus Annus Artikel 58).

Kosmas Ambo Patan


A. LATAR BELAKANG
Diterbitkannya Ensiklik Centesimus Annus (CA) oleh Paus Yohanes Paulus II merupakan buah inspirasi dari Ensiklik Rerum Novarum (RN) dan tanggapan Gereja atas berbagai persoalan sosial yang ada dalam dunia. Sebagaimana RN, CA memberi banyak inspirasi bagi perkembangan kehidupan menggereja dalam dunia. Dengannya (CN), Gereja bukan memberi suatu ideologi baru untuk bersaing dengan ideologi zaman tetapi lebih pada usaha mengambil langkah menyikapi perkembangan masalah sosial dunia.

B. ALASAN PEMILIHAN TEMA
Dalam tulisan ini, berturut-turut akan dikedepankan perkembangan kesadaran Gereja Katolik akan tangggung jawab sosial, pokok keyakinan sosial Gereja yang semakin diterima publik, serta medan-medan perjuangan hari-hari ini yang menuntut perhatian dan keterlibatan aktif Gereja. Penulis memilih tema Kemiskinan dan Cinta Kasih. Tema diarahkan pada soal bagaimana sebagai anggota Gereja memihak kepada Orang miskin dan tertindas. Alasan penulis memikirkan dan merefleksikan tema ini bukan saja karena terdorong oleh keterpukauan sekaligus karena merasa bangga dengan ajaran yang unik kristiani karena telah diajarkan lebih dahulu oleh Kristus lewat sabda Injil dan tindakan nyata hidup-Nya, melainkan lebih dari pada itu penulis terdorong untuk memahami tindakan nyata itu dalam terang Injil seturut keprihatinan Gereja yang terus menerus berkumandang terutama tentang Keadilan dan Cinta Kasih kepada sesama manusia, kepada sesama yang miskin dan menderita saat ini dan di sini (hic et nunc). Inilah yang menjadi kerpihatinanku. Keadilan bagi sesama manusia (sesama yang miskin dan menderita) harus diwujudkan!. Inilah yang harus saya upayakan sungguh-sungguh sebagai anggota Gereja dan calon pewarta Injil. Beranjak dari kekayaan Ajaran Sosial Gereja terutama yang tertuang dalam Centesimus Annus, penulis pertama-tama merenungkan dan mengkontemplasikan intisari CA terutama artikel 58. Isi dokumen CA secara keseluruhan sangat panjang, maka penulis sengaja memfokuskan diri pada artikel 58. Penulis membatasi diri pada artikel 58, bukan berarti bermaksud mengabaikan nomor-nomor lain baik sebelum maupun sesudah no. 58 ini. Option for the Poor adalah inti dari refleksi penulis, berkenaan dengan itu, solidaritas menjadi kata kunci penulis untuk memahami artikel ini. Penulis merasa perlu menggarap tema ini karena masih sangat aktual dan relevan dengan situasi dunia dan masyarakat sekarang. Penulis menemukan inspirasi dari ajaran ini tentang bagaimana manusia satu dengan yang lainnya saling memandang dan saling merangkul. Sesama manusia terutama sesama yang miskin bagi Gereja menampilkan Wajah Kristus.

C. PROSES SEE
1. Perspektif Sejarah
Ensiklik Rerum Novarum merupakan peristiwa yang sangat berarti dalam sejarah. Di sana, Gereja menempatkan diri sebagai pihak yang tidak hanya sibuk dengan urusan agamanya tetapi sebaliknya hadir sebagai pihak yang membuka diri dan terlibat dalam persoalan-persoalan sosial, secara khusus dalam bidang perburuhan, sehingga dengan demikian Gereja pun telah membuka diri bagi masalah yang khas dalam dunia modern. Oleh karenanya berikut akan dilihat perkembangan kesadaran sosial Gereja Katolik itu:
• Tahap Karitatif
Tahap ini dimaksudkan untuk menggambarkan sikap Gereja pada masa awal pembentukkan Gereja dan Gereja di abad pertengahan. Pada masa ini Gereja memfokuskan diri untuk melakukan tindakan karitatif melayani sesama yang menderita; karena dalam diri mereka Gereja melihat wajah Kristus misalnya orang Samaria yang menolong orang dirampok. Atau pada masa abad pertengahan di mana kaum biarawan dan biarawati mendirikan rumah-rumah penginapan bagi mereka yang berziarah, rumah sakit dan tindakan karitatif lainnya (CA art.57)
• Tahap tinjauan kritis atas Ajaran Sosial Gereja
Dalam tahap ini kesadaran Gereja yang sangat aktual adalah keprihatinan terhadapa nasib kaum buruh yang miskin dan lemah. Dalam RN Gereja tidak hanya memberi orientasi pada sikap karitatif belaka ala abad pertengahan yang menghimbau kebaikan hati orang kaya terhadap mereka yang lemah atau miskin tetapi lebih lanjut mesti adanya suatu perubahan radikal lewat kesadaran revolusi industri.
Sikap Gereja ini didasarkan pada suatu kesadaran bahwa masalah kaum buruh itu merupakan masalah struktural; artinya diciptakan oleh masyarakat sendiri berdasarkan mekanisme ekonomi kapitalis. Oleh karena itu yang dibutuhkan bukan pertama-tama belaskasihan melainkan keadilan dengan menata ulang bidang ekonomi. Dalam terang iman Gereja memikirkan upah yang adil, hak para buruh, tugas negara, tujuan dan hak milik pribadi dan lain sebagainya. Di sini, Gereja bukan memberikan suatu jalan keluar bagaimana suatu masyarakat ditata secara efisien tetapi yang lebih mendasar dari itu Gereja ingin memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur yang perlu dijamin serta hak dan kewajiban moral yang perlu diperhatikan.
• Tahap himbauan praktis.
Dalam tahap ini Gereja tidak lagi hanya bercokol pada himbauan-himbuan yang diutarakannya tetapi secara lebih lanjut Gereja juga mesti memikirkan bagaimana dirinya terlibat langsung bersama mereka yang marginal. Masalah ketidakadilan bukan hanya terletak pada salah paham teoretis yang dapat diperbaiki dengan ajaran yang tetap tetapi terletak dalam struktur-struktur kekuasaan ekonomis, politis, sosial dan budaya yang menuntut tindakan nyata dari Gereja. Hal ini nampak misalnya dalam sikap Gereja yang terbuka terhadap perkembangan teologi pembebasan ataupun seperti yang dapat dilihat dalam Sollicitudo Rei Socialis no 8, tentang pentingnya sikap profetis Gereja. Dalam arti untuk menerapkan Sabda Allah pada hidup manusia dan masyarakat dan pada realitas duniawi yang berkaitan dengannya. Dalam hal ini yang mesti ada dalam kesadaran Gereja Katolik adalah sikap kritis dan tidak termakan arus zaman.
2. Peran Paus Yohanes Paulus II
Sebagai seorang tokoh fenomenal peran Paus Yohanes Paulus II tidak diragukan lagi, bahkan sangat berarti bagi Gereja Katolik dan juga bagi dunia umumnya. Namun yang mau diutarakan di sini bukan terutama keuniversalan figur Paus Yohanes Paulus II tetapi terutama suara kenabian Paus yang memberi harapan pada sekian banyak orang yang tersisihkan yang ia jumpai di setiap negara yang dikunjunginya. Apa yang hendak dikumandangkan dalam dokumen ulang tahun ke-seratus Rerum Novarum? ”Centesimus Annus kiranya bukan sekedar kilas balik…Paus mengajak kita untuk menengok ke kiri dan ke kanan, mengamati hal-hal baru di sekeliling kita untuk dijadikan bekal bagi kita untuk memasuki millennium ketiga” . Beberapa pokok yang cukup dominan dalam seruan kenabian Paus Yohanes Paulus II :
• Kesadaran akan batas wewenang sekaligus tidak ekslusif.
Paus dalam seruan kenabiannya dengan sangat jelas menegaskan batas kompetensinya yaitu segi etis dalam cahaya iman, yakni nilai-nilai dan norma-norma yang mesti dijaga dalam model tatanan masyarakat apapun. Tetapi “Gereja tidak mempunyai model-model untuk ditawarkan”. Karena model-model yang nyata dan benar-benar efektif hanya dapat muncul dalam kerangka acuan situasi-situasi historis yang berbeda, melalui usaha mereka semua yang secara bertanggungjawab menghadapi masalah-masalah konkret dalam segi sosial, ekonomis, politis dan kultural. (CA no 43). Jadi Gereja mengklaim tidak mempunyai usulan sistem politik atau ekonomis yang khas Katolik, tidak ada model masyarakat katolik atau negara Katolik. Paus Yoh Paulus II memang menganalisis beberapa peristiwa sejarah , tetapi analisis tersebut tidak serta merta memberikan penilaian defenitif karena tidak dengan sendirinya termasuk wilayah khas Magisterium (CA no 3). Dengan kata lain Paus sadar bahwa analisisnya terhadap kejadian-kejadian historis tidak mutlak.
Dengan demikian maka pengertian bersama yang dihasilkan dalam ensiklik bukanlah seruan yang bersifat ekslusif tetapi sebaliknya. Dalam SRS dan CA Paus mengajak semua agama untuk bersama-sama membangun masyarakat yang berdasarkan pada “solidaritas” (SRS no 26; CA no 60). Di sini Paus Yohanes Paulus II yakin bahwa harapan dan tuntutan-tuntutan yang dikemukakannya, juga menjadi tuntutan dan harapan semua pihak yang bekehendak baik. Dalam CA Paus mengungkapkan harapannya, sambil mengingatkan bahaya fundamentalisme, bahwa semua agama besar memainkan peran besar dalam menjaga perdamaian dan membangun masyarakat yang pantas bagi manusia. Ia bahkan menyatakan “harapan cukup besar bahwa oarng-orang banyak yang mengaku tidak beragama, juga akan menyumbang dalam menempatkan masalah sosial pada pendasaran etis yang perlu (CA no 60). Kesadaran akan batas wewenang pengajaran Gereja dan tekanan bahwa ajaran bersifat tidak eksklusif merupakan kemajuan penting dalam pengertian Gereja tentang dirinya sendiri.
• Martabat manusia sebagai persona
Kesadaran tentang paham ini merupakan dasar antropologis keterlibatan kristiani dalam dunia dan masyarakat. Sejak Ensikliknya yang pertama Redemptoris Hominis (RH; no13-17), dan lagi dalam CA, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa, penataan masyarakat yang tepat hanyalah berdasarkan pengertian tepat tentang manusia sebagai persona (CA no. 46). Di mana martabat manusia dipahami dalam cahaya iman (CA no 54). Dapat pula dijumpai dalam pendapat Gereja sebelum CA ini dikeluarkan. “Mengangkat martabat manusia adalah keutamaan kristiani, hal itu terwujud dalam sikap praktis dalam karitas terhadap penderitaan manusia yang paling langsung...dihayati dalam keterlibatan praktis pada suka duka hidup yang paling dekat, dalam keyakinan akan Allah penolong hidup...” Agar dengan mengangkat harkat dan martabat manusia, harapan kita untuk dapat menemukan Allah terwujud. Masyarakat harus dibangun sedemikian rupa sehingga menunjang perkembangan integral manusia sebagai persona (CA no. 43). Dalam hubungan dengan ini Paus menggunakan istilah “authentic human ecology” (ekologi manusiawi yang sejati)…CA no. 38, artinya perlu untuk mewujudkan lingkungan manusia yang memungkinkan manusia mengalami perkembangan integral tersebut.
• Solidaritas
Sejak ensiklik SRS solidaritas atau kesetiakawanan menjadi istilah kunci Paus Yohanes Paulus II bagi sikap dasar yang dituntut Yesus dari Gereja-Nya terhadap orang-orang dalam kesulitan. Istilah ini awalnya tumbuh dalam kalangan kaum buruh dan mereka yang ikut berprihatin dan berjuang bersama mereka. Melalui ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis” Yohanes Paulus II memasukkan istilah solidaritas ke dalam khazanah resmi teologi Katolik. Solidaritas adalah implikasi etis pengakuan terhadap martabat manusia. Di dalam solidaritas nilai cinta kasih menjadi warna utama dalam setiap relasi dengan sesama, terhadap mereka yang menderita; dengan tidak memperlakukannya sebagai obyek, dan terhadap pribadi atau kelompok; untuk menghormati kebebasan mereka serta membiarkan orang lain mempertahankan identitas dan otonominya.
D. PROSES JUDGE
Centesimus Annus ini secara kurang lebih memperlihatkan bagaimana keterlibatan Gereja dalam dunia. Keterlibatan dalam dunia manusia secara khusus disoroti lebih tajam dan dalam berbagai macam problema kehidupan. Gereja terlibat dan mengarahkan diri pada soal kehidupan sosial kemasyarakatan dan dihadapkan ke arah masyarakat yang solider . Keterlibatan Gereja yang sama juga disadarkan lewat refleksi panjang CA untuk mendalami lebih jauh soal solidaritas..
• Ekonomi Bebas
Meskipun runtuhnya Sosialisme diakibatkan karena tidak memenuhui syarat, bagi Paus tidak berarti kemengangan kapitalisme. Paus membicarakan soal ekonomi bebas yang mempergunakan mekanisme pasar, tetapi tidak sebagai mekanisme satu-satunya, melainkan ditata, dengan mengikutsertakan negara, berdasarkan pengakuan terhadap segi positif dunia bisnis, pasar, hak milik pribadi dan tanggung jawab terhadap alat-alat produksi, kreativitas bebas manusia dalam bidang ekonomi (CA no. 42) yang menjamin pemuasan kebutuhan dasar semua anggota (CA no. 34), diarahkan pada pelayanan terhadap segala komunitas dan ikut menunjang pembangunan negara-negara lemah (CA no. 35).
• Tatanan Politik
Dalam tatanan politik Gereja mendukung negara hukum demokratis (CA no. 44-46), yang mendukung ditegakkanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (CA no. 47). Dalam tingkat hubungan bangsa-bangsa Paus mengutuk nafsu negara-negara untuk terus mempersenjatai diri, menolak peperangan (CA no. 52). Dan dari kita masing-masing Paus menuntut adanya perubahan gaya hidup (CA no. 36). Dalam kaitannya dengan Negara dan pengaturan ekonomi yang berkaeadilan dan demi kesejahteraan rakyat, Paus Yohanes paulus II juga dalam CA no. 58, mengusulkan bahwa negara-negara besar harus saling berkoordinasi demi perlindungan yang fair terhadap kepentingan manusia secara universal.
• Hubungan Kerja
Solidaritas dalam dunia perburuhan dan kepegawaian, berarti mendukung hak asasi mereka atas upah, syarat kerja dan jaminan sosial yang wajar dan atas hak mereka untuk membentuk serikat-serikat mereka sendiri sebagai sarana partisipasi dalam pengambilan keputusan. Salah satu yang menjadi problem sampai ensiklik ini ditulis, karena melihat kenyataan bahwa kaum buruh belum bisa mengekspresikan diri sebebas itu. Pasar bebas masih penuh dengan segala macam distorsi. Usulan diutarakan dalam CA no. 33.
• Mendahului Kaum Miskin
Inti ajaran sosial Gereja terungkap dalam panggilan untuk berpihak pada orang miskin atau the preferential option for the poor. Di dalam diri kaum miskin Yesus menjumpai pengikut-pengikut-Nya sehingga dalam sikap terhadap mereka sikap kepada Yesus menjadi nyata. Dengan kata lain keterbukaan hati dan nyatanya tindakan kita terhadap orang miskin yang selalu pasti ada di sekitar kita , merupakan tolok ukur kesetiaan kita terhadap Injil. Dalam CA Paus menyebutkan frasa ini dalam beberapa nomor, yakni no 11, 56 dan 57. Paus menegaskan bahwa yang dimaksud bukan hanya orang yang miskin secara material tetapi juga, miskin secara rohani atau psikis, dan pada masa kini yang menjadi tantangan bagi kita adalah kemiskinan material.
Jadi perjuangan melawan ketidakadilan termasuk hakekat tugas kita untuk membawa cahaya Injil ke dalam masyarakat. Paus menulis, cinta kasih bagi sesama, dan di tempat pertama cinta kasih bagi mereka yang miskin di mana Gereja melihat Kristus sendiri, menjadi konkret dalam perjuangan demi keadilan (CA no 58). Oleh karena itu solidaritas krsistiani terutama harus kelihatan dalam solidaritas dengan mereka yang miskin, lemah marginal dan tertindas.
Disadarkan oleh banyaknya makna yang menjurus kepada solidaritas, maka dalam artikel ini Yohanes Paulus menginspirasikan kepada setiap orang kristiani untuk menggali lebih dalam soal solidaritas sebagai langkah mengusahakan keadilan. Keadilan yang adalah anugerah, memerkaya orang yang kepadanya solidaritas itu diberikan dan kepada orang yang mempraktekkan solidaritas itu dalam kehidupan nyatanya setiap hari. Solidaritas dengan demikian memberikan karakter khusus sekaligus identitas universalitas Gereja yang bersaudara dalam Kristus.

E. PROSES ACT
MENATAP ALLAH – MERANGKUL SESAMA (Refleksi Anthropologi-Teologis atas CA. Art. 58)
Saya menemukan posisi artikel 58 adalah dibawah judul “Manusia Jalan Bagi Gereja” yang berbicara mengenai makna ASG. Arti dan tujuannya terangkum dalam sebuah inspirasi dan hasil yang hendak diterangkan dalam rangka tugas Gereja untuk evangelisasi. Artikel ini dibuka dengan kalimat: ”Cinta kasih terhadap sesama, dan terutama terhadap yang miskin yang bagi Gereja menampilkan wajah Kristus, diwujudkan secara nyata dalam usaha untuk memajukan keadilan”. Bagi saya, artikel mulai berbicara bahwa Yesus dan karya-Nya adalah personifikasi harapan yang nyata dan jelas. Dalam refleksi ini, penulis merenungkan pertama, betapa Yesus memancarkan sinar pengharapan yang membesarkan hati dan sekaligus menantang, hendak menegasi gagasan sebelumnya Art. 57 bahwa betapa mengagumkan warta Kristus tentang Kerajaan Allah. “....amanat sosial Injil tak dapat dipandang sebagai suatu teori yang indah melulu, melainkan sebagai dasar yang nyata dan motivasi untuk bertindak”. Sangat menarik bahwa kabar gembira Kristus ini mencerminkan apa yang dihidupi-Nya, maka yang kedua refleksi ini terfokus pada praksis yang sekaligus membebaskan dan membawa pengharapan baru di tengah orang-orang yang mengalami keterhinaan dalam hidupnya sebagai perwujudan Injil: “Apa pun yang telah kamu lakukan untuk terhadap salah seorang diantara saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu lakukan terhadap Aku” (Matius 25:40).
Allah tak hanya mendampingi manusia saat manusia menempuh hidupnya di dunia ini, Allah menyapa dan hadir dalam diri setiap manusia. Allah yang hadir itu terus berinkarnasi. Karena inkarnasi, manusia menemukan Allah secara pribadi dalam diri Yesus Kristus yang secara historis telah hadir ke dunia. Gereja mewartakan iman akan Allah yang yang merevelasikan diri-Nya dalam martabat manusia ciptaan-Nya. Komunitas biara-biara, dan tarekat kerasulan sekular bergulat dengan nasib sesamanya, sebab ternyata persoalan tentang martabat manusia itu sangat mendesak untuk disayangi dan diangkat bila jatuh dan terhina. Dengan demikian apakah saya sebagai pribadi dan yang telah dibabtis dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus belum bisa melihat dan memperhatikan martabat manusia yang adalah Allah sendiri?. Artikel 58 mengubah cara pendang saya tentang martabat manusia yang mempersonakan itu. Martabat pribadi manusia mendapatkan roh yang baru untuk dicintai, dicinta oleh karena di dalamnya tergabung suatu martabat manusiawi dan Ilahi sekaligus yaitu martabat sesama manusia Yesus Kristus dan martabat manusia yang menjadi ungkapan diri Allah.
Orang miskin sebagai sasaran cinta kasih Gereja. Yesus memberikan harapan yang baru bagi orang miskin. Orang miskin adalah sesama yang harus dirangkul, oleh karena dalam diri sesama itu Allah yang menderita tersamar. Maka tak pelak lagi bahwa Gereja berdedikasi menyarangkan sasaran tindakan cinta kasih kepada yang miskin dan menderita. Kita diajak mengikuti pola Allah dan dan pola Yesus Kristus menangani problem yang sangat hakiki dalam kehidupan orang yang dilihat sebagai sesama ciptaan Allah. Jadi apakah yang memberatkan hati dan langkah serta tanganku untuk berbuat? Menghadirkan harapan yang baru, seperti Yesus telah menjanjikan cinta dan mengerjakan perhatian Allah kepada sesama adalah panggilan oleh karena ketertebusan. Berkat ketertebusan itu kita diajak menyalakan obor kasih.
Melihat wajah Yesus dalam diri sesama yang menderita. Bertindak oleh karena telah melihat dan menyaksikan bahkan telah mengalami adalah suatu langkah awal dan baik, namun belum cukup jika berhenti sampai di situ. Artikel 58, menampilkan bahwa kesaksian yang mencerminkan kasih itu kepada manusia yang tersisihkan dan terlantar bahkan yang terhalang haknya untuk mengikuti kehidupan ekonomi yang layak bagi kemanusiaan. Saya pribadi terlepas dari seorang yang sedang digodok di seminari dan dengan menghayati spritualitas SMM untuk menjadi orang yang dipersiapkan ke depan sebagai misionaris bagi orang miskin, merasa yakin dan sekaligus tertantang untuk bersaksi lewat tindakan nyata di tengah problema ekonomi yang berkeadilan. Kesaksian lewat tindakan nyata adalah sikap yang paling mendasar untuk mengutamakan kaum miskin dan yang haknya dirampas. Artikel ini menguatkan cita-cita dan daya keterpanggilan untuk berkorban bagi sesama untuk memperjuangkan haknya.
Mereka harus dirangkul...Sikap mengutamakan tidak hanya terbatas pada kemiskinan materil...dunia sekarang terdapat banyak kemiskinan bukan saja di bidang pekonomian semata-mata, melainkan juga di bidang pendidikan dan keagamaan. Seorang pelatih tim sepak bola yang baik akan merangkul para pemainnya entah timnya menang atau gagal. Seorang Guru yang baik akan merangkul siswanya entah siswanya berprestasi entah bodoh dan tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menguasai pelajaran. Seorang majikan yang baik akan merangkul anak buahnya entah ia bekerja dengan baik atau tidak bukan malah memecat dan menurunkan upah jauh dibawah standar. Manusia adalah ciptaan Allah, dan karenanya merupakan citra-Nya, sudah menjadi sebuah alasan yang cukup bagi siapa saja membantu perjuangan hidupnya terutama yang sangat membutuhkan keadilan sosial. Bagi orang kristiani, alasan ini diperkuat lagi dengan ajakan untuk mengasihi mereka yang menderita dan melarat akibat ketidakadilan.

D. PENUTUP
Dokumen Centesimus Annus art. 58 menyadarkan saya bahwa manusia itu adalah mahkluk jasmani sekaligus mahkluk rohani. Tak satu pun mahluk yang setara dengannya boleh menekan kehidupannya, merampas kebebasannya untuk menikmati hak hidupnya, justru sebaliknya, semua mahluk yang diciptakan sama dengannya, harus saling memperhatikan dan saling memperjuangkan keadilan dalam hidupnya. CA art. 58 menyadarkan saya dari ketertiduran sebagai “sesama”dari sesama manusia disekitar saya yang berteriak minta tolong. ASG yang saya pahami lewat CA art. 58 ini adalah wujud partisipasi terselenggaranya rencana Allah bagi setiap manusia. Semoga refleksi ini membantu saya dan semua saja agar dapat memupuk keberanian memperjuangkan hak dan keadilan dalam hidup terutama di negara R.I. yang memiliki Pancasila, sila ke-5 “Keadilan Sosial Bagi seluruh Rakyat Indonesia”. Akhirnya, oleh karena setiap manusia telah ditebus dalam Kristus Allah yang menjelma menjadi manusia, Kristus telah mengintegrasikan diri dengan semua manusia untuk selamanya. Oleh karena telah mengintegrasikan diri dengan setiap manusia, maka wajah sesama adalah wajah Kristus. Apabila wajah itu menampilkan ketertindasan dan penderitaan, apakah sebabnya aku memalingkan wajahku?.

KEPUSTAKAAN

Kumpulan Dokumen Ajaran Sosial Gereja dari Rerum Novarum sampai Centesimus Annus (1891-1991).

Charles, Roger., An Introduction to Catholic Social Thought and The New World Order, San Francisco: Family Publication Oxford and Ignatius Press, 1991

Catholic Commited To Support The Pope., Preces Of The Official Catholic Teaching On Christ our Lord, Washington D.C: CCSP, 1991

Beisner, E. Calvin., An Evangelical Looks at Centesimus Annus, The Nature of Man and Human Economy (Acton Institute for the Study of Religion and Liberty, 1993

Suseno, Franz Magnis., Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Jakarta: Gramedia, 1999

Suharyanto, H dan Tangdialla, L., Kaum Buruh Buah Hati Gereja; Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja dalam Perburuan, Yogyakarta: Kanisius, 2004

Kieser, B., Moral Sosial; Keterlibatan Umat dalam Hidup Bermasyarakat, Yogyakarta: Kanisius, 1987

----------, Solidaritas; 100 Tahun Ajaran Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992

Banawiratma, J.B. (ed)., Aspek-Aspek Teologi Sosial, Yogyakarta: Kanisius, 1988

Sobrino, J dan Hernandez Pico, J., Teologi Solidaritas, Yogyakarta: Kanisius, 1989

BBC, Film Dokumenter, Globalisasi; The New Rulers of The New World

Konferensi dari Bapak Ratmoko, Serikat Buruh Sejahtera Indonesia; “Pemiskinan dan Kemiskinan” Perjuangan keadilan bagi kaum Buruh mengenai upah yang adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar